Putin, Testing The Water

Rusia sedang “testing the water” dan Barat membiarkan testing itu berlangsung. Ini sama seperti saat Rusia menginvasi Georgia selama lima hari 2008 yang berujung pada lepasnya Abkhazia dan South Ossetia; dan Krimea 2014.

Sabtu, 5 Maret 2022 | 07:26 WIB
0
248
Putin, Testing The Water
Vladimir Putin (Foto: kompas.com)

BIsa jadi benar yang dikatakan Christina Kulich, seorang pengajar sejarah Eropa di Universitas Suffolk, di Boston, Massachusetts, AS. Kata Kulich, sekarang ini dengan menginvasi Ukraina, Putin sedang “testing the water,” untuk langkah selanjutnya. Ia ingin tahu apa reaksi Barat, terutama, dan negara-negara lain terhadap langkahnya itu; juga reaksi PBB.

Putin yakin bahwa NATO tidak akan gegabah membela Ukraina dan mengerahkan pasukannya, meskipun mereka menempatkan sekitar 12.000 tentaranya di garis depan Eropa Timur. NATO menempatkan batalionnya di tiga negara Baltik—Estonia, Latvia dan Lithuania—Polandia, dan Romania.

Polandia, Latvia, dan Lithuania pernah diinvasi Rusia pada tahun 1939-1940. Sekarang ini, Rusia menempatkan pasukannya di Brest, Belarusia yang jaraknya sekitar 177 km sebelah timur Warsawa, Polandia. NATO juga memiliki fasilitas pertahanan rudal balistik di Polandia dan Romania. Selain itu, ada 22 pesawat tempur NATO ditempatkan di Romania, Estonia, dan Lithuania.

Bulan lalu, Joe Biden baru menyetujui penambahan penempatan pasukan AS di Polandia, Jerman, dan Romania sebanyak 3.000 personel serta setengah losin pesawat tempur F-15. Dan, Kamis lalu, Biden menambah 7.000 personel untuk ditempatkan di Eropa guna membantu pertahanan NATO. Inggris menambah lebih dari 1.000 tentara.

Memang, invasi militer Rusia ke Ukraina, segera memunculkan beragam reaksi, kecaman dalam berbagai tingkat—termasuk yang hati-hati atau ragu-ragu atau main dua kaki seperti China dan India—dari berbagai negara termasuk negara-negara Eropa, juga Indonesia. Bahkan, sanksi ekonomi pun dijatuhkan oleh sejumlah negara AS, Eropa, dan yang lain.

Tetapi, Ukraina tetap sendirian mempertahankan diri. NATO tidak mengirim pasukannya. Padahal mereka ada di Polandia, Romania, juga Baltik. Mengapa? Karena Ukraina bukan anggota NATO (Ukraina baru kepingin menjadi anggota. Keinginan ini yang mendorong Rusia menyerbu. Invasi militer adalah tindakan untuk menghancurkan keinginan Ukraina).

Artinya, tidak ada kewajiban dari NATO untuk melancarkan serangan bersenjata ke Rusia untuk melindungi Ukraina. Meskipun Sekjen NATO, Jens Stoltenberg menyebut invasi milier Rusia itu sebagai “tindakan perang brutal” dan akan mempertahankan “setiap inci” wilayah anggota NATO bila diserang Rusia.

Tetapi, NATO tetap tidak akan mengirim pasukannya ke Ukraina. Kata Stoltenberg, “Tak ada rencana.” (Time, 25/2). Pasal 4 dalam Perjanjian NATO (Perjanjian Washington) menyatakan, bahwa negara-negara “akan berkonsultasi bersama setiap kali, menurut pendapat salah satu dari mereka, integritas teritorial, kemerdekaan politik atau keamanan salah satu pihak (anggota) terancam.”

Konsultasi berdasarkan Pasal 4 tidak menjamin bahwa tindakan apa pun akan diambil, tetapi memungkinkan untuk pembicaraan cepat.

Sudah enam kali hal itu terjadi, sejak pakta pertahanan dibentuk pada tahun 1949. Terakhir oleh Turki pada Februari 2020. Yakni, setelah puluhan tentara Turki dibunuh oleh pasukan pemerintah Suriah di daerah-daerah yang dikuasai oposisi di barat laut Suriah. Dan, pasal 5 menyatakan, serangan terhadap satu negara anggota dianggap sebagai serangan terhadap semua. Ini pernah terjadi setelah serangan teroris pada 11 September 2001. Sekali lagi: Ukraina bukan anggota.

Belajar sejarah Ada kekhawatiran pula bahwa serangan NATO akan memicu perang Eropa. Kekhawatiran pecahnya PD III pun akan bisa menjadi kenyataan. Karena itu, NATO hati-hati.

Putin paham sekali akan hal itu. Maka pada tahun 2014, Putin berani memerintahkan pasukannya untuk menginvasi dan menganeksasi Krimea dari tangan Ukraina. Lalu, sebelum pecah perang beberapa hari lalu, Rusia mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis Ukraina: Donesk dan Luhansk. Ketika tahun 2014, Rusia menganeksasi Krimea, dunia “hanya” teriak-teriak mengecam. Dan menyatakan tetap mendukung integritas dan kedaulatan Ukraina atas Krimea. Sampai di sini saja.

Padahal waktu itu, Rusia dianggap telah melanggar Piagam PBB soal ketetapan untuk tidak intervensi; Akta Terakhir Helsinki (Helsinki Final Act) tahun 1975; Piagam Paris 1990; 1997 Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama dan Kemitraan antara Rusia dan Ukraina; 1994 Memorandum Budapest tentang Jaminan Keamanan.

Nyatanya, hingga kini wilayah itu tetap di bawah kekuasaan Rusia. NATO? Tetap berpegang pada pasal-pasal Perjanjian Washington. Walaupun, aneksasi Krimea itu dianggap sebagai pelanggaran paling serius terhadap perbatasan Eropa sejak PD I. Tetapi, Rusia selalu mengutip catatan sejarah untuk membenarkan aneksasinya.

Sejarah mencatat, pada tahun 1774, Kekaisaran Rusia menguasai Krimea. Lalu menjadikan Semenanjung Krimea sebagai benteng utama melawan koalisi Inggris Raya, Perancis, Sardinia, dan Turki selama Perang Krimea (1853–1856). Pertahanan Sevastopol—kota di Semenanjung Krimea bagian selatan—melawan Nazi invasi selama PD II berfungsi sebagai simbol kekuatan Rusia, menjadikan kota itu kehormatan “Kota Pahlawan.”

Sejarah ini menegaskan persepsi Rusia bahwa Krimea adalah penyangga penting terhadap serangan kekuatan asing dan bahwa kehilangan semenanjung akan berarti menggerogoti status Rusia sebagai kekuatan besar (Jonathon Cosgrove, The Russian Invasion of The Crimean Peninsula, 2014-2015, A Post—Cold War Nuclear Crisis Case Study, 2020).

Pada tahun 1954, setelah kematian Stalin, Krimea oleh Moskwa diserahkan pada Ukraina (bagian dari republik Soviet). Penyerahan ini untuk merayakan tiga abad Perjanjian Pereyaslav antara Rusia dan Ukraina (1654) yang menegaskan persatuan orang Ukraina dan Rusia.

Tetapi, Putin menganggap penyerahan itu sebagai sebuah kesalahan. Sebab, setelah sistem Uni Soviet ambruk, di Polandia, Hongaria, dan Czechoslovakia, Ukraina memerdekakan diri lepas dari Uni Soviet, 16 Juli 1990. Setahun kemudian 21 Agustus 1991, mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka penuh, Krimea benar-benar lepas dari tangan Moskwa. Maka dilakukan segala upaya untuk merebutnya kembali.

Untuk Ukraina pun, Rusia (Putin) mendasarkan pada sejarah. Tentu sejarah sesuai kepentingan mereka. Dan, Putin adalah seorang “mahasiswa” sejarah yang baik. Dia tahu nasib yang menanti para pemimpin Rusia yang kalah perang. Misalnya, tsar Romanov terakhir, Nicholas II, yang tidak hanya kalah pada PD I, tetapi juga kalah pada Perang Rusia-Jepang (1905). Dan, kekalahan pertama, melahirkan Revolusi Bolshevik, yang mengakhiri kekaisarannya.

Putin juga belajar dari kasus kekalahan Tsar Nicholas I, yang kalah dalam perang melawan kekuatan Barat dan Ottoman (1854). Akibat kekalahan itu, Rusia terisolasi dan akhirnya kehilangan Sevastopol, juga netralisasi militer Laut Hitam, meskipun berhasil menyelamatkan Krimea. Tsar Nicholas I akhirnya meninggal karena radang paru-paru (1855). Tetapi, ada yang menyatakan, kekalahan itu penyebab utama kematiannya. Ia sakit tak mau diobati. (Anton Bebler, Romanian Journal of European Affairs, Vo.15. No.1, March 2015).

Itulah sebabnya, secara tegas—bahkan mengancam, siapa yang ikut-ikut akan kena getahnya—menggerakkan tentaranya ke Ukraina. Hitungannya, NATO tak bergerak, sehingga ia tidak akan bernasib seperti Tsar Nicholas I dan II. Dan kalau toh ada ekskalasi perang, Putin tidak akan ragu untuk mengorbankan nyawa ribuan bahkan jutaan orang jika dia percaya itu adalah satu-satunya cara untuk melestarikan ambisinya.

Baca Juga: Kalau Nuklir Berbahaya bagi Umat Manusia, Mengapa Mereka Memilikinya?

Penyimpangan Geopolitik Kata Putin, Ukraina yang independen (merdeka) adalah sebuah penyimpangan geopolitik. Menurut pendapat Putin, “akar sejarah kita (Ukraina dan Rusia), spiritual, dan yang lain-lain memberikan kepada kita bahwa pada intinya kita adalah satu bangsa.” Dan, karena itu, “Saya tidak membedakan sama sekali orang Ukraina dan Rusia.” (Vladislav Inozemtsev, 2019, Kremlin-Linked Forces In Ukraine’s 2019 Elections).

Putin juga tidak melupakan kata-kata Zbigniew Brzezinski (1928-2017)—penasihat keamanan nasional AS zaman Presiden Jimmy Carter, yang memainkan peran penting dalam perundingan senjata nuklir SALT II antara AS dan Uni Soviet dan berusaha mempertahankan kekuasaan Shah Iran Reza Pahlevi—yang mengatakan bahwa “tanpa Ukraina, Rusia tidak lagi menjadi kerajaan Eurasia;” Namun, kata Brzezinski, jika Moskow mendapatkan kembali kendali atas Ukraina, Rusia secara otomatis mendapatkan kembali kemampuan untuk menjadi negara kekaisaran yang kuat; menjangkau Eropa dan Asia.

Oleh karena itu bagi Kremlin, hilangnya Ukraina berarti adalah kehilangan besar. Akibatnya, Vladimir Putin menganggap kerugian seperti itu tidak dapat diterima dan semakin besar kerugian ini, kalau dibiarkan saja. Maka, Ukraina harus kembali ada “di bawah kepak sayap elang berkepala dua” atau sekurang-kurangnya tetap netral, tidak masuk NATO.

Sekarang ini, seperti dikatakan Christina Kulich, Rusia sedang “testing the water” dan Barat membiarkan testing itu berlangsung. Ini sama seperti saat Rusia menginvasi Georgia selama lima hari 2008 yang berujung pada lepasnya wilayah Abkhazia dan South Ossetia; dan Krimea 2014. Ketika itu, dunia diam saja, kecuali berteriak. Sekarang hal yang sama terjadi. Rakyat Ukraina, yang menjadi korbannya.

Apa yang akan terjadi selanjutnya, kita tunggu permainan Putin.

***

Catatan: Tulisan ini sudah termuat di Kompas.com