Pandemik ketakutan yang disebut dalam spanduk mereka sebagai "gelombang pertama, gelombang kedua, gelombang permanen?"
Saya kaget, bahwa di beberapa hari lalu, Minggu 30 Agustus 2020, di Berlin berlangsung unjuk rasa yang melibatkan jumlah massa yang cukup banyak. Pesertanya mencapai 38.000 orang yang secara "serampangan" dianggap sebagai kelompok ultra-kanan. Terkejut, sekaligus takut karena anak kedua saya tinggal di kota ini. Kebetulan dia kuliah di dekat pusat unjuk rasa di kawasan Bradenburg.
Demo yang dapat dianggap "tidak tepat waktu", justru saat kasus terjangkit mulai naik kembali. Demonstrasi ini dianggap reaksi menentang "berbagai" pembatasan selama pandemi virus corona di Jerman. Setelah bersabar enam-tujuh bulan berlalu, dan tetap terkekang...
Rupanya rasa mudah bosan dan galau itu tidak melulu jadi "penyakit khas puak Melayu" yang memang dari sananya susah diatur itu. Setidaknya, bolehlah sedikit kita bangga saudara-saudara kita di Bali jauh lebih "aware" duluan. Hiks!
Demonstrasi itu sendiri sesungguhnya dipacu oleh Kanselir Jerman Angela Merkel dan 16 negara bagian federal yang mulai memberlakukan denda minimum €50 (sekitar Rp865.000) bagi siapa saja yang tidak mengenakan masker. Bahkan dengan aturan larangan acara publik yang juga diperpanjang hingga tahun depan.
Merkel sendiri sebagai seorang scientis-politikus meyakini bahwa masyarakat masih harus hidup dengan virus ini dalam jangka waktu lama. Seraya menganggap virus ini tetap serius dan menyebar "ketakutan" bahwa wabah akan lebih menantang pada musim dingin nanti.
Padahal Jerman sendiri dapat dianggap salah satu negara di dunia yang paling sukses menangani virus Covid-19. Dengan kebijakan dan kedisiplinan warganya, hanya tercatat 242.000 kasus,dan ebanyak 9.297 orang meninggal dunia. Jumlah yang lebih rendah dibanding Rusia, Inggris, Spanyol dan Italia. Jerman juga negara pertama yang mengulurkan tangan membantu negara lain menangani kasus pandemik ini. Dan bahkan, dengan percaya diri membuka liga sepakbolanya, Bundesliga, saat kompetisi di negara Eropa lain sementara atau secara permanen dihentikan.
Artinya apa? Jerman adalah negara yang cukup terbuka pikiran, antisipasi, dan kebijakannya untuk paling duluan maju menjalani apa yang populer disebut era new-normal! Tapi itu semua tidak cukup...
Para pengunjuk rasa menuntut kebebasan lebih: kembali normal dan bukan new-normal. Hingga dalam unjuk rasa kemarin itu, muncul slogan-slogan bertuliskan ejekan "masker adalah pemberangusan" dan "kenormalan baru adalah fasisme gaya baru". Bahkan Angela Merkel secara kasar disebut adalah seorang Yahudi-komunis dan pemimpin "rezim Zionis" yang terlibat dengan "poros kejahatan baru".
Ia dianggap secara keji sebagai menyiapkan sebuah genosida-baru dengan kedok vaksinasi massal. Tuduhan-tuduhan yang sangat khas para penganut Teori Konspirasi.
Lalu siapa aktor intelektual atau front-man atau apalah sebutannya. Sebagai ikon di dalam demo tersebut?
Attila Hildmann.
Ia adalah seorang warga negara Jerman keturunan Turki, yang berprofesi sebagai penulis buku resep masakan vegan. Sebagaimana kita tahu vegan adalah orang yang tidak mengkonsumsi semua produk hewani secara total. Beda dengan vegetarian yang hanya berhenti mengonsumsi daging saja. Artinya, vegan tidak hanya berhenti mengkonsumsi daging, namun juga produk-produk lainnya yang berasal dari hewan, seperti telur, keju dan susu.
Ia juga dikenal sebagai penganut teori konspirasi, yang sebagaimana "umum" di banyak negara menjadikan Bill Gates sebagai sasaran utama permusuhan. Bagian terlucunya (minimal bagi saya), ia menganggap semua sepak terjangnya sebagai apa yang ia sebut sebagai "Hygiene Demonstrations", sebagai lawan kata "Social Distancing". Kira-kira kalau diterjemahkan adalah cukuplah menjaga kebersihan, tidak perlu ada penjarakan sosial.
Apa yang ia implementasikan dalam protes-nya bahwa penggunaan masker adalah slave-mask: masker yang memperbudak. Merekia adalah bgaian dari kelompok sayap kanan yang meyakini bahwa peraturan virus corona melanggar hak-hak dasar dan kebebasan yang diabadikan dalam konstitusi Jerman dan mereka menuntut agar aturan-aturan pembatasan ini dicabut.
Lalu apa beda sama Attila Hildman dengan Jerinx?
Secara gagasan sama, namun nasibnya berbeda. Attila tetap bebas, walau sempat ditahan beberapa jam. Karena sebagai mana biasa kaum ultra kanan mereka akan berlindung di bawah hak kebebasan berpendapat. Apa yang mereka sebut bahwa mereka hanya menginginkan hak untuk memprotes. Sedang Jerinx sebagaimana kita tahu, ia ditahan dan gagal memperoleh penangguhan. Dan otoritas berhasil setelah Jerinx diberangus, suara senyap kembali terjadi. Tak ada lagi jerinx-jerinx lagi yang lainya.
Rupanya demo di Berllin tidak sendirian, pada saat yang bersamaan demo segaris juga berlangsung di Trafalgar Square London, Wina (Austria), dan juga Zurich (Swiss). Gelombang yang tampaknya akan semakin terus membesar. Semakin membesar, karena setelah enam bulan berlalu. Ternyata isu ketakutan yang dilambungkan tetap sama. Bahkan bila tidak mau dianggap makin besar. Apa yang oleh Attila Hildman disebut kamp konsentrasi karantina. Elok....
Pandemik ketakutan yang disebut dalam spanduk mereka sebagai "gelombang pertama, gelombang kedua, gelombang permanen?". Eerste welle? Zweite Welle! Dauer welle...
Pertanyaannya sama: sampai kapan?
***
NB: tulisan ini berhutang budi pada kabar dari BBC dan DW.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews