PD III dan Periode III

Jelas kan, Bung. Semoga PD III, tidak terjadi. Periode III juga pasti tidak terjadi. Itu kan gagasan ngayawara, bicara ngawur saja, asal ngomong. Meskipun, asal ngomongnya itu juga dirancang, Bung.

Senin, 7 Maret 2022 | 06:09 WIB
0
223
PD III dan Periode III
Ilustrasi perang (Foto: CNBC Indonesia)

I

Bung, mungkin enggak serangan militer Rusia ke Ukraina akan memicu pecahnya Perang Dunia (PD) III?

Pertanyaan itu disampaikan sahabat saya, Bung Paul, kemarin pagi, lewat WhatsApp. Ia cerita baru jalan pagi dan mampir di sebuah warung kopi. Di warung itulah terjadi obrolan soal serangan militer Rusia ke Ukraina. Ada yang mengeluh, gara-gara perang di Ukraina harga gas naik. Yang lain, khawatir bahwa PD III bentar lagi meletus. Yang lain lagi, BBM juga akan naik. Kalau harga BBM naik, pasti harga-harga kebutuhan yang lain juga naik. Itu kekhawatiran mereka.

Segala kemungkinan bisa terjadi, Bung. Namanya saja hanya mungkin.  Begitu jawab saya.

Memang akhir-akhir ini kata “PD III” lagi populer, trending. Ya, itu tadi gara-gara Rusia menginvasi Ukraina, negara tetangga sebelah baratnya. Sebenarnya yang lagi jadi bahan pembicaraan berbagai kalangan—mulai dari yang nongkrong di warung kopi sampai yang ngopi di kafe-kafe mahal, mulai dari istilahnya man in the street  sampai politisi yang memang urusannya politik, mulai dari “tukang” komen (istilah kerennya, tukang nyinyir) sampai orang-orang cerdik pandai yang setiap ucapan dan komentarnya benar-benar diukur dilandasi ilmu, dan baik lelaki maupun perempuan—bukan hanya soal PD III tetapi juga Periode III masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Angka 3 (III) sedang menjadi pemain utama. Lagi disukai banyak orang.

Soal PD III. Ingat enggak,  Bung bahwa casus belli, dadakan meletusnya PD I, sederhana. Suatu hari, tanggal 28 Juli 1914, Archduke Franz Ferdinand, pewaris tahta Austro-Hungaria, dan istrinya, Sophie, Duchess of Hohenberg, mati karena dua tembakan di Sarajevo oleh Gavrilo Princip. Gavrilo adalah salah seorang dari enam anggota kelompok pembunuh (lima Serbia dan satu Bosnia) yang dikoordinasikan oleh Danilo Ilić, seorang Serbia Bosnia dan anggota perkumpulan rahasia Tangan Hitam (Black Hand).

Segera setelah itu, perang pecah. Api peperangan mulai berkobar di Balkan dan baru berakhir 11 November 1918. Inilah PD I yang menewaskan 17 juta orang dan melukai 25 juta orang lainnya. Pembunuhan Franz Ferdinand itulah yang dijadikan pemicu pecahnya perang, casus belli. Jadi Bung, PD I pecah karena satu peluru!

Dadakan PD II, juga sederhana. Menurut pengakuan Alfred Naujocks di Pengadilan Nuremberg, pada 31 Agustus 1939 sebagai anggota SS (Schutzstaffel) satuan elite Nazi,  ia mengorganisasi suatu operasi tipu-tipu (false flag) di Gleiwitz, Jerman. Sekarang Gleiwitz masuk wilayah Polandia selatan. Operasi militer berupa serangan ke sebuah statiun radio di Gleiwitz . Serangan itu atas perintah komandan SS Reinhard Heydrich dan Heinrich Müller, kepala Gestapo.

Para penyerang mengenakan seragam tentara Polandia, merebut statiun radio, menembak seorang karyawan, Franciszek Honiok (43), dan menyiarkan pesan anti-Jerman dalam bahasa Polandia, lewat radio itu. Tujuannya adalah membuat seolah-olah serangan dan siaran itu dilakukan oleh orag-orang anti-Jerman. 

Setelah insiden itu, sekutu-sekutu Polandia yakni Inggris dan Perancis memaklumkan perang melawan Jerman. Ini yang ditunggu Jerman, yang sejak lama ini ingin memperluas wilayahnya ke Timur, ke Polandia. Perang berakhir, 1945 dengan menelan 40-60 juta korban jiwa; belum yang terluka, cacat dan sebagainya. Insiden Gleiwitz ini disebut sebagai casus belli PD II

II

Maka, bukan tidak mungkin Bung, situasi yang sangat buruk terjadi bila masing-masing pihak terutama mereka yang disebut sebagai super power tak mampu mengendalikan diri.  Dadakan perang, casus belli bisa direkayasa. Sekarang kan zaman rekayasa.

Sekarang ini dengan kemajuan teknologi, mudah Bung bikin rekayasa, termasuk false flag. Coba Bung, Putin mengatakan “Operasi Militer Khusus” (serangan militer) dilakukan untuk mencegah “genosida” terhadap orang-orang Ukraina yang berbahasa Rusia dan mencegah “de-Nazification Ukraine.”

Bagaimana mungkin Bung, terjadi “Nazifikasi” di Ukraina, lha wong President Volodymyr Zelensky, yang dipilih lewat pemilu demokratis 2019 saja orang Yahudi. Di Ukraina memang ada kelompok gerakan sayap kanan-jauh (far-right) yang memiliki sayap bersenjata, Batalaion Azov. Mereka ini kelompok milisi nasionalis kanan jauh ( Di Jerman dan Perancis pun ada partai kanan-jauh seperti itu). Tetapi dalam Pemilu 2019, mereka hanya meraih 2 persen saudara. Artinya, nggak laku.

Putin tak peduli. Kirim tentara. Itu casus belli, “Operasi Militer Khusus” ke Ukraina. Meskipun ada tiga alasan lain yang lebih masuk akal: Pertama, perluasan keanggotaan NATO. Kedua, ekspansi Uni Eropa. Dan, ketiga,   promosi demokrasi oleh Barat ke wilayah-wilayah bekas republik Uni Soviet, termasuk Ukraina.

Moskwa tentu tidak akan merelakan atau diam saja bila Ukraina—yang kata Putin adalah bagian Rusia”; “sepenuhnya diciptakan oleh komunis Rusia” dan bukan “hanya negara tetangga,” tetapi “bagian integral dari sejarah, budaya, dan ruang spiritual kita sendiri,”—jatuh ke pelukan Barat. Rusia akan sangat kehilangan dan berada pada posisi yang terancam; dikepung NATO.

Maka, Rusia jalan terus nggempurin Ukraina. Dan mengancam yang ikut campur akan merasakan akibatnya yang tak tertanggungkan. Ini yang membuat kita semua was-was, jangan-jangan aksi Rusia akan meledakkan PD III, yang kata Menlu Rusia Sergey Lavrov akan lebih dahsyat dan mematikan dibanding dua perang dunia sebelumnya. Sebab, PD III menggunakan senjata nuklir.

Menurut saya Bung, yang bukan ahli perang ini, PD III hanya kemungkinan terjadi bila AS dan NATO mengirim pasukan masuk ke Ukraina menghadapi Rusia. Tetapi, sampai saat ini, tak satupun pemimpin dunia yang menginginkan bencana dunia itu terjadi. Katakanlah Bung, “belum ada orang gila” yang menginginkan dunia ini hancur lebur jadi  debu.

Dan, Ukraina bukan anggota NATO. Jadi, tidak ada kewajiban negara-negara anggota NATO turun tangan. Ini menurut Perjanjian Washington 1949 (serangan terhadap salah satu anggota NATO, dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota) diteken para anggota NATO. Karena tidak bisa campur tangan langsung melalui aksi militer, mereka memberikan bantuan kemanusian (ditegaskan oleh resolusi PBB terakhir), mesin perang, juga menjatuhkan sanksi ekonomi untuk menekan Rusia akan menghentikan operasi militernya.

Semoga seperti itu, Bung. Kata sahabat yang saat itu masih ngopi di warung kopi.

III

Lalu, ia kirim WA lagi, “terus bgmn Bung soal ‘Periode III’ dari tadi kita ngomong soal PD III.” 

Oh, itu. Kalau tidak ramai, bukan politik, Bung. Karena itu, tidak jarang, suasana yang adem ayem dibikin ramai. Ada saja cara orang untuk membuat ramai. Ada proyek bikin ramai, Bung. Paling banyak terjadi adalah dengan melemparkan isu; yang kemudian akan digoreng, direbus, dibakar, dan dipanggang oleh “para juru masak.”

Sekarang isunya—isu lama yang diperbaharui—adalah “Periode III.” Macam-macam alasannya. Ada yang berdalih agar presiden dapat menuntaskan program pembangunan yang dicanangkannya. Yang lain mengatakan, karena kondisi pandemi covid. Yang lain berargumen, pemilu butuh biaya tinggi, sekarang keuanga negara lagi repot. Dan, banyak lagi.

Bung yang terjadi di sini pernah terjadi di Rusia. Tetapi bedanya di Rusia, justru presidenlah (Putin) yang ingin memperpanjang masa jabatannya. Menurut Edwin Bacon (2017), semakin lama seorang pemimpin mempertahankan kekuasaan, semakin menyatu dengan sistem. Ini yang disebut leaderism. Dan, leaderism memiliki resonansi khusus dalam politik Rusia.

Selama era Soviet, leadersim adalah istilah yang peyoratif secara ideologis; untuk menggambarkan pemimpin tunggal yang dominan. Rezim Putin bukanlah diktator totaliter Stalinis, tetapi bersifat ‘leaderist’, karena rezim tersebut telah merebut negara dan tampaknya memperlakukannya sebagai milik pribadi. Maka, pemimpin lalu melakukan “kudeta konstitusional.”

Putin memrakarsai amandemen konstitusi, yang memungkinkan untuk dipilih lagi—konstitusi Rusia membatasi dua kali masa jabatan berturut-turut. Hal yang hampir mirip dulu dilakukan juga oleh penguasa Venezuela, Hugo Chavez. Mereka orang-orang kuat yang tidak ingin melepaskan kekuasaannya.

Sementara di sini kan jelas, Bung. “Saya sama sekali tidak memiliki niat, juga tidak berminat, untuk menjadi presiden tiga periode. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur masa jabatan presiden paling lama dua periode. Mari kita patuhi bersama. Karena itu, pemerintahan ini juga berjalan tegak lurus dengan konstitusi,” tulis Jokowi di akun Facebook resminya, Selasa (16/3/2021).

Kata Jokowi, “Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode itu, ada tiga (motif) menurut saya. Satu ingin menampar muka saya, yang kedua ingin cari muka padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja.”

Jelas kan, Bung. Semoga PD III, tidak terjadi. Periode III juga pasti tidak terjadi. Itu kan gagasan ngayawara, bicara ngawur saja, asal ngomong. Meskipun, asal ngomongnya itu juga dirancang, Bung. Dirancang untuk suatu kepentingan. Begitulah politik.

Padahal, kan semestinya kepentingan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, menjadi kepentingan utama seorang pemimpin. Bukan kepentingan diri.  Kalau ia (mereka) memikirkan dirinya sendiri, barangkali  inilah yang oleh Gus  Dur disebut sebagai “gelandangan politik.” Mereka selalu mengutamakan kepentingan sendiri meski dikatakan sebagai atas nama rakyat.

***