Potensi hilangnya bahasa Inggris dan bahasa asing lain dari kurikulum dapat berdampak kepada ketertinggalan generasi bangsa dalam berkompetisi di kancah internasional.
Kemampuan berbahasa Inggris masyarakat Indonesia terbilang masih rendah sebagai dampak dari ketimpangan akses pembelajaran dan kesenjangan kualitan pengajaran yang ditemukan di berbagai daerah. Laporan indeks kecakapan bahasa Inggris yang dirilis Education First (EF) dalam 2 tahun terakhir, dari tahun 2022 hingga 2023, menunjukkan penduduk Indonesia di wilayah Jawa terlihat lebih baik kecakapan bahasa Inggrisnya ketimbang mereka yang menetap di luar pulau Jawa.
Survei dari lembaga pendidikan global terkemuka ini diadakan terhadap lebih dari 2 juta peserta tes di lebih dari 100 negara untuk mengetahui secara mendalam tingkat kemahiran bahasa Inggris di seluruh dunia. Data Indeks Kemahiran Bahasa Inggris EF 2023 (EF EPI 2023) menyebutkan Indonesia berada di peringkat 79 dari 113 negara dengan tingkat kemahiran bahasa Inggris yang masih berada di kategori rendah.
Dari data diketahui pulau Jawa adalah wilayah dengan kemahiran bahasa Inggris tertinggi. Tingkat kecakapan bahasa Inggris tertinggi di Surabaya dan kemudian di Jakarta. Sementara tingkat kemahiran bahasa Inggris terendah terdapat di Papua.
Dari indeks kecakapan bahasa Inggris yang dirilis EF tiap tahun ini diketahui terdapat kesenjangan generasi dalam kemahiran berbahasa Inggris di Indonesia. Kecakapan berbahasa Inggris disebutkan terdapat di kisaran usia 26-30 tahun dan seterusnya. Pelajar yang duduk di usia sekolah jenjang SMA hingga kuliah diketahui kemahiran berbahasa Inggrisnya masih di bawah kemahiran mereka yang sudah bergabung di dunia kerja.
Masyarakat di wilayah perkotaan memiliki kecakapan berbahasa Inggris lebih baik. ”Di kota lebih banyak kesempatan kerja sehingga kebutuhan berbahasa Inggris pun meningkat,” kata EF Head of Academic Affairs David Bish, seperti dikutip oleh harian KOMPAS.
Kenyataan ini diantaranya adalah karena adanya fakta kesadaran di kalangan pencari kerja dan profesional bahwa kemahiran berbahasa Inggris membuka kesempatan yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan dan jejaring lebih luas.
Sementara kesadaran ini masih rendah apabila dibandingkan dengan mereka yang berada di usia sekolah karena belum melihat langsung dampak bahasa asing terhadap kesuksesan di masa depan.
David Bish menerangkan penguasaan bahasa Inggris yang baik berdampak signifikan di dunia kerja. Daya saing ekonomi, pembangunan sosial, dan inovasi suatu negara juga tinggi, selain pendapatan negara.
Permasalahan dalam proses pembelajaran
Penulis dengan berbekal pengalaman mengajar bahasa Inggris di sekolah dan mata kuliah umum bahasa Inggris di universitas, melihat kegagalan penguasaan bahasa Inggris di kalangan pelajar tidak semata-mata karena kurang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya peran bahasa asing bagi kesuksesan masa depan mereka.
Kenyataan yang ditemukan penulis dan beberapa kolega di lapangan menunjukkan fakta baik guru dan siswa masih menghadapi banyak masalah dalam proses pembelajaran. Indikasi ini terlihat pada sikap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, hasil belajar siswa, dan partisipasi dalam kegiatan kelompok maupun individu.
Kehadiran instruktur bahasa yang profesional diperlukan untuk mencetak peserta didik yang berkualitas. Tidak hanya itu saja, selain penguasaan materi yang memadai, pengajar bahasa asing juga dituntut untuk mengetahui penguasaan bahasa asing setiap peserta didik. Ini karena setiap siswa memiliki beragam karakteristik yang mencakup teknik belajar dan tingkat penyerapan pelajaran seperti tertuang dalam konsep intelegensi majemuk (Stanford, 2003).
Ada 4 keterampilan yang harus diketahui peserta didik dalam berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, serta menulis. Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, seorang siswa tentu pernah mengalami hambatan dalam belajar sehingga berdampak ke kurang maksimalnya hasil belajar siswa. Fakta ini dapat terjadi pada siapa saja termasuk pada mahasiswa yang mengambil program studi bahasa Inggris maupun non-bahasa Inggris.
Hasan (2000) menerangkan umumnya kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing adalah ketidakpahaman pada pengucapan bahasa Inggris yang diutarakan dengan kecepatan normal melalui materi listening.
Dalam keterampilan membaca, Rahmawati (2011) berpendapat masalah yang ditemui dalam pemahaman teks bacaan terletak pada kurangnya pengetahuan tentang bahan bacaan dan ketidaktahuan bagaimana cara mengaitkan ide antara kalimat satu dengan yang lain.
Sementara dalam keterampilan berbicara, Megawati & Mandarani (2016) dalam penelitiannya, menemukan kesulitan yang kerap ditemui siswa dalam berbicara bahasa Inggris terletak pada minimnya kosa kata bahasa Inggris. Keterampilan menulis menempati tingkat kesulitan tertinggi karena kegiatan ini menuntut proses pemikiran yang kompleks dan sistematis.
Permasalahan pada pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya ditemukan di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan atas, tetapi juga hingga di perguruan tinggi.
Mahasiswa yang tidak berlatar belakang pengetahuan bahasa Inggris mumpuni sejak SD hingga SMA akan sangat terbebani dengan hal ini. Tidak heran, sebagai pembelajar bahasa Inggris yang tidak mendalami ilmu di bidangnya menunjukkan beragam respon kesulitan dalam proses pembelajaran (Zuomin, 1995)
"Mahasiswa dapat dikatakan aktif saat dalam proses pembelajaran turut menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan, dan sering menjelaskan pendapat saat kegiatan kelompok. Mereka yang kurang aktif dapat diamati dari intensitas interaksi yang jarang terjalin antara mahasiswa tersebut dengan dosen. Mereka hanya aktif saat diminta atau ditunjuk dosen untuk menjelaskan pendapatnya," jelas Anna Rifaatul Afiah, M.Pd., pengajar mata kuliah umum bahasa Inggris Universitas Pembangunan Jaya.
Sementara koordinator mata kuliah umum bahasa Inggris Universitas Pembangunan Jaya, Andi Dagmarbumi, M.Hum., berpendapat faktor penyebab kesulitan dalam belajar berbicara bahasa Inggris terlihat dari jumlah frekuensi praktik berbicara bahasa Inggris dan faktor psikologi yang tergolong dalam faktor afektif. "Mahasiswa terbilang pasif dimana mahasiswa hampir tidak pernah berkontribusi secara lisan dalam bahasa Inggris dengan dosen maupun teman kelas, dan nilai kuis atau ujian tengah dan akhir semester rendah," tutur Andi Dagmarbumi.
Kompetensi instruktur bahasa Inggris
Dr. Li. Nurdiana, S.Psi., M.Hum., dosen tetap Program Studi Magister Linguistik Terapan Universitas Al Azhar Indonesia, berpendapat bahwa masih cukup banyak ditemukan pengajar bahasa Inggris yang kemampuan bahasa Inggrisnya sebenarnya masih belum mumpuni untuk menjadi pengajar. Hal ini diketahui dari hasil observasi Dr. Li. Nurdiana, S.Psi, M.Hum saat mengadakan semiloka dan pelatihan terhadap guru-guru bahasa Inggris yang mengajar di sekolah.
"Sejatinya, guru merupakan sumber language input saat mereka mengajar dan berinteraksi dengan siswa. Pembelajar yang menjadi siswa guru-guru tersebut mendengar dan boleh jadi merekam bahasa yang digunakan oleh guru. Jika yang diingat adalah penggunaan diksi dan tata bahasa yang kurang tepat, maka hal ini akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap kemampuan bahasa Inggris siswa," kata Dr. Li. Nurdiana.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, sempat menyampaikan rencana dari kementeriannya tahun lalu untuk menanggapi keprihatinan terhadap kompetensi pengajar bahasa Inggris di Indonesia. Menurut Nadiem, kementeriannya sedang menggagas program peningkatan kemampuan berbahasa Inggris para guru bahasa Inggris di Indonesia dengan menghadirkan penutur asli (native speakers) atau orang yang kemampuannya mendekati (semi-native speakers) untuk memberikan pelatihan.
Pertanyaan yang muncul dari program yang sedang dipertimbangkan Kemendikbudristek itu sekarang adalah apakah benar bahwa lemahnya kecakapan berbahasa Inggris orang Indonesia disebabkan hanya oleh rendahnya kecakapan berbahasa Inggris guru bahasa Inggris. Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah apakah kompetensi guru bahasa Inggris di Indonesia akan secara efektif meningkat apabila mendapatkan pelatihan dari instruktur native speakers atau semi-native speakers.
Hal yang pasti adalah pemerintah tidak dapat secara parsial melihat permasalahan ini tanpa melibatkan para akademisi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) bahasa Inggris dan fungsionaris organisasi profesi pendidikan bahasa Inggris di tingkat nasional seperti The Association for the Teaching of English as a Foreign Language in Indonesia (TEFLIN) untuk mengatasi permasalahan yang ada secara komprehensif.
Keseriusan pemerintah juga harus terlihat dalam kebijakannya yang benar-benar ditujukan untuk meningkatkan kecakapan bahasa Inggris baik ke kalangan pelajar maupun pengajar. Keseriusan ini sempat dipertanyakan setelah muncul ketentuan pasal 81 RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). RUU Sisdiknas ini ternyata tidak memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan wajib.
TEFLIN memprotes kebijakan tersebut karena berpotensi kepada hilangnya acuan resmi untuk memunculkan mata pelajaran bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dalam struktur kurikulum. Menurut TEFLIN, potensi hilangnya bahasa Inggris dan bahasa asing lain dari kurikulum dapat berdampak kepada ketertinggalan generasi bangsa dalam berkompetisi di kancah internasional.
Pemerintahan baru Indonesia yang akan terbentuk dalam tahun ini harus mengkaji ulang kebijakan yang justru berpotensi melemahkan kemampuan bangsa untuk mengembangkan diri dalam pemerolehan kecakapan bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya.
Keseriusan pemerintah dalam penyusunan kebijakannya merupakan bagian cerminan kesiapan bangsa ini membekali generasinya dengan kecakapan bahasa Inggris untuk menyambut Indonesia Emas 2045, yaitu saat Indonesia diharapkan menjadi negara maju yang siap menghadapi tantangan kompetisi global.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews