Jika Ibukota Negara bisa menjadi prototype disain sosial-budaya sebuah kota baru, ia akan menjadi role model bagi penataan ulang tata-ruang kita, yang dari sejak merdeka hingga Orde Baru sama sekali tak terpikirkan.
Pengumuman pindah Ibukota, sudah dilakukan Presiden Jokowi. Kontan mengundang pro-kontra.
Tak mudah menjadi Presiden Republik Indonesia. Lebih mudah menjadi Fadli Zon, Fahri Hamzah, atau Rocky Gerung dan Ridwan Saidi misalnya. Meski pun lebih mudah lagi menjadi Karni Ilyas, lebih gampang dapat duit pula. Tapi begitulah. Pohon tinggi anginnya kencang. Jika akar tak kuat, gampang robohlah dia.
Keberanian Jokowi memecah permukaan batu es, menunjukkan apa sebenarnya agenda atau tendensi politiknya. Saya kira salah besar jika pemindahan Ibukota lebih karena DKI Jakarta bermasalah. Jika kita melihat visi besar Jokowi, pemindahan Ibukota Negara bisa diduga berkait dengan simbol-simbol mercusuar, terobosan-terobosan penting, baik simbolik maupun verbal.
Keberatan berbagai pihak, acap dengan argumentasi sempit. Lebih karena faktor like and dislike, dengan tudingan klasik.
Misal, masalah Papua lebih mendesak, utang luar negeri, kemampuan APBN, dan tidak menjadi problem solving bagi Jakarta sendiri. Tak ada yang melihat dari Indonesia ke depan, 10, 20, 50 tahun, dan entah sampai kapan. Termasuk dalam barisan ini, Prof. Dr. Emil Salim, menteri KLH jaman Orde Baru, meski Bappenas yang ditembak sebagai penyuplai data Presiden.
Jika dikaitkan problem dasar negara ini, dengan segala carut-marutnya, tentu takkan ada selesainya. Persis perdebatan Sukarno-Hatta menjelang kemerdekaan. Merdeka dulu atau rakyat siap dulu? Bung Karno bilang merdeka sekarang juga, baru kemudian membangun bangsa dengan kemandirian.
Sementara Hatta cemas, kemerdekaan dengan kualitas sdm yang parah, sangat berbahaya. Tapi masalahnya, kapan kita siap jika menunggu tingkat kematangan bangsa ini? Apakah bangsa ini setelah merdeka 74 tahun sudah menjadi makin bermutu?
Itulah sebab kemerdekaan adalah jembatan emas, yang akan mengantar kita ke kemenangan atau kejayaan. Dalam konstelasi ekonomi dan politik global, dengan berbagai implikasi perubahan, wacana pemindahan Ibukota Negara saya kira penting untuk set-up ulang, mau ke arah mana negeri ini dihadapkan.
Jika Ibukota Negara bisa menjadi prototype disain sosial-budaya sebuah kota baru, ia akan menjadi role model bagi penataan ulang tata-ruang kita, yang dari sejak merdeka hingga Orde Baru sama sekali tak terpikirkan.
Sudah barang tentu, set up itu berkait dengan rekayasa sosial-budaya, pendekatan kultural, studi ekologi, dan baru kemudian planologinya. Sepastinya dengan syarat dan ketentuan berlaku. Hanya persoalannya, di tengah formalisme berfikir, diskusi-diskusi kita selama ini menjadi tampak ecek-ecek.
Baca Juga: Bagaimana Jika Presiden 2024-2029 Menyatakan Ibu Kota Tak jadi Pindah?
Mirip apa yang dikembangkan dalam ILC oleh Karni Ilyas, hanya debat untuk debat berdasar kepentingan masing-masing. Apalagi yang bernama perubahan adalah pantangan bagi kaum comfortable zone dan vested interest.
Persoalan lain, semenjak Departemen Penerangan dihapus Gus Dur, pemerintah agaknya tak mampu mengelola problem-problem komunikasi dan informasi publik ini. Padahal, mestinya bukan Departemen Penerangan yang dihapus, melainkan Departemen Agama.
Pertanyaannya, kenapa pindah ke Kalimantan, bukannya tetap di Jakarta yang mempunyai Kalijodo, yang sudah dibersihkan Ahok? Apakah kalinya nggak jodo lagi, karena ulah Anies? Terus clbk dengan kali mantan? Mantan memang selalu membawa kenangan 'ngkali?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews