Memahami 4 Akar Kemarahan dan Cara Mengatasinya

Ada kalanya, kemarahan itu perlu, asal dilakukan secara kontekstual, yakni dengan sikap welas asih dan kebijaksanaan.

Selasa, 14 Mei 2019 | 06:37 WIB
0
717
Memahami 4 Akar Kemarahan dan Cara Mengatasinya
Ilustrasi kemarahan (Foto: Rumahfilsafat)

Jantung berdetak keras. Kepala terasa sakit. Seluruh badan menegang. Jika mungkin, ingin sekali rasanya berteriak.

Pada puncaknya, orang lupa diri. Semua kesadaran lenyap. Itulah kemarahan. Gejalanya menyakitkan. Namun, ia tak dapat begitu saja dihindarkan.

Memang, selama kita masih hidup, kemarahan, dan beragam emosi lainnya, pasti akan datang berkunjung. Kemarahan adalah emosi manusia. Ia dirasakan secara pribadi. Namun, ia juga memiliki unsur sosial.

Indonesia tak asing dengan amuk massa. Gerombolan orang merusak berbagai hal yang ada di depan mata mereka. Ini adalah kemarahan sosial. Alasannya beragam, mulai dari kekecewaan pada keadaan politik dan ekonomi, sampai demo pesanan penguasa busuk tertentu.

Di sisi lain, banyak orang mengira, bahwa orang yang telah mendalami Zen tidak akan pernah bisa marah. Mereka hidup dalam kedamaian abadi. Tak ada yang dapat menganggu mereka. Anggapan ini jelas salah kaprah.

Baca Juga: Psikologi Orang Kalah Biasanya Marah, Bahkan Halusinasi

Kemarahan perlu dipahami, supaya ia tak menjajah hidup kita. Pemahaman muncul dalam dua titik, yakni pemahaman akan akar kemarahan, sekaligus pemahaman tentang keluar dari kemarahan. Pemahaman adalah kunci kebebasan.

Akar Kemarahan

Kemarahan memiliki empat akar. Keempat akar ini saling terhubung satu sama lain.

Pertama, kemarahan berakar pada kekecewaan, yakni ketika keinginan bertentangan dengan kenyataan. Ini terlihat sederhana, namun dampaknya bisa sangat parah, mulai dari stress, depresi, kehilangan kewarasan sampai dengan bunuh diri.

Dua, kemarahan berakar pada pikiran yang mencengkram. Inilah ambisi, yakni upaya untuk menjajah kenyataan, supaya sesuai dengan keinginan, jika perlu dengan kekerasan. Orang amat menginginkan sesuatu, sampai lupa, bahwa kekuatan dirinya terbatas. Ketika kenyataan lolos dari cengkraman, penderitaan adalah buahnya.

Tiga, ketika orang mencengkram terlalu kuat dunia, supaya berjalan sesuai keinginannya, ia akhirnya melekat, dan tak mampu melepas ambisinya sendiri. Kemarahan pun muncul. Penderitaan datang berkunjung. Tak mampu melepas adalah penderitaan pada dirinya sendiri.

Empat, segalanya berubah. Apa yang lahir pasti akan berakhir. Ketika orang tak mampu menerima ini, maka ia akan jatuh pada kemarahan. Ia menginginkan sesuatu yang mustahil, yakni supaya segalanya tetap seperti yang diharapkan, atau kembali ke masa lalu yang diimpikan.

Kemarahan adalah racun bagi diri. Berbagai penelitian menunjukkan, bahwa ketika orang marah, seluruh sistem biologis tubuhnya menjadi kacau.

Sesungguhnya, dengan marah, orang menyakiti dirinya sendiri. Ketika kemarahan menggumpal menjadi dendam, berbagai penyakit pun datang mengunjungi diri, mulai dari ketidakseimbangan hormon, sampai dengan kanker.

Just Do It

Bagaimana jalan keluar dari kemarahan? Kita perlu memiliki pemikiran yang melepas setiap saat. Apapun yang muncul di kepala, perlu segera dilepas, supaya tidak menghasilkan ambisi baru, yang berujung pada penderitaan. Bagaimana cara melepas?

Orang dapat melepas, jika ia menerapkan just do it (lakukan saja) mind. Artinya, apapun yang ia lakukan, ia lakukan sepenuhnya, tanpa keraguan. Ketika berjalan, ia sekedar berjalan. Ketika duduk, ia sekedar duduk.

Baca Juga: Kemarahan Taufik kepada Hamba Tuhan Sembilan Senti

Ketika bernapas, ia sekedar bernapas. Ketika menderita, ia sekedar menderita. Ketika berpikir, ia sekedar berpikir. Dengan cara ini, kemarahan, dan semua emosi lainnya, akan turun, dan kebenaran akan tampak di depan mata, yakni kebenaran disini dan saat ini. Hidup pun akan menyentuh dimensi yang sebelumnya tak tampak.

Apakah lalu kemarahan akan langsung lenyap, dan orang tak akan marah lagi? Tidak. Kemarahan lalu dibalut dengan kesadaran, sehingga bisa digunakan sesuai dengan konteks kebutuhan. Ada kalanya, kemarahan itu perlu, asal dilakukan secara kontekstual, yakni dengan sikap welas asih dan kebijaksanaan. Dengan cara ini, kemarahan tak lagi menjadi sumber penderitaan, melainkan justru bisa menolong orang lain.

Memahami kemarahan adalah kunci kebebasan, sekaligus kunci dari kebahagiaan yang lestari. Para politisi kita, terutama yang kalah dari pilpres dan pileg April 2019 kemarin, perlu memahami hal ini. Dengan begitu, berbagai peristiwa politik yang konyol kiranya bisa dihindari.

 ***

Catatan: Judul asli artikel ini adalah "Memahami Kemarahan".