Kok Jokowi Jadi Beraroma Kadrun Begini

Ini adalah campur tangan urusan dalam negeri negara lain. Jokowi itu bukan Erdogan dan saya pikir sebaiknya jangan pernah.

Selasa, 3 November 2020 | 07:55 WIB
0
291
Kok Jokowi Jadi Beraroma Kadrun Begini
Macron dan Jokowi (Foto: pikiran-rakyat.com)

Saya belajar di Jurusan HI, di UI lagi. Jadi perbolehkan saya sedikit menunjukkan ketidakmengertian saya terhadap tindakan Jokowi akhir-akhir ini. Di media, kemarin saya melihat dia ikut-ikutan mengecam ucapan Macron. Sekali lagi saya garis bawahi "ucapan" Macron?

Dalam ilmu yang saya pelajari, yang mustinya dikecam itu tindakan, yang dalam konteks pergaulan antar-bangsa disebut kebijakan. Lah ini mengecam "ucapan". Saya tidak tahu, apakah hal ini menunjukkan rendahnya literasi "bahasa diplomatik" atau memang medianya yang seenaknya memformat debat atau perseteruan antarpresiden di ruang publik. Saya gagal paham!

Kedua presiden ini, tentu saja keduanya sedang berusaha menenangkan rakyatnya. Saya bisa sangat paham, kenapa Macron bersikap seperti itu. Dia sedang membela konstitusi negaranya sendiri. Apa pun, pendapat orang di luar negaranya, demikianlah konstitusi yang berlaku di negara itu. Kebebasan berpendapat dengan segala ekspresinya. Ini ranah kedaulatan dalam negeri mereka...

Yang justru saya tak habis pikir adalah ketika Jokowi mengecam "perkataan" Macron. Ini sebetulnya kecaman fifty fifty. Kecaman yang tak akan berdampak apa-apa. Tapi sangat kentara, ini adalah upaya menyenangkan sebagian warganya. yang notabene adalah segelintir atau sebanyak apa pun itu tidak mencakup semuanya. Kira-kira kalau bisa disegmentasi itu kelompok kadrun lah begitu...

Alih-alih ia bersikap kenegerawanan yang humanis. Seorang yang berupaya mendewasakan warganya dalam pergaulan antar-bangsa. Ia memilih berpihak. Ia memilih bersikap tidak jujur, orang Jawa bilang cuma ela-elu (dari kata mela-melu). Ia gagal memahami bahwa fenomena itu adalah sementara dan potensial berulang. Perancis tetap akan menjadi Perancis, dan tak akan pernah tunduk pada keinginan negara lain. Apalagi konsekuensinya adalah tindakan kriminal dan mengarah terorisme.

Ia tak bisa membedakan demo dengan anarkisme. Ia jatuh tak bisa membedakan mana kedaulatan pribadi dengan tindakan kriminal dan terorisme. semua tumpang tindih! Sialnya ia ikut menindihi dan mencampuradukkannya.

Alih-alih bersikap berdiri di tengah, meredakan kemarahan muslim, tapi sekaligus bersikap adil terhadap kelompok Islamofobia. Ia memilih berada di satu titik, yang menurut saya ini akibat bisikan dari siapa?

Jokowi itu terlalu dipuji-puji. Ia terlalu dini, dicalonkan sebagai kandidat Sekjen PBB pasca kepresidenannya yang kedua. Namanya terlalu cepat dijadikan nama jalan di Uni Emirat. Ia terlalu cepat, mendaku diri berada di tengah-tengah perseteruan antara AS dan China. Ia terlalu termakan politik diplomasi internasional yang sesungguhnya sangat dinamis itu. Orang bisa jadi hero di satu waktu, tapi tiba-tiba terjebak jadi zero di hari berikutnya.

Sistem demokrasi di Perancis itu mengenal dua hal. Di satu sisi ia menghasilkan suatu revolusi, tapi setelahnya adalah evolusi yang terus-menerus. Kita menutup mata bahwa Islam adalah agama nomer dua di negeri itu.

Perancis juga negara yang sedemikian terbuka mengakomodasi kepentingan muslim dibanding banyak negara Barat. Perancis lebih tahu urusan dirinya sendiri, dibanding negara lain di luar dirinya.

Lalu tiba-tiba sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia dengan sok tahu mengatakan "Macron tidak menghargai Islam!"

Ini adalah campur tangan urusan dalam negeri negara lain. Jokowi itu bukan Erdogan dan saya pikir sebaiknya jangan pernah. Saya tak perlu cerita bagaimana berlumuran darahnya tangan Erdogan untuk tetap ajeg berkuasa. Bagaimana setiap kali, ada momentum yang menyakiti Islam. ia akan mengecam dan berteriak kencang sekali. Seolah ia adalah pahlawan yang baik hati!

Saya tetap menduga dengan harapan kecil bahwa Jokowi sedang main sandiwara. Ia melakukan itu sebagai bagian dari upayanya membujuk umat Islam agar mau divaksin. Saya juga menduga apakah ini bagian dari meredakan isu akan adanya kudeta merangkak? Entahlah terlalu banyak kemungkinan.

Tapi kok ya tetap gak rela rasanya punya presiden beraroma kadrun. Sebetapa pun itu hanya sesaat...

***