NET, Buruk Muka Cermin Dibelah

Kalau gagal mengajak pinter, perbanyak dulu isi kantong, agar bisa berderma menjadi sang altruist. Bisnis mah bisnis saja, dengan ketentuan dan syarat berlaku.

Selasa, 13 Agustus 2019 | 22:58 WIB
0
1433
NET, Buruk Muka Cermin Dibelah
Net TV (Foto: Grid.id)

Lagi-lagi masyarakat disalahkan, itu yang bisa disimpulkan dari yang terjadi pada NET-TV, Televisi Masa Kini. Masa Kini?

Tak cerdik membaca peta, tak mampu melakukan positioning, salah strategi, kemudian masyarakat (sebagai target audiens atau konsumen) disalahkan. Itu ciri manajemen bodoh. Kalau pinter, gimana bisa kalah di bisnis itu? Nyadar hidup di lingkungan bodoh, nyodorin sesuatu yang (dibilang) tidak bodoh, tapi gagal; di mana istimewanya?

Faktanya, NET-TV sebagai televisi masa kini, jeblok dalam perolehan iklan. Pemasang iklan tahu, pemirsa NET bukan hanya sedikit tapi juga segmented. Di situ pemasang iklan lebih pintar melihat potential buyers.

Masuk jalur kompetitif, dengan content yang bagus (pernyataan yang meragukan), di situ strategi NET bermasalah. Kalau masuk keunggulan kompetitif, siapa orang di belakang NET? Wishnutama yang cerdas?

Tak cukup. Nilai investasinya harus melampaui, atau setidaknya setara, dengan RCTI (termasuk MNC-TV, GTV), atau Emtek (termasuk SCTV dan Indosiar). Berlaku pola linier; investasi, kualitas sdm, content, daya jangkau siaran.

Menyebut NET sebagai stasiun televisi masa kini, rasanya terlalu berlebihan. Karena tak jauh beda dari stasiun televisi lainnya. Pada sisi itu, Metro TV, TV One dan Kompas TV, meski tidak meraup keuntungan besar seperti RCTI, SCTV dan Indosiar, mereka tidak dalam posisi seperti NET yang merugi.

Baca Juga: Dilema NET TV dan Isu PHK Massal

Jika mau berbisnis (ke industri) televisi, adalah congkak jika menyalahkan selera rendah masyarakat. Itu menunjukkan kebodohan sendiri dalam memposisikan diri atau kegagalannya berstrategi. Lagi pula, di tengah perubahan yang cepat dari sisi teknologi, banyak hal harus diperhatikan oleh para pengelola NET-TV.

Televisi masa kini menyangkut platform yang berubah. Dari sajian tayangan dengan cara menggabungkan elemen live TV, on demand viewing, hingga media sosial. Dalam perkembangannya, kini acara televisi bisa disaksikan lewat berbagai sarana, seperti parabola, tayangan free to air, gadget, dan perangkat streaming full HD yang disambungkan ke televisi. Bandingkan dengan NET yang masih konvensional, dan hanya mejeng di youtube untuk penunjang eksternalnya. Itu mah bukan masa kini, tapi jadul.

Jadi, jangan karena buruk muka cermin dibelah. Nyalahin selera masyarakat. Industri 4.0 bukan lagi kompetisi, melainkan kolaborasi. Masyarakat bukan lagi objek tapi juga subjek, partisipan, mengedepankan prinsip EULA (End User License Agreement), yang menjamin adanya perjanjian antara pembuat dan pemakai. Kalau pun selera masyarakat rendah, bukankah yang pinter mesti membuat pinter yang bodoh?

Kalau gagal mengajak pinter, perbanyak dulu isi kantong, agar bisa berderma menjadi sang altruist. Bisnis mah bisnis saja, dengan ketentuan dan syarat berlaku.

Kalau punya niatan suci (menjadi sang pencerah masa kini), jika kaki lumpuh di tengah jalan, jangan nyalahin jalan panjang berliku dan beronak-duri dong! Cemen!

***