Bangkitnya ISIS di Irak dan Kecemasan Masyarakat Internasional

Syi'ah berpendapat pengganti Rasulullah adalah Ali r.a, (otomatis) karena beliaulah yang tepat mengganti Rasulullah, bukannya Abu Bakar, Umar dan Usman yang dipilih secara musyawarah.

Rabu, 6 November 2019 | 16:44 WIB
0
421
Bangkitnya ISIS di Irak dan Kecemasan Masyarakat Internasional
Abu Bakr Al-Baghdadi (Foto: Kompas.com)

Suriah sudah hancur. Sekarang, gerilyawan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) banyak yang menyeberang ke Irak. Hal ini sudah tentu mencemaskan masyarakat internasional, apalagi tujuan mereka kembali ke Irak setelah diserang pasukan Suriah yang didukung Rusia, juga diperbatasan Suriah-Turki yang digempur pasukan Turki, gerilyawan ISIS ini tidak lagi memiliki basis di Suriah. 

ISIS kehilangan wilayah terakhir yang dikuasainya di Suriah dan beberapa hari setelah pemimpin mereka Abu Bakar al-Baghdadi tewas dalam penggrebekan pasukan Amerika Serikat, para militan kelompok itu kini menemukan tempat aman terpencil di Irak yang belum dikuasai siapa pun. Kabar itu disampaikan pejabat militer kepada "NBC News."

"Pertempuran melawan ISIS masih berlanjut," kata Brigadir Jenderal Marinir AS William Seely, komandan Satuan Tugas-Irak. "Kami melihat para militan ISIS bergerak dari Suriah melintasi ratusan kilometer gurun menuju Irak."

Awal lahirnya Negara Islam berawal di Irak. Apakah ISIS akan memulai perjuangannya lagi di Irak setelah mengalami kekalahan di Suriah?

Fakta di lapangan, keinginan ISIS kembali ke Irak, hampir bersamaan waktunya dengan kembalinya penduduk Irak yang berada di luar negeri "1001 Malam" itu ke negara kelahirannya. 

Beberapa waktu yang lalu, terlihat di kendaraannya mereka membawa bendera putih dan berharap tidak diserang kelompok-kelompok yang bertikai, juga terhadap gerilyawan Negara Islam di Irak (ISI) yang masih tersisa. Apalagi sekarang ISIS yang di Suriah sudah mulai pulang ke Irak untuk menyusun kekuatan kembali. Buktinya Irak belum aman, baru saja terjadi ledakan bom mobil yang diklaim ISI.

Awal peristiwa, sebuah kendaraan sedang menuju Mosul, yang merupakan ibu kota pemerintah bagian Ninawa. Kota ini bermuara di Sungai Tigris. Terletak 396 km dari utara Baghdad. Pada tahun 2002, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.739.800 jiwa dan merupakan kota terbesar ketiga di Irak setelah Baghdad dan Basra.

Harapan mereka kembali ke tanah airnya, yaitu ingin kembali membangun tempat kelahirannya. Meski sulit dibayangkan, karena kota itu telah hancur, tetapi buat mereka akan lebih baik tinggal di tempat kelahirannya sendiri, Mosul, dari pada menjadi pengungsi di negara lain. 

Memang sulit jika membayangkan kehidupan semasa Presiden Irak Saddam Hussein berkuasa. Di masa itu, meski Saddam Hussein disebut dengan diktator dan berbagai istilah lainnya, ia mampu mensejahterakan rakyatnya melalui hasil bumi negaranya, minyak.

Tetapi setelah Perang Teluk II (antara Irak dengan Amerika Serikat/AS dan Sekutunya. Perang Teluk I antara Irak dengan Iran), ekonomi Irak semakin remuk karena embargo dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Setelah itu, pada 1994, Saddam terpilih sebagai Perdana Menteri sekaligus Presiden Irak untuk kesekian kalinya. Embargo PBB makin membuat ekonomi Irak cukup merana, inflasi Irak membengkak sampai angka 396,4 persen.

Selama masa embargo, Saddam sempat menyetujui kesepakatan dengan PBB untuk bisa mengekspor minyak senilai $5,2 miliar untuk membeli bahan pangan bagi rakyat Irak yang sengsara pasca perang.

Dengan cara ini, Irak bisa memulihkan ekonominya. Pada tahun 1996, malah terjadi deflasi hingga 12,5 persen. Jelang masa aksi kekuasaan Saddam, perekonomian Irak kembali mengalami kehancuran saat masa invasi AS pada periode 2001-2003, hingga Kota Baghdad jatuh ke tangan tentara AS.

Berdasarkan catatan Central Inteligence Agency (CIA), pada masa akhir embargo atau jelang runtuhnya pemerintahan Saddam di 2002, Irak masih harus mengimpor makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, meskipun buah-buahan dan sayuran masih tercukupi.

Setelah Saddam Hussein pada 2003, Amerika segera melakukan pembenahan di Irak. Menurut laporan yang dirilis oleh "cbsnews," dana sekitar $60 miliar sudah digelontorkan untuk membangun kembali Irak yang sudah porak-peranda akibat perang.

Sebanyak $2,4 miliar dikucurkan untuk perbaikan di bidang pengairan, kelistrikan, juga termasuk sektor lainnya antara lain makanan, kesehatan dan tanggungan bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal pascaperang.

Dampaknya memang cukup terasa, di atas kertas ekonomi Irak pada 2004 masih tercatat $36,628 miliar, nilai yang tak jauh berbeda ketika kali pertama Saddam berkuasa. Kemudian ekonomi Irak membaik, pada 2008 dengan GDP mencapai $131,614 miliar, hingga melaju pada puncaknya di 2014 yang mencapai $234,648 miliar, dengan GDP per kapita tertinggi pasca-Saddam sebesar $6.879,698 per kapita per tahun.

Namun, capaian tertinggi GDP per kapita yang ditorehkan pada masa puncak ekonomi Saddam di 1990 belum bisa terkalahkan.

Selanjutnya, ekonomi Irak melemah dengan GDP hanya $180,069 miliar. Berdasarkan rata-rata kinerja ekonomi tahunan di masa Saddam dan pasca Saddam, terungkap rata-rata pertumbuhan ekonomi di era Saddam (1979-2003) sebesar 6,28 persen, dengan inflasi hingga 53,96 persen.

Catatan makroekonomi ini jelas di bawah dari capaian pasca-Saddam Husein berkuasa, yang rata-rata ekonomi tumbuh 9,94 persen, dan inflasi hanya 9,30 persen.

Namun, meski GDP per kapita, tak bisa mengalahkan Irak rezim Saddam, kinerja ekonomi rata-rata sepeninggal Saddam relatif stabil, tidak sefluktuatif saat Saddam masih memimpin.

Di samping itu, berdasarkan informasi dari Harian "Kompas," Selasa, 5 November 2019, halaman 4, terungkap munculnya sentimen anti Iran yang meluas di Irak. Hal ini menambah pekerjaan rumah Perdana Menteri Irak Adil Abdul-Mahdi. Ia adalah seorang politikus dan ekonom Syi'ah Irak, dan salah satu dari dua orang Wakil Presiden Irak sekarang. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Keuangan Irak dalam pemerintahan sementara di Irak. 

Terakhir, aksi unjuk rasa di Irak sudah menimbulkan korban yang tewas sekitar 250 jiwa lebih. Kemudian aksi unjuk rasa sudah meluas ke Karbala. Sudah tentu berkaitan dengan keyakinan Perdana Menteri Irak, yaitu Islam Syi'ah. 

Karbala, atau dulunya sebuah padang pasir yang luas, adalah pusat permukiman masyarakat Islam Syi'ah. Saya berkunjung ke sana pada bulan September 2014. Sebelum ke Karbala, saya berkunjung ke Masjid Al-Kufa, di Kufa,Irak. Masjid ini adalah perjalanan berkesan saya selama di Irak, September 2014, tepatnya hari Sabtu, 20 September 2014. Sebuah masjid yang dibangun Abad VII yang luasnya 11.000 persegi. 

Kufa atau Kufah merupakan sebuah kota di Irak. Jaraknya 170 km di selatan Baghdad. Sudah dapat dipastikan memasuki Masjid itu saya sangat kagum. Masjid itu terawat dengan baik, bersih dan berlapiskan cahaya lampu. 

Di samping itu, saya bersama beberapa staf Kedutaan Besar RI di Baghdad, diajak berkeliling dan juga diperlihatkan di mana Sayidina Ali r.a, sahabat Nabi Muhammad SAW berkantor di dalam sebuah ruangan selama di sana. Staf kedutaan menyuruh saya melakukan sholat di sebuah tempat yang dianggap dekat makam sahabat Rasulullah tersebut. 

Buat saya, pergi ke makam sahabat Rasulullah (Ali r.a) itu sebagai seorang manusia, pasti sedih. Beliau meninggal dibunuh. Sama halnnya dengan Khalifah sebelumnya, Usman. 

Saya menitikkan air mata, ketika pemandu bercerita tentang sahabat Nabi itu. Hanya yang menjadi perbedaan  antara Sunni dan Syi'ah adalah bahwa sebagai khalifah, pengganti Nabi Muhammad SAW itu   dipilih atau otomatis terpilih. Di sinilah perbedaan mendasar antara Sunni dan Si'ah dalam hal siapa pengganti Rasulullah SAW. 

Syi'ah berpendapat pengganti Rasulullah adalah Ali r.a, (otomatis) karena beliaulah yang tepat mengganti Rasulullah, bukannya Abu Bakar, Umar dan Usman yang dipilih secara musyawarah (Sunni). 

Banyak hal-hal lain yang tidak perlu dibicarakan dalam perjalanan ini. Saya tidak membicarakan perbedaan ini selama di Masjid Kufah. Saya bersyukur sebagai seorang Sunni bisa melihat dengan jelas perbedaan antara Sunni dan Syi'ah. 

Setelah berkeliling,  saya pun kembali ke penginapan. Besok, pada Hari Minggu,21 September 2014 perjalanan akan dilanjutkan ke Karbala di mana anaknya Ali r.a, Hussein secara mengenaskan dibunuh dan kepanya lepas dari badan. 

Ada yang mengatakan kepalanya ditendang oleh kaki-kaki kuda musuh. Di Karbala inilah baru-baru ini para pengunjul rasa di Irak mengatakan tidak membiarkan orang Irak mana pun di Karbala.

Kalau dibaca secara mendalam, keluarga sahabat Nabi Muhammad SAW yang satu ini sungguh malang. Ali r.a dibunuh. Hassan, anak Ali r.a yang satunya meninggal dunia karena diracun. Hussein, kepalanya dipenggal oleh musuh di Padang Karbala.  

Di Padang Karbala itu sekarang banyak bangunan-bangunan. Di sinilah tempat pertempuran, padang yang luas. Saya masuk ke gedung Karbala itu. Banyak yang berziarah dan berdoa seraya menangis. Sebagai seorang manusia, air mata saya juga menetes. Saya ikut berdoa dikerumunan banyak orang di atas makam Hussein yang sudah tentu dipagari. 

Ini sebuah kehendak Allah SWT. Kepala Hussein dipenggal ketika bertempur dengan musuh. Bahkan ada yang mengatakan kepala Hussein di arak berkeliling dan ditendang ke sana kemari oleh kaki kuda musuh. Mungkin tidak banyak yang harus saya ceritakan tentang kematian Hussein. Kitab-kitab tentang kematian ini sangat banyak. 

Bagi Syi'ah kematian Hussein selalu diperingati. Saya hanya bisa berkata, ini semua kehendak Allah SWT. Kita tak bisa menentukan bagaimana kita mati dan bagaimana cara kita mati.

***