Diplomasi Meja

Walau akibat perang itu sangat nyata, namun menghentikan perang itu tidaklah mudah. Padahal kata pepatah, “Jika kita tidak mengakhiri perang, perang akan mengakhiri kita.”

Sabtu, 2 Juli 2022 | 18:15 WIB
0
233
Diplomasi Meja
Vladimir Putin (Foto: kompas.com)

Mengikuti pertemuan–sekurang-kurangnya lewat foto yang tersebar di media sosial–antara Presiden Jokowi dan Presiden Vlodomyr Zelensky serta antara Presiden Jokowi dan Presiden Vladimir Putin, ada satu hal yang menarik. Yakni soal meja.

Jokowi dan Zelensky bertemu, berdialog, dan bertukar pendapat serta pandangan di sebuah meja bundar, warna coklat, berdiameter antara 120-150 cm. Nuansa warna coklat keemasan–meski dinding berwarna putih– mendominasi ruangan Istana Maryinsky, Kyiv, Ukraina, tempat mereka bertemu, Kamis 30 Juni 2022. Mereka duduk berhadap-hadapan.

Kata Menlu Retno Marsudi yang bercerita lewat Whatsapp, hari Kamis di kereta api dalam perjalanan dari Ukraina ke Polandia, pertemuan meja bundar dua presiden itu begitu rileks, serileks pakain mereka.

Yang satu berbaju putih lengan panjang lengan digulung, dipadukan celana panjang hitam, sepatu sneakers hitam dasar putih dan kaos kaki putih. Di dada kiri menggantung Lencana Kepresidenan kecil warna merah-putih dengan lambang burung garuda ditempel di tengah dan di ujung bawah menggantung bintang.

Yang satu, tuan rumah, tak kalah rileksnya. Mengenakan baju hijau dengan dua kantong, lengan digulung. Celana coklat. Tak ada satupun hiasan atau tanda-tanda kebesaran di dada. Sepatu sneakers hitam dasar putih. Biasanya, ia hanya kaosan; kaos kevlar warna hijau antipeluru.

Ada senyum. Ada tawa di sini. Begitulah suasana saat pertemuan, pembicaraan, sejak dari awal bertemu hingga berakhir. Semuanya rileks.

Kata Menlu Retno Marsudi, lewat Watshapp, hari Kamis dari Polandia sebelum terbang ke Moskwa, Rusia, “Chemistry keduanya cocok. Klik, istilah anak sekarang.” Karena chemistry keduanya cocok, lama pembicaraan mereka pun molor, melewati waktu yang ditentukan; lebih lama setengah jam.

Padahal, kata Menlu, “yang mereka bicarakan isu berat.” Isu yang mereka bahas memang berat: soal perdamaian, isu kemanusiaan berkait dengan masalah pangan.

Di Moskwa, Jokowi bertemu Putin. Mereka duduk berhadapan-hadapan dibatasi meja persegi empat kecil warna putih. Meja kecil warna putih setinggi lutut itu kira-kira panjang 60 Cm dan lebar 40 Cm. Nuansa warna putih mendominasi tempat mereka bertemu, di Kremlin.

Jokowi tidak lagi mengenakan “pakaian kebesarannya”, baju putih lengan panjang dengan lengan digulung, sepatu sneakers hitam, celana panjang hitam. Tapi stelan jas resmi, sama seperti tuan rumah, Putin.

Meski demikian, pertemuan kemarin istimewa. Karena mejanya kecil, maka jarak duduk mereka pun dekat. Pesannya jelas. Ada keakraban di antara mereka. Terlihat akrab. Senyum ada di wajah mereka.

Ini seperti mengulang keakrapan Bung Karno dan pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev. Tahun 1956, Bung Karno mengunjungi Moskwa. Lalu 18 Februari 1960, gantian Khrushchev mengunjungi Indonesia.

Pertemuan Jokowi dan Putin berbeda sekali dengan saat Putin menerima Presiden Perancis Emmanuel Macron. Duduk mereka dibatasi meja oval panjang. Masing-masing duduk di ujung meja. Hal yang sama juga terlihat saat Putin menerima Kanselir Jerman Olaf Scholz.

Foto berjauhan di ujung meja memicu komentar satir di media sosial dan spekulasi, termasuk oleh para diplomat, bahwa Putin mungkin menggunakannya untuk mengirim pesan. Pesan lewat meja oval panjang.

Tetapi, kata Reuters waktu itu, karena pandemi Covid 19 belum reda, Macron diberi pilihan: menerima tes PCR oleh otoritas Rusia dan diizinkan untuk mendekati Putin, atau menolak dan harus mematuhi aturan sosial yang lebih ketat: menjauhkan dan tak ada jabat tangan juga.

Paris menolak syarat itu. Karena mereka tidak mau Moskwa mendapatkan DNA Presiden Perancis itu, lewat PCR. Ketika Putin bertemu Kanselir Jerman pada bulan Februari pun demikian, duduknya berjauhan.

Ada alasan keamanan. Ada alasan kecurigaan. Tapi, alasan kesehatan menjadi alasan resmi utama. Mana yang benar? Kata Cyrille Bret, ahli politik dari Higher Institute for Political Studies, Paris, antara Perancis-Rusia, “ada sejarah benci dan cinta.”

**

Seperti kata Menlu, meski dalam pertemuan di Kyiv, Jokowi dan Zelensky terlihat rileks, tetapi mereka membahas isu berat: bagaimana mengakhiri perang, menyelesaikan masalah pangan akibat perang.

Maka yang dibicarakan adalah soal pencabutan blokade kawasan Laut Hitam oleh Rusia. Blokade itu, dikuasainya daerah selatan Ukraina oleh Rusia, telah menutup jalan ekspor gandum dari Ukraina ke banyak negara.

Pesan itulah yang antara lain dibawa Jokowi dari Kyiv ke Moskwa. Apakah Rusia tergerak hatinya untuk mencabut blokade tersebut? Di sinilah arti penting peranan Jokowi yang telah menyatakan dirinya siap menjadi pembawa pesan Zelensky ke Putin. Di meja kecil itulah isu besar itu dibicarakan.

Perang Ukraina, memang, telah menyebabkan munculnya masalah kelangkaan pangan. Kata BBC NEWS, yang mengutip laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO), perang mendorong 47 juta orang di seluruh dunia masuk ke jurang kerawanan pangan akut.

Itulah sebabnya, saat menghadiri KTT G7 di Elmau, Jerman, Jokowi meminta dukungan negara Barat di G7 untuk membantu reintegrasi ekspor komoditas pangan dan pupuk Rusia dalam rantai pasok global. Bahkan, Jokowi pun terang-terangan meminta G7 untuk tidak mengenai sanksi terhadap dua komoditas Rusia tersebut.

Isu perdamaian itu berarti menghentikan perang yang telah menelan ribuan korban jiwa. Walau akibat perang itu sangat nyata, namun menghentikan perang itu tidaklah mudah. Padahal kata pepatah, “Jika kita tidak mengakhiri perang, perang akan mengakhiri kita.”

Dan, apa kata Pak Jokowi setelah ketemu Presiden Putin? Pemimpin Rusia Presiden Putin telah memberikan jaminan padanya yakni akan mengamankan pasokan pangan dan pupuk dari Rusia dan Ukraina, untuk mencegah krisis pangan global akibat perang di Ukraina.

Apakah itu berarti perang akan segera berakhir? Yang jelas, kata Menlu Retno Marsudi dalam pesan singkatnya lewat Wathsapp, Jumat sore, “Pertemuan dengan Putin, OK mas.”

Syukurlah, kalau begitu. Begitulah cerita “Diplomasi Meja” dari Kyiv ke Moskwa. Lainnya, kita tunggu perkembangan di lapangan.

***