Anda Itu Sebenarnya Emosional atau Logis?

Apakah Anda cukup dewasa untuk tidak sekedar menumpahkan emosi tanpa menggunakan akal yang telah dihadiahkan oleh Tuhan dalam kehidupan Anda sehari-hari?

Sabtu, 15 Juni 2019 | 08:08 WIB
0
494
Anda Itu Sebenarnya Emosional atau Logis?
Ilustrasi emosional (Foto: Merdeka.com)

Kita dikaruniai emosi, perasaan, atau instink sebagai alat bantu dalam hidup kita. Secara sederhana kita diberi emosi positif dan negative. 

Emosi positif adalah perasaan yang tidak atau kurang memiliki perasaan negatif, sehingga tidak ada rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan. Frederickson (2009) mengidentifikasi sepuluh emosi positif yang paling umum seperti sukacita atau kesenangan, rasa terima kasih, ketenangan, minat, harapan, kebanggaan, hiburan, inspirasi, kekaguman dan cinta. 

Sebaliknya, emosi negatif digambarkan sebagai perasaan yang membuat Anda sengsara dan sedih. Emosi yang bisa menjadi negatif adalah kebencian, kemarahan, kecemburuan, dan kesedihan.

Namun, dalam konteks yang benar, dan dalam periode waktu yang singkat, perasaan ini sepenuhnya alami. Hanya robot yang tidak punya emosi.

Nanti mungkin akan ada robot wanita cantik yang bisa Anda jadikan kekasih Anda tapi tetaplah dia tidak akan pernah mencintai Anda. Para robot yang bisa memiliki perasaan seperti yang digambarkan dalam film-film Terminator, Transformer, Star Wars, dll hanyalah khayalan penulis skenarionya.

Emosi negatif adalah panggilan untuk bertindak. Ketika Anda merasakannya, itu artinya Anda harus melakukan sesuatu. Ada sesuatu yang harus Anda pertimbangkan dan pikirkan untuk lakukan. Itu adalah alarm bagi Anda untuk melakukan sesuatu untuk menghindari terjadinya lagi di masa depan.

Emosi positif, di sisi lain, adalah ganjaran dari tindakan yang benar. Ketika Anda merasakannya, hidup terasa nyaman dan Anda menikmatinya. Ini akan membuat Anda suka melakukan hal-hal yang membuat Anda merasakan emosi positif. Anda suka memberi dan membantu orang lain karena itu juga memberikan rasa nyaman pada diri Anda.

Emosi positif dan negatif akan muncul bergantian dalam kehidupan sehari-hari kita seiring dengan datangnya masalah yang datang dalam kehidupan sehari-hari kita. Emosi adalah bagian dari keseharian hidup kita, tetapi bukanlah keseluruhan diri kita. Perlu dipahami bahwa sesuatu yang terasa enak dan nyaman bukan berarti itu baik.

Punya selingkuhan itu memang menyenangkan tapi bukan berarti itu baik bagi kita. Begitu juga sebaliknya. Hanya karena sesuatu terasa tidak nyaman dan menyakitkan bukan berarti itu buruk. Kita bahkan terus menerus dilatih oleh Tuhan melalui hal-hal yang menyakitkan dan tidak menyenangkan tapi baik bagi diri kita.

Salat, puasa, zakat, bersedekah, dan macam-macam ritual sebenarnya adalah latihan agar kita mampu menerima hal-hal buruk dan tidak menyenangkan bagi emosi kita. Emosi hanyalah rambu-rambu, saran yang diberikan neurobiologi kita, bukan perintah yang harus kita turuti. Karenanya, kita tidak harus selalu memercayai dan menuruti emosi kita sendiri.

Oleh sebab itu kita harus membiasakan diri untuk mempertanyakan emosi atau perasaan kita. Kita harus menggunakan akal dan logika kita sebagai pertimbangan lain.

Banyak orang diajari menekan emosi mereka karena berbagai alasan pribadi, sosial, atau budaya — terutama emosi negatif. Tapi perlu dipahami bahwa menyangkal emosi negatif seseorang berarti menyangkal banyak mekanisme umpan balik yang bisa membantu seseorang memecahkan masalah.

Akibatnya, banyak orang berjuang untuk menghadapi masalah emosi mereka sepanjang hidup mereka. Dan jika mereka tidak bisa menyelesaikan masalah emosi mereka, maka mereka tidak bisa bahagia. Ingat, rasa sakit memiliki tujuan.

Tapi ada orang-orang yang terlalu mengikuti perasaan atau emosi mereka. Semua emosi atau perasaannya diturutinya. Semua emosinya dilampiaskannya hanya karena mereka merasa bahwa emosi atau perasaan harus dituruti.

“Saya berhenti sekolah dan memutuskan untuk menganggur sementara karena ada dorongan yang kuat dalam diri saya untuk melakukannya. Lagipula saya rasa kuliah tidak akan membawa saya ke mana-mana. Mark Zuckerberg bahkan jadi orang sukses karena keluar dari Harvard. Padahal doi kuliahnya di Harvard lho ini…!” (Salah…! Mark Zuckerberg tidak sukses KARENA keluar dari Harvard. Ia PERLU dan HARUS keluar dari kampusnya KARENA ingin sukses mengembangkan Facebooknya pada saat itu).

“Saya putuskan untuk keluar dari pekerjaan karena saya tidak bisa menerima keputusan atasan saya memindahkan saya ke cabang di luar Jawa. Kalau perusahaan tidak mau menerima alasan saya, saya juga tidak mau menerima alasan perusahaan. Titik..” (Perusahaane mbokmu tah sing kon kongkon nuruti opo karepmu?).

"Saya juga cari brondong karena suami saya diam-diam naksir janda depan rumah. Hati siapa yang tidak sakit?" (An eye for an eye and the world will go blind) .

“Saya tidak akan gunakan jalan tol karena saya benci Jokowi. Jokowi mengkhianati saya. Dia lebih memilih Iriana daripada saya.” (Maaf, ini hanya khayalan ngawur saya). 

Baca Juga: Kepemimpinan [7] Kecerdasan Emosional untuk Para Pemimpin

Perlu dipahami bahwa pengambilan keputusan didasarkan pada intuisi dan perasaan emosional, tanpa alasan lain yang menopangnya, adalah KEKANAK-KANAKAN. Hanya balita dan hewan yang mendasarkan seluruh keputusannya pada perasaan, intuisi, atau emosinya.

Balita memang belum mengembangkan kemampuan berpikir mereka sebagai alat bantu bagi emosi mereka dalam membuat keputusan. Binatang juga tidak beruntung diberi kemampuan berpikir seperti manusia sehingga semua keputusannya didasarkan pada instinknya belaka.

Itu sebabnya balita dan kucing piaraan Anda masih sering berak sembarangan dan bahkan mengotori sajadah Anda karena mereka hanya menuruti dorongan perasaan dan emosi mereka. Itu bukan karena mereka benci atau memendam dendam kesumat pada Anda. Mereka tidak atau memang belum mampu berpikir. 

Pertanyaannya adalah: Apakah Anda cukup dewasa untuk tidak sekedar menumpahkan emosi dan perasaan Anda tanpa menggunakan akal yang telah dihadiahkan oleh Tuhan bagi Anda dalam kehidupan sehari-hari Anda?

Apakah yang Anda tuliskan di media sosial telah benar-benar mencerminkan kemampuan Anda menggabungkan antara emosi, perasaan, intuisi, dengan akal sehat dan pertimbangan logika yang matang?

Surabaya, 11 Juni 2019

***