Sketsa Harian [45] Bintang

Kalau boleh saran, kamu tetap menjadi bintang saja. Meski letakmu sangat sangat jauh terpencil di sudut mayapada, kemilau cahayamu yang redup tetap memberi petunjuk.

Jumat, 13 Desember 2019 | 19:07 WIB
0
602
Sketsa Harian [45] Bintang
Bintang (Foto: Tribunnews.com)

"Sejuta bintang kemilau menerangi mayapada, seribu kenangan indah menjelma..."

Itu satu bait lagu indah gubahan Sjafei Embut berjudul "Sejuta Bintang", lagu yang digubah tahun 1953 namun tetap masih enak didengar. Dalam sebuah kesempatan, trubador Indonesia Iwan "Abah" Abdulrachman membawakannya dengan syahdu. Tentu saja dengan petikan gitar klasik tunggalnya.

Saya memang lagi ingin berceloteh tentang bintang...

Sering orang melupakannya, sebab bintang dianggap kurang berperan dalam kehidupan. Meski sekawanan bintang bisa dijadikan peta mayapada bagi nakhoda, tetapi ia tidak memberi kehangatan dan tak cukup mampu menerangi dunia.

Sejuta bintang di langit Jakarta tidak nampak indah karena kuasa cahaya lampu yang semburat menerangi dari berbagai sudut kota. Bintang di langit kalah indah dengan lampu-lampu penerang jalan dan gedung-gedung pencakar langit.

Di hutan dan perbukitan, sejuta bintang akan nampak lebih indah, tetapi ada terselip kesan magis di sana, sebab suasana malam kadang memerangkap perasaan orang pada penjara ketakutan yang diciptakannya sendiri. Jujur, saat sedang di kaki pegunungan ketika bintang bertebaran di mayapada, saya merasa dekat dengan-Nya.

Tidak seperti mentari yang perkasa menerangi bumi dan karenanya sangat dinanti-nanti kedatangannya, bintang akan tetap seperti itu; kadang terpencil di sudut galaksi.

Cahaya bintang tidak pernah sampai menghangatkan bumi, tetapi cahaya itu sendiri simbol sebuah harapan, bahwa ada setitik cahaya di ujung lorong yang gelap.

Pun bintang tidak seperti rembulan yang kecantikan dan keindahannya sering diasosiasikan dengan "sang ratu malam". Benar, rembulan tidak mampu menghangatkan bumi sebagaimana mentari, tetapi cahayanya yang benderang kala purnama cukup membuat seisi dunia berbahagia.

Konon, daya tariknya sanggup membimbing naluri manusia untuk segera berdekapan di peraduan, membuka semua penghalang tubuh. Karenanya, bulan menjadi semacam ukuran sekaligus perangsang. Tak seperti bintang yang sering terlupakan, kehadiran rembulan sangat dinanti-nantikan.

Secara tidak sadar, watak dan prilaku manusia tidak jauh-jauh dari karakter penghuni mayapada ini. Mentari menjanjikan kehangatan, rembulan menghadiahkan keindahan, dan bintang-gemintang memberi harapan. Orang-orang tertentu memberi kehangatan, keindahan, dan harapan.

Wahai mantan terindah, kamu pilih mana; mau menjadi mentari, rembulan, atau bintang?

Kalau boleh saran, kamu tetap menjadi bintang saja. Meski letakmu sangat sangat jauh terpencil di sudut mayapada, kemilau cahayamu yang redup tetap memberi petunjuk. Meski kamu tak lagi memberi kehangatan, tetapi cahayamu tetap memberi kenangan.

#PepihNugraha

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [44] Mencipta Tokoh