Pictogram Yogya-Indonesia PP

Mungkin Quraish Shihab ditambah Gus Mus, atau Buya Syafii, yang membuat kita masih yakin, bahwa kadang agama ada gunanya juga.

Sabtu, 14 September 2019 | 13:21 WIB
0
316
Pictogram Yogya-Indonesia PP
Membicarakan film (Foto: Dok. pribadi)

 (1) Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, akan rukunan membuat film sejarah dua tokoh mulia mereka, Kyai Haji Hasyim Asy’ari dan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Keduanya dipertemukan dalam satu frame, setelah sebelumnya pernah ada film mengenai Sang Kyai (Hasyim Asy’ari) dan Sang Pencerah (Ahmad Dahlan).

Sebagai film komersial, di tangan sutradara dan produser professional, dua film tersebut jeblok di pasaran. Nah, kini film tentang kedua tokoh itu, akan digarap sendiri oleh orang dalam NU dan Muhammadiyah.

Kecewa karena hasil kerja para professional? Entahlah. Karena tragis juga dua ormas keagamaan besar di Indonesia itu, yang mungkin jika digabung bisa mencapai 150-an juta lebih anggotanya, film tentang pendirinya sama sekali nggak sebanding banget.

Saya suka gemas berharap antara niatan dengan hasil akhir, sebagaimana kemarin nonton film Gundala garapan Joko Anwar. Katanya bagus, ternyata tetap saja khas film Indonesia. Lamban. Cerewet. Ngomong besar, tapi logikanya lemah. Meski ada juga remaja yang termehek-mehek kagum pada adegan-adegan perkelahiannya yang keren.

Cuma sebagai film, kurang entertaining. Sutradara sekaligus penulis skenarionya gagal memadukan dunia simbolik dengan verbalisme visual. Khas Indonesia.

(2) Jadi ingat Mas Fred Wibowo, tokoh penting dalam dunia kesenian Yogyakarta beberapa waktu sialm. Memiliki reputasi internasional dalam dunia audio-visual, tapi ketika membuat film Sultan Agung, lebih karena kita sering tak proporsional. Seorang pembuat film documenter bukan ukuran bagus untuk film cerita.

Meski dengan basis kuat untuk segala macam pengetahuan teoritik. Dan seterusnya. Membutuhkan diskusi panjang untuk hal ini. Sebagaimana kita bicara soal "reputasi" Livi Zheng, demi bangsa dan negara.

(3) Demikian pula kaitannya dengan kehidupan kreatif di Yogyakarta. Apalagi kini dengan apa yang disebut Danais (Dana Keistimewaan), ketika Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa, sebagaimana tertulis dalam Undang-undang Negara. Tapi dari daerah yang istimewa ini, hanya melahirkan Teater Gandrik dan Teater Garasi, yang bisa menaklukkan jargon dunia kesenian yang mandiri, selain Art-Jog. Selebihnya, kehidupan kreatifnya acap mengundang intrik, untuk hal-hal di luar dunia penciptaan.

Padahal, dalam hal kehidupan sosial-birokrasinya, Pemda DIY bisa membeberkan begitu banyak prestasi dan reputasi tingkat nasional. Meski para birokratnya masih bermasalah, atau belum siap menyambut proyeksi datangnya 25 juta wisatawan ke Yogyakarta, manakala NYIA mulai beroperasi. Banyak asset daerah yang dianggurin. Atau cuma disewa-sewakan.

Tapi kalau ada yang berinisiasi mendayagunakan, birokrasi, perijinannya tidak sigap. Masih lelet dan lemot. Alon-alon waton kecipratan. Jika daerah dengan index korupsi terendah secara nasional ini, tak bisa dipertahankan dengan beroperasi KPK ke daerah ini, wallahu’alam jawabnya.

(4) Dan kita kehilangan daya humor untuk hal-hal serius. Bahkan mereka yang suka berhumor pun dipandang remeh. Karena kemuliaan selalu dikaitkan dengan pikiran-pikiran normative (artinya mandeg). Apalagi bukan hanya di beberapa masjid dan tumbuhnya ormas.

Di kraton pun, bau-bau wahabi mulai menyeruak. Api dalam sekam yang tumbuh. Juga terkait isyu-isyu politik identitas, yang mulai menyusup diam-diam. Dalam religiusitas kita, mungkin hanya tokoh Yesus yang masih tidak marah, ketika menjadi objek lelucon.

(5) Agama menjadi jebakan tersendiri, karena orang-orang seperti Pak Quraish Shihab amatlah langka. Mungkin hanya ditambah Gus Mus, atau Buya Syafii, yang membuat kita masih yakin, bahwa kadang agama ada gunanya juga. Masih dimuliakan oleh orang-orang seperti itu. Selebihnya, mencemaskan. Terjebak dalam formalisme.

(6) Apalagi ketika media massa, seperti televisi misalnya, juga sudah dirasuki kepentingan tertentu. Menjadi media kelompok kepentingan. Dan mereka bangga dengan kelompok eksklusif itu. Bangga dengan identitas itu. Tetapi identitas yang rijik. Yang masih reseh dengan identitas lain. Dan menginginkan hanya identitasnya yang berjaya, karena merasa paling benar. Padahal tak sepenuhnya tepat, atau tidak sepenuhnya bijak.

Kita membutuhkan platform baru dalam cara-cara berinteraksi dalam dunia multi-tafsir. Tapi kehendak untuk kemutlakan, selalu menjadikan kekacauan pikir. Itu seolah sesuatu yang tanpa akhir. Merasa bangga dengan kebhinekaan. Perbedaan adalah rahmat. Tapi tak disertai kematangan dalam menerima, sama saja bokis.

***