Cerita tentang Attila Hildman

Pandemik ketakutan yang disebut dalam spanduk mereka sebagai "gelombang pertama, gelombang kedua, gelombang permanen?"

Jumat, 4 September 2020 | 22:52 WIB
0
462
Cerita tentang Attila Hildman
Attila Hildmann (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Saya kaget, bahwa di beberapa hari lalu, Minggu 30 Agustus 2020, di Berlin berlangsung unjuk rasa yang melibatkan jumlah massa yang cukup banyak. Pesertanya mencapai 38.000 orang yang secara "serampangan" dianggap sebagai kelompok ultra-kanan. Terkejut, sekaligus takut karena anak kedua saya tinggal di kota ini. Kebetulan dia kuliah di dekat pusat unjuk rasa di kawasan Bradenburg.

Demo yang dapat dianggap "tidak tepat waktu", justru saat kasus terjangkit mulai naik kembali. Demonstrasi ini dianggap reaksi menentang "berbagai" pembatasan selama pandemi virus corona di Jerman. Setelah bersabar enam-tujuh bulan berlalu, dan tetap terkekang...

Rupanya rasa mudah bosan dan galau itu tidak melulu jadi "penyakit khas puak Melayu" yang memang dari sananya susah diatur itu. Setidaknya, bolehlah sedikit kita bangga saudara-saudara kita di Bali jauh lebih "aware" duluan. Hiks!

Demonstrasi itu sendiri sesungguhnya dipacu oleh Kanselir Jerman Angela Merkel dan 16 negara bagian federal yang mulai memberlakukan denda minimum €50 (sekitar Rp865.000) bagi siapa saja yang tidak mengenakan masker. Bahkan dengan aturan larangan acara publik yang juga diperpanjang hingga tahun depan.

Merkel sendiri sebagai seorang scientis-politikus meyakini bahwa masyarakat masih harus hidup dengan virus ini dalam jangka waktu lama. Seraya menganggap virus ini tetap serius dan menyebar "ketakutan" bahwa wabah akan lebih menantang pada musim dingin nanti.

Padahal Jerman sendiri dapat dianggap salah satu negara di dunia yang paling sukses menangani virus Covid-19. Dengan kebijakan dan kedisiplinan warganya, hanya tercatat 242.000 kasus,dan ebanyak 9.297 orang meninggal dunia. Jumlah yang lebih rendah dibanding Rusia, Inggris, Spanyol dan Italia. Jerman juga negara pertama yang mengulurkan tangan membantu negara lain menangani kasus pandemik ini. Dan bahkan, dengan percaya diri membuka liga sepakbolanya, Bundesliga, saat kompetisi di negara Eropa lain sementara atau secara permanen dihentikan.

Artinya apa? Jerman adalah negara yang cukup terbuka pikiran, antisipasi, dan kebijakannya untuk paling duluan maju menjalani apa yang populer disebut era new-normal! Tapi itu semua tidak cukup...

Para pengunjuk rasa menuntut kebebasan lebih: kembali normal dan bukan new-normal. Hingga dalam unjuk rasa kemarin itu, muncul slogan-slogan bertuliskan ejekan "masker adalah pemberangusan" dan "kenormalan baru adalah fasisme gaya baru". Bahkan Angela Merkel secara kasar disebut adalah seorang Yahudi-komunis dan pemimpin "rezim Zionis" yang terlibat dengan "poros kejahatan baru".

Ia dianggap secara keji sebagai menyiapkan sebuah genosida-baru dengan kedok vaksinasi massal. Tuduhan-tuduhan yang sangat khas para penganut Teori Konspirasi.

Lalu siapa aktor intelektual atau front-man atau apalah sebutannya. Sebagai ikon di dalam demo tersebut?

Attila Hildmann.

Ia adalah seorang warga negara Jerman keturunan Turki, yang berprofesi sebagai penulis buku resep masakan vegan. Sebagaimana kita tahu vegan adalah orang yang tidak mengkonsumsi semua produk hewani secara total. Beda dengan vegetarian yang hanya berhenti mengonsumsi daging saja. Artinya, vegan tidak hanya berhenti mengkonsumsi daging, namun juga produk-produk lainnya yang berasal dari hewan, seperti telur, keju dan susu.

Ia juga dikenal sebagai penganut teori konspirasi, yang sebagaimana "umum" di banyak negara menjadikan Bill Gates sebagai sasaran utama permusuhan. Bagian terlucunya (minimal bagi saya), ia menganggap semua sepak terjangnya sebagai apa yang ia sebut sebagai "Hygiene Demonstrations", sebagai lawan kata "Social Distancing". Kira-kira kalau diterjemahkan adalah cukuplah menjaga kebersihan, tidak perlu ada penjarakan sosial.

Apa yang ia implementasikan dalam protes-nya bahwa penggunaan masker adalah slave-mask: masker yang memperbudak. Merekia adalah bgaian dari kelompok sayap kanan yang meyakini bahwa peraturan virus corona melanggar hak-hak dasar dan kebebasan yang diabadikan dalam konstitusi Jerman dan mereka menuntut agar aturan-aturan pembatasan ini dicabut.

Lalu apa beda sama Attila Hildman dengan Jerinx?

Secara gagasan sama, namun nasibnya berbeda. Attila tetap bebas, walau sempat ditahan beberapa jam. Karena sebagai mana biasa kaum ultra kanan mereka akan berlindung di bawah hak kebebasan berpendapat. Apa yang mereka sebut bahwa mereka hanya menginginkan hak untuk memprotes. Sedang Jerinx sebagaimana kita tahu, ia ditahan dan gagal memperoleh penangguhan. Dan otoritas berhasil setelah Jerinx diberangus, suara senyap kembali terjadi. Tak ada lagi jerinx-jerinx lagi yang lainya.

Rupanya demo di Berllin tidak sendirian, pada saat yang bersamaan demo segaris juga berlangsung di Trafalgar Square London, Wina (Austria), dan juga Zurich (Swiss). Gelombang yang tampaknya akan semakin terus membesar. Semakin membesar, karena setelah enam bulan berlalu. Ternyata isu ketakutan yang dilambungkan tetap sama. Bahkan bila tidak mau dianggap makin besar. Apa yang oleh Attila Hildman disebut kamp konsentrasi karantina. Elok....

Pandemik ketakutan yang disebut dalam spanduk mereka sebagai "gelombang pertama, gelombang kedua, gelombang permanen?". Eerste welle? Zweite Welle! Dauer welle...

Pertanyaannya sama: sampai kapan?

***

NB: tulisan ini berhutang budi pada kabar dari BBC dan DW.