Sketsa Harian [46] Cambuk Kemapanan

Meski sangat-sangat sulit dilakukan, tetapi opini harus disuarakan, meski sudah bisa ditebak ujungnya... suara itu ibarat angin lalu.

Minggu, 15 Desember 2019 | 08:24 WIB
0
491
Sketsa Harian [46] Cambuk Kemapanan
Ilustrasi cambuk (Foto: CNN Indonesia)

"Sekelas Kompas pun begitu. Mereka bikin Kompas.com dengan perusahaan terpisah. Kemudian membuat Kompas.id yang dikelola redaksi Kompas. Bisnisnya masih sekitar langganan dan iklan," demikian kutipan kuat tulisan mantan Pemred Pikiran Rakyat Budhiana Kartawijaya.

Saya mengambil esensi alias saripati opini Kang Budhiana, bahwa; "media massa hanya mendigitalisasi medianya, tetapi abai mendigitalisasi kontennya". Semoga kesimpulan terburu-buru saya ini tidak terlalu keliru.

Bagaimana penjelasannya? Begini...

Ada media online yang terlahir tanpa didahului media konvensional sebelumnya.

Sebut saja Detik.com atau "sang pemula" Astaga.com. Tidak ada koran "Detik" atau koran "Astaga". Mereka lahir karena tuntutan zaman. Harus diakui, mereka lahir karena mengarungi ombak dan berselancar di sana. Ada yang berhasil seperti Detik, ada pula yang tenggelam seperti Astaga.

Ada pula media konvensional seperti Harian Kompas dan Republika punya versi online-nya, yaitu Kompas.com dan Republika.co.id. Dua entitas bisnis koran kertas ini sedang bertransformasi mendigitalisasi medianya; dari kertas menjadi online (Internet).

Salahkah mereka? Tidak! Justru bener.

Pertanyaannya; mengapa keduanya tidak sesukses seperti pendatang baru Detik.com, paling tidak dari sudut pandang Alexa sebagai pemeringkat online?

Jawabannya: karena tidak yakin, karena ragu, karena mapan!

Boleh jadi salah satu dari ketiga kemungkinan itu, tetapi bisa jadi tiga-tiganya.

Tidak yakin dan ragu atas keniscayaan zaman di mana media sudah beralih ke digital urusannya ketidaktahuan, ketidakmengertian dan kegamangan. Kalau akibat kemapanan, ini yang sulit, tersebab saudara paling dekat kemapanan adalah kesombongan.

Sikap ini, kesombongan, menutupi keniscayaan karena berprinsip "langit tak mungkin runtuh meski terjadi gelombang besar di bumi".

Benar bahwa Kompas.com sudah punya entitas sendiri, punya PT sendiri bernama Kompas Cyber Media. Tetapi jangan lupa, lambat lain ia tidak identik dengan Harian Kompas sebagai "induk segala induk" di payung besar bernama Kompas-Gramedia, di mana unit-unit usaha lain di bawah payung itu menyusu kepadanya. Itu dulu.

Padahal.... ini sekadar "padahal", sejak kelahiran domain bernama Kompas.com di tahun 1995, jelas-jelas domain itu punya Harian Kompas karena Kompascom saat itu sekadar memindahkan konten cetak ke konten digital dengan penambahan edisi Bahasa Inggris dan Belanda untuk berita-berita utama.

Oiya sebelum lupa, Harian Kompas punya PT yang berbeda dengan Kompas.com, yaitu Kompas Media Nusantara. Dua entitas berbeda, bukan?

Tentu kepemilikan saham pun akan berbeda dengan saham induknya, meski sang induk punya saham di "anak"-nya itu, yang dalam pandangan saya bukan "anak", seharusnya Harian Kompas itu sendiri, hanya beda bentuk saja; satu koran kertas, satu online. Pengelolaannya harusnya ya sama, bila perlu satu atap besar bernama "Newsroom Bersama", yang tak pernah terrujud meski sudah punya Menara.

Pernah pada suatu masa, saat ada rapat besar Harian Kompas di Pulau Bidadari, di mana saat itu saya ditugaskan di Kompas.com, saya mengatakan kepada hadirin saat diberi kesempatan bicara, bahwa harta paling berharga Harian Kompas itu cuma "6 huruf", yaitu KOMPAS, termasuk ketika ia diembel-embeli KOMPAS.com (baca: Kompas dotcom).

"Tugas kita adalah memulangkan kembali domain Kompas.com ke pangkuan Harian Kompas cetak. Rangkul," kata saya waktu itu.

Saya masih menambahkan, jadikan para pengelolanya, termasuk para wartawannya, sebagai karyawan Harian Kompas dengan standar yang sama atau "disamakan", sebab "nature" cetak dengan online berbeda, sehingga butuh "keprigelan" baru bermedia, yaitu mereka yang mengerti saja "nature" online.

Meski sangat-sangat sulit dilakukan, tetapi opini harus disuarakan, meski sudah bisa ditebak ujungnya... suara itu ibarat angin lalu untuk tidak mengatakannya, maaf, kentut. Masih mending kentut di mana setidaknya ada reaksi bagi yang merasakan aromanya.

Sejarah mencatat, alih-alih "mengambil" enam huruf plus dotcom, yaitu Kompas.com yang sudah sangat berharga itu, Harian Kompas memilih jalannya sendiri, yaitu membuat entitas bernama Kompas.id (Kompas dotid).

Apakah langkah ini benar? Tentu benar menurut versi pemangku kebijakan di Menara Kompas sana. Saya tidak mau masuk ke "benar" atau "salah" yang perlu pembuktian itu. Saya kembali ke opini Kang Budhiana...

Apa yang dilakukan Harian Kompas sebagai entitas bisnis koran cetak yang tidak ada lawannya itu memang baru sekadar mendigitalisasi medianya (Kompas.id), belum mendigitalisasi kontennya!

Padahal sebagaimana yang dipaparkan Kang Budhiana, iklan mini pun sudah diambil aplikasi marketplace semacam Tokopedia dan teman-temannya, iklan lowongan kerja sudah diambil aplikasi Jobstreet, berita apalagi sudah diambil aplikasi macam-macam, bahkan crowdfunding seperti Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) sudah diambil aplikasi Kitabisa.com dan tetangga-tetangganya.

Padahal, sekali lagi saja saya bilang "padahal", Harian Kompas kaya akan konten; sebut saja berita utama, cerpen, komik, fotografi, travel, sport, gaya hidup, kesehatan, iptek bahkan TTS. Apakah sudah ada aplikasi semua konten atau "pritilan" konten-konten keren Harian Kompas ini?

Jawab sendiri-sendiri, ya!

Sebagai penutup, jika Harian Kompas tidak mendigitalisasi kontennya dalam beragam aplikasi, apa yang nanti bakal tersisa?

Mungkin hanya Kompas.id saja.

Omong-omong, sudahkah Kompas.id punya aplikasi?

Jawab rame-rame, ya!

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [45] Bintang