Bagaimana Membangun Kembali Pusat Peradaban Irak yang Hancur oleh ISI?

Negara berperadaban tinggi inilah yang dibombardir pada Januari-Februari 1991, oleh Pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat.

Rabu, 7 Agustus 2019 | 06:32 WIB
0
557
Bagaimana Membangun Kembali Pusat Peradaban Irak yang Hancur oleh ISI?
Sisa-sisa perdaban Mosul yang dihancurkan ISIS (Foto: CNN INdonesia)

Annie Slemrod, seorang editor yang sering menulis tentang Timur Tengah, khususnya perkembangan terakhir di Irak, setelah dua tahun mengumumkan Negara Islam di Irak (ISI), di twitternya, Selasa, 23 Juli 2019, mempertanyakan, apa yang dilakukan untuk membangun kembali kehancuran di wilayah Mosul, Irak?.

Menurut Annie Slemrod ada sekitar 1.6 iuta warga Irak yang masih tetap terlantar. Seperlimanya ada di Distrik Mosul. Sepertinya mereka kembaki lagi ke Irak tahun 2018, sebagian besar dari mereka hidup terlantar dan sebagian besar ada juga yang tidak ingin kembali ke Irak, karena sistem kesehatan belum pulih betul akibat konflik.

Pemerintah Irak masih membangun perbaikan ke arah ini, dijadualkan sekitar 30.000 warga Irak akan segera dikembalikan lagi ke Irak dari Suriah, karena ini sudah merupakan persoalan kemanusiaan.

Dua tahun setelah Irak mengumumkan kemenangan dari apa yang dinamakan Negara Islam yang kemudian menjelma sebagai kelompok ekstrim yang terkuat bermarkas di Mosul, Irak, sebuah negara bagian di sebelah utara dibiarkan saja, tidak disentuh, sehingga memerlukan banyak bantuan.

 Di sinilah awal terjadi konflik bersenjata antara dengan pemerintah Irak, buat pertama kali ISI sejak 2014 disebut dengan kelompok teroris. 

Mosul ini merupakan tempat berdiamnya sebagian besar kelompok Islam Sunni seperti yang dipeluk oleh mantan Presiden Irak, Saddam Hussein. Juga di Indonesia, jumlah Islam Sunni termasuk yang terbesar.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, bahwa di tahun 2019, sekitar 6.7 rakyat di Irak memerlukan beberapa bantuan cepat tentang kemanusiaan ini. Bagaimana pun juga sudah banyak rakyat Irak kembal lagi ke Mosul, Ramadi, dan Fallujah.

Bagaimana pun Irak memiliki peradaban tertinggi di dunia. Tulisan pertama berasal dari sini, demikian pula Kitab Undang-Undang Bangsa Sumeria, Akkadia, Babylonia, dan Assyria.

Semuanya membangun peradaban mereka di negeri ini. Barang-barang purbakala itu tersimpan di Museum Baghdad yang dengan 28 galerinya merupakan museum terbesar di Timur Tengah.

Barang-barang peninggalan di museum itu meliputi jangka waktu 100.000 tahun sampai ke Zaman Islam. Dalam satu peti kaca, terdapat sebuah batu yang berusia 10.000 tahun.

Ada 12 guratan di situ, mungkin alat penanggalan zaman purbakala. Ada lagi beberapa cap yang dipakai orang Sumeria, 5.000 tahun yang lalu untuk melegalisasikan dokumen. Sebuah relief abad kesembilan sebelum Masehi, memperlihatkan upacara jabat tangan antara dua orang.

Sebagian benda purbakala di Museum Irak itu merupakan reproduksi. Inilah yang menimbulkan keprihatinan banyak ahli. Benda-benda yang asli dibawa oleh para penjajah asing, atau ahli purbakala asing ke negaranya.

Gerbang Ishtar di Baghdad misalnya, berada di Berlin, dan benda-benda lain ada di British Museum, dan di Museum Universitas Pensylvinia, Amerika Serikat.

Hukum Hammurabi, termasuk faktor yang membuat nama Babylonia di Irak terkenal sepanjang sejarah, merupakan kumpulan undang-undang tertua dan terlengkap di dalam sejarah dunia yang diukir di sebuah tugu (Obelisk) dan dipahat dari Batu Diorit Hitam yang sangat terkenal di penjuru dunia.

Sekarang tugu itu disimpan di Museum Louvre, di Kota Paris, Perancis, setelah dibawa ke Iran sebagai rampasan perang pada Abad XII sebelum Masehi. Yang ada di Irak hanya copy-nya.

Negara berperadaban tinggi inilah yang dibombardir pada Januari-Februari 1991, oleh Pasukan Multinasional pimpinan Amerika Serikat. Ada sekitar 114 ribu ton bom sama dengan enam buah bom sejenis yang pernah dijatuhkan di atas kota Hiroshima, Jepang dalam Perang Dunia II.

Salah satu tujuan saya ke Irak saat itu, Desember 1992, adalah ingin bertemu dengan Presiden Irak, Saddam Hussein. Namun sepertinya saya tidak bisa menemuinya. Karena entah dia ada di mana.

Suasana di Baghdad masih belum menentu. Setelah lama menunggu, saya ditelepon Kementerian Industri dan Perlogaman Irak. "Menteri ingin bertemu Bapak," ujar staf Kementerian.

Saya pun bergegas ke sana sesuai dengan jadual yang ditentukan. Rupanya Presiden Irak, Saddam Hussein, meminta kepada Menteri Perindustrian dan Perlogaman Irak, Amir Al-Saadi, yang juga berkaitan keluarga dengan Saddam Hussein untuk mewakili dirinya menemui saya.

Saya diterima dengan senang hati dan menyampaikan salam dari Presiden Saddam Hussein. Juga mengatakan penyesalan karena Presiden tidak langsung bisa menemui karena situasi mulai memanas kembali.

Apa yang dikatakan Menteri Amir Al-Saadi ini benar, setelah saya melewati perbatasan Irak menuju Jordania, pertempuran kembali terjadi dan perbatasan kembali diperketat. Untunglah saya sudah berada di wilayah Jordania. Kalau tidak entah kapan saya bisa kembali ke tanah air karena tertahan di Irak.

"Saya sempat putus asa. Bagaimana tidak, karena sebelumnya segala sesuatu telah kami pelihara dan kami bina sejak lama, tiba-tiba semuanya hancur. Sekitar 92 persen sektor listrik hancur total. Sektor perindustrian banyak yang hancur," ujar Amir Al-Saadi kepada saya saat itu.

Bagi seorang warga negara Dunia Ketiga, saya harus memahami apa yang tengah terjadi di Irak. Meskipun saya tidak bertemu Presiden Saddam Hussein waktu itu, tetapi pada tanggal 24 Juni 1998 saya memperoleh penghargaan dari Sekretaris Pers Kantor Kepresidenan Irak.

Saya membaca hati-hati kalimat: "I am writing to inform you that His Excellency, Mr. Saddam Hussein, the President of the Republic of Iraq, has received with gratitude and pleasure your book, entitled Saddam Hussein: MenghalauTantangan."

Meskipun tidak bertemu karena dalam situasi masih perang, alhamdulillah buku yang saya karang telah dibaca Presiden Irak Saddam Hussein. Penghargaan dengan hadiah saya terima di Kedutaan Besar Irak di Jakarta. Harian Kompas Sabtu, 15 Agustus 1998 memberitakan:

 "Dasman Djamaluddin, penulis buku Saddam Hussein: Menghalau Tantangan mendapatkan penghargaan dari Kantor Sekretaris Presiden Republik Irak."

Penghargaan itu disampaikan oleh Duta Besar Irak untuk Indonesia, Dr. Sa'doon J. al-Zubaydi, Kamis (13/8) dalam upacara sederhana, di Kedutaan Besar Irak, di Jakarta. Dalam penghargaan itu, Irak menyampaikan terimakasih atas simpati dan dukungan terhadap perjuangan Irak.

Inilah selebaran yang ditebarkan dari pesawat tempur Amerika Serikat (AS) kepada gerilyawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). "Jangan tembak dan jatuhkan pesawat tempur AS." Suatu pertanda ISIS itu yang bentuk AS.

***