Bila dibanding Malaysia, Indonesia jauh lebih beradab. Sejak kemerdekaan dulu, UUD kita sudah mengakui hak semua warga negara dalam kesetaraan. Sistem hukum kita tidak membedakan WNI berdasarkan ras. Tidak ada satupun kalimat dalam UUD kita yang menjelaskan sikap rasisme.
Beda dengan Malaysia. UUD negara itu, khususnya pasal 153 jelas lebih mengunggulkan ras Melayu dibanding warga negara lainnya. Sikap rasis ini disebabkan pandangan kesultanan Melayu yang takut kehilangan kekuasaan.
Wajar sih. Kemerdekaan Malaysia sebagai hadiah dari Inggris. Sementara bangsa Indonesia perlu berdarah-darah merebut kemerdekaannya dari Belanda dan Jepang. Yang satu sekadar meneruskan sistem kolonial. Sedangkan bagi kita kemerdekaan adalah menegakkan semangat pembebasan.
Saya, tentu bangga lahir dan hidup dalam negeri yang lebih beradab. Setidaknya otak pendiri bangsa ini jauh humanis dibanding bangsa tetangga. Pikirannya jauh lebih terbuka dan hatinya lebih jembar. Betapa indahnya UUD kita memperlakukan semua warga negara secara setara.
Memang harus diakui, sikap rasis pernah diberlakukan pemerintahan Orde Baru. Pasca kerusuhan 1965, Soeharto mencurigai warga Tionghoa. Mereka dipaksa mengubah namanya, dilarang kebudayaannya, dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Kisah tentang sulitnya mengurus dokumen negara sudah sering kita dengar. Bahkan sekelas juara dunia bulutangkis, seperti Susi Susanti saja pernah merasakan sakitnya mengurus sebuah dokumen kewarganegaraan. Padahal Susi telah mengharumkan nama bangsa di mata dunia.
Rasisme memang memuakkan.
Untung saja kita punya Presiden Gus Dur. Dialah yang menghapuskan politik rasisme Soeharto. Di jaman Gus Dur, semua aturan yang membatasi warga Tionghoa dihapuskan. Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional dan Kong Hu Chu diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Warga Malaysia yang cerdas, iri dengan konstitusi kita. Mereka berjuang menghapus diskriminasi ras di sana. Mereka ingin belajar dari Indonesia. Makanya baru-baru ini pemerintahan baru di Malaysia, koalisi Pakatan pimpinan Anwar Ibrahim hendak meratifikasi aturan PBB soal anti diskriminasi. Ratifikasi ICERD (internasional Convention on The Elimination of Racial Discrimination).
Pemerintah Malaysia yang baru ingin mensejajarkan bangsanya dengan bangsa beradab lain di dunia. Sebab rasisme adalah sikap paling menjijikan dari peradaban dunia.
Afrika Selatan punya Nelson Mandela, pejuang anti rasisme yang luar biasa. Ia menentang pemerintahan Apartheid yang mengunggulkan kulit putih dibanding kulit hitam. Mandela tampil. Bersuara keras. Dan Apertheid runtuh. Kini warga Afrika Selatan bisa berbangga diri hadir sebagai bangsa yang lebih beradab.
Marthin Luther King adalah pejuang anti rasialisme di AS. Ia memperjuangkan kesetaraan warga kulit hitam. Luther melawan kaum Ku Kluk Klan, organisasi kulit putih yang rasis. Luther berjuang untuk menegakkan kemanusiaan.
Sejatinya, sejarah perjuangan para Nabi salah satunya adalah menghapuskan rasisme. Nabi Musa melawan Firaun yang menindas bangsa Yahudi. Nabi Muhammad hadir mengangkat derajat semua manusia. Ia menempatkan Bilal, budak kulit hitam, di tempat mulia. Ia menentang perbudakan. Ia datang untuk membebaskan manusia dari belenggu manusia lainnya. "Di mata Allah tidak ada bedanya bangsawan Arab dengan budak kulit hitam," begitu katanya.
Bahkan Alquran mengisahkan kenapa Iblis diusir dari surga. Karena kesombongan dan sikap rasisnya. "Aku lebih baik dari Adam. Aku terbuat dari api dan dia terbuat dari tanah," ujar Iblis. Sejatinya sikap rasis adalah meneruskan semangat iblis.
Tapi justru di Indonesia sikap iblis itu malah ditunjukan dengan balutan agama. Pernah ada satu momen di mana rasisme menjelma untuk memojokkan politisi Tionghoa. Mereka menista Ahok. Mereka berteriak atas nama agama. Mereka mewakili iblis, dengan berbalut baju takwa.
Dengan semangat rasis, ribuan orang menggelar sholat di Monas. Dengan semangat rasis mereka menggelar ibadah di jalan.
Ketika kaum beradab Malaysia iri dan ingin belajar dari konstitusi Indonesia yang bersemangat kesetaraan ras. Eh, kaum cingkrang Malaysia rupanya juga belajar dari kebodohan sebagian rakyat Indonesia.
Kemarin di Malaysia digelar demo besar-besaran. Persis meniru Indonesia. Ribuan rakyat Malaysia sholat di jalan utama, mirip demo 212 yang sholat di Monas. Apa yang mereka perjuangkan? Mereka menentang ratifikasi ICERD. Mereka tetap mau ras Melayu diperlakukan lebih dari ras China dan India.
Kaum Melayu yang sholat di jalan itu ingin berkata, "Kami lebih baik dari mereka. Sebab kami Melayu sedangkan mereka adalah China dan India." Mirip seperti alasan iblis. Tapi kali ini lebih canggih, karena justru dibalut dengan jubah agama.
Salah seorang penganut ideologi iblis di Indonesia berteriak bangga dengan demo Malaysia itu menunjukan. Ukhuwah Islamiyah, kata Arie Untung. Padahal di Malaysia banyak juga Chinese muslim atau India muslim. Gerakan itu justru ingin mendegradasi orang berdasarkan rasnya tapi dibalut baju agama. Islam dibawa ke titik paling nadir.
"Mas, kita bangga ya jadi warga negara Indonesia. Bukan hanya kepintarannya yang ditiru Malaysia. Bahkan semangat kebodohannya juga mereka tiru mentah-mentah," ujar Abu Kumkum.
"Yang harus bangga, mestinya ya, iblis Kang. Ideologinya ditiru, justru oleh mereka yang mengaku paling taat beragama," timpal Bambang Kusnadi.
"Tapi orang Malaysia masih lumayanlah. Demo mereka kemarin, gak ada yang bawa bendera asing. Apalagi bendera teroris. Beda dengan kita. Demo soal Ahok yang berkibar bendera ISIS, Suriah, Palestina dan Hizbut Tahrir," lanjut Bambang dengan semangat meledek, nih.
"Semoga Siti Nurhaliza tidak ketularan Arie Untung, ya Mbang." Harapan Abu Kumkum, sepertinya tulus...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews