Kalau boleh saran, kamu tetap menjadi bintang saja. Meski letakmu sangat sangat jauh terpencil di sudut mayapada, kemilau cahayamu yang redup tetap memberi petunjuk.
"Sejuta bintang kemilau menerangi mayapada, seribu kenangan indah menjelma..."
Itu satu bait lagu indah gubahan Sjafei Embut berjudul "Sejuta Bintang", lagu yang digubah tahun 1953 namun tetap masih enak didengar. Dalam sebuah kesempatan, trubador Indonesia Iwan "Abah" Abdulrachman membawakannya dengan syahdu. Tentu saja dengan petikan gitar klasik tunggalnya.
Saya memang lagi ingin berceloteh tentang bintang...
Sering orang melupakannya, sebab bintang dianggap kurang berperan dalam kehidupan. Meski sekawanan bintang bisa dijadikan peta mayapada bagi nakhoda, tetapi ia tidak memberi kehangatan dan tak cukup mampu menerangi dunia.
Sejuta bintang di langit Jakarta tidak nampak indah karena kuasa cahaya lampu yang semburat menerangi dari berbagai sudut kota. Bintang di langit kalah indah dengan lampu-lampu penerang jalan dan gedung-gedung pencakar langit.
Di hutan dan perbukitan, sejuta bintang akan nampak lebih indah, tetapi ada terselip kesan magis di sana, sebab suasana malam kadang memerangkap perasaan orang pada penjara ketakutan yang diciptakannya sendiri. Jujur, saat sedang di kaki pegunungan ketika bintang bertebaran di mayapada, saya merasa dekat dengan-Nya.
Tidak seperti mentari yang perkasa menerangi bumi dan karenanya sangat dinanti-nanti kedatangannya, bintang akan tetap seperti itu; kadang terpencil di sudut galaksi.
Cahaya bintang tidak pernah sampai menghangatkan bumi, tetapi cahaya itu sendiri simbol sebuah harapan, bahwa ada setitik cahaya di ujung lorong yang gelap.
Pun bintang tidak seperti rembulan yang kecantikan dan keindahannya sering diasosiasikan dengan "sang ratu malam". Benar, rembulan tidak mampu menghangatkan bumi sebagaimana mentari, tetapi cahayanya yang benderang kala purnama cukup membuat seisi dunia berbahagia.
Konon, daya tariknya sanggup membimbing naluri manusia untuk segera berdekapan di peraduan, membuka semua penghalang tubuh. Karenanya, bulan menjadi semacam ukuran sekaligus perangsang. Tak seperti bintang yang sering terlupakan, kehadiran rembulan sangat dinanti-nantikan.
Secara tidak sadar, watak dan prilaku manusia tidak jauh-jauh dari karakter penghuni mayapada ini. Mentari menjanjikan kehangatan, rembulan menghadiahkan keindahan, dan bintang-gemintang memberi harapan. Orang-orang tertentu memberi kehangatan, keindahan, dan harapan.
Wahai mantan terindah, kamu pilih mana; mau menjadi mentari, rembulan, atau bintang?
Kalau boleh saran, kamu tetap menjadi bintang saja. Meski letakmu sangat sangat jauh terpencil di sudut mayapada, kemilau cahayamu yang redup tetap memberi petunjuk. Meski kamu tak lagi memberi kehangatan, tetapi cahayamu tetap memberi kenangan.
#PepihNugraha
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [44] Mencipta Tokoh
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews