Hukum ekonomi dunia yang sudah jadi pakem global itu diobrak-abrik Erdogan dengan alasan menaikan suku bunga tidak sesuai dengan Islam.
"Maaf Erdogan Gak Sehebat Itu, Inflasi Turki Mau Meledak", demikian terbaca berita di CNBC Indonesia. Berita Tempo.co berbunyi, "Inflasi Turki Tinggi Erdogan Tolak Naikkan Suku Bunga: Bertentangan dengan Islam".
Jelas di sini, Erdogan hendak cari aman atas nama agama yang dipeluk mayoritas rakyat Turki, juga mencari simpati komunitas Islam dunia yang selama ini membesar-besarkan kehebatan Erdogan meski setengah berhalusinasi bahwa pemimpin Turki itu cerminan kejayaan kekhalifahan Ottoman pada masa lalu.
Hukum ekonomi di belahan dunia manapun, ketika inflasi sedang tinggi, maka bank sentral akan menaikkan suku bunga simpanan atu deposito. Tujuannya yaitu untuk menarik dana masyarakat supaya menempatkan atau menyimpan dananya dalam bentuk deposito atau menabung ke bank.
Selain itu, juga untuk menstabilkan nilai mata uang dalam negeri terhadap dollar Amerika.
Tapi hukum ekonomi dunia yang sudah jadi pakem global itu diobrak-abrik Erdogan dengan alasan menaikan suku bunga tidak sesuai dengan Islam.
Mau ketawa tapi takut dosa...
Nah, terkait inflasi yang tinggi, Turki mengalami inflasi yang sangat tinggi pada Desember 2021 yaitu 36,1 persen. Dan inflasi ini tertinggi dalam kurun waktu 19 tahun masa pemerintahan presiden Tayyib Erdogan yang sangat dibanggakan oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Bahkan harga-harga kebutuhan pokok melonjak dua digit artinya di atas 10 persen lebih. Nilai tukar mata uang Turki yaitu Lira juga terpangkas atau tergerus jauh terhadap dollar Amerika.
Tetapi presiden Tayyib Erdogan justru melawan arus hukum ekonomi ketika inflasi sedang tinggi yaitu justru meminta bank sentral Turki menurunkan suku bunga.
Normalnya, kalau inflasi sedang tinggi bank sentral akan menaikkan suku bunga simpanan. Supaya uang yang beredar di masyarakat terserap oleh bank atau disimpan di bank.
Bahkan Erdogan menekan atau memaksa bank sentral Turki untuk menurunkan suku bunga simpanan. Karena menurutnya cara ini bisa menurunkan atau menekan harga-harga yang melambung tinggi.
Dan menurut Erdogan menurunkan suku bunga simpanan juga sesuai prinsip Islam atau perintah agama.
Namun faktanya inflasi semakin tidak terkendali atau tetap tinggi dan mata uang Lira semakin terpangkas atau tergerus. Bahkan Erdogan juga menekan Badan Statistik Turki untuk tidak mengumumkan atau melaporkan inflasi yang tinggi, tetapi untuk merubah menjadi yang lebih rendah dari yang seharusnya.
Seperti kita ketahui, anak menantu presiden Erdogan yaitu Berat Albayrak mengundurkan diri sebagai menteri keuangan pada bulan November 2020. Sehari setelah Erdogan memecat atau mengganti gubernur bank sentral.
Seharusnya bank sentral itu independen. Artinya tidak bisa ditekan oleh presiden sekalipun dan murni profesional dengan prinsip pruden atau kehati-hatian dalam mengeluarkan kebijakan moneter.
Inflasi yang melanda banyak negara sebenarnya hal wajar atau lumrah.Inflasi yang wajar tentu kenaikannya tidak tinggi atau terkendali.Kalau kenaikan inflasi sangat tinggi tentu juga membahayakan perekonomian suatu negara yang bisa merembet ke masalah politik.
Yang biasanya diikuti demontrasi dan sejumlah tuntutan penurunan harga-harga atau penurunan presiden atau pergantian rezim. Dan ini juga terjadi di Turki.
Inflasi terkadang seperti buah simalakama, maksudnya yaitu-kalau inflasi terlalu rendah maka diartikan daya beli masyarakat rendah atau terjadi deflasi. Atau ekonomi sedang lesu. Sebaliknya, kalau inflasi sangat tinggi artinya memicu kenaikan harga-harga yang diluar kewajaran atau kondisi tidak normal.
Idealnya inflasi tetap terkendali atau terjaga, tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi.Yang sedang-sedang saja.
Kini Erdogan tinggal menunggu pembelaan dari para pemujanya di Indonesia, tentu saja dengan membandingkan jeleknya perekonomian di bawah rezim Jokowi.
Takut dosa tapi sudah telanjur ngakak....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews