Psikologi Orang Kalah Biasanya Marah, Bahkan Halusinasi

Inilah yang dinamakan bagian dari propaganda dengan tujuan membuat masyarakat bingung dan resah siapa pemenang sebenarnya.

Kamis, 18 April 2019 | 09:53 WIB
0
825
Psikologi Orang Kalah Biasanya Marah, Bahkan Halusinasi
Prabowo Subianto (Foto: Detik.com)

Orang kalah biasanya nadanya sumbang dan akan mencari-cari masalah. Orang kalah bisa menjadi kalap karena tidak bisa menerima kekalahannya. Menerima kekalahan itu tidak mudah dan perlu waktu untuk bisa menerima kekalahannya. Tak ubahnya seperti orang putus cinta, perlu waktu untuk melupakannya.

Orang Perancis punya tekad, je finirai par l'oublier, sebagaimana yang disenandungkan Nana Mouskouri, "saya akan mengakhirinya dengan melupakannya!"

Namun prinsip ini rupanya tidak dimiliki seorang Prabowo Subianto yang tidak cukup ksatria menerima kekalahan dan mengakui kemenangan lawan, padahal sejatinya dia jenderal purnawirawan TNI bintang tiga, yang seharusnya menjunjung tinggi sportivitas.

Di sisi lain, orang menang biasanya akan meluapkan kemenangannya atau kegembiraannya. Bahkan terkadang berlebihan dalam menyambut kemenangan tersebut atau eforia. Tapi uniknya, ini tidak terjadi pada lawan Prabowo, yaitu Joko Widodo, yang sangat kalem dan tenang menerima kemenangan Pilpres versi hitung cepat sejumlah lembaga survei.

Dalam pilpres 2019, berdasarkan quick qount alias hitung cepat itu lembaga-lembaga survei yang kredibel yang disiarkan oleh stasiun TV pasangan capres-cawapres 01 unggul atau menang dalam pilpres dengan persentase antara 53 persen sampai dengan 56 persen.

Akan tetapi pasangan capres-cawapres Jokowi-Amin yang menurut hasil quick count menang dalam pilpres belum berani membuat pernyataan dan menyatakan diri sebagai pemenang tetap menunggu hasil resmi KPU. Tidak ada euforia kemenangan yang berlebihan.

Berbeda dengan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam konferesnsi pers sore hari Rabu kemarin menyatakan bahwa berdasarkan Exit Poll dari 5.000 TPS, merekalah yang menang dengan persentase 55,4 persen. Tidak lupa Prabowo menuduh lembaga-lembaga survei yang merilis hasil quick count sengaja menggiring opini dan berpihak pada pasangan capres-cawaprs 01.

Harusnya kalau benar data  Exit Poll yang diambil dari 5.000 TPS kubu pasangan 02, hasilnya tidak akan berbeda dengan lembaga-lembaga survei yang lain untuk mengetahui siapa pemenang dalam pilpres.

Bahkan Prabowo melakukan konferensi pers yang kedua pada malam dan menyatakan ia menang mutlak dengan perolehan suara 62 persen. Ajaib!

Prabowo juga menyatakan kalau dirinya adalah Presiden Indonesia. Pemandangan ini mengingatkan siapapun pada presiden oposisi Venezuela Juan Guaido yang menyatakan dirinya sebagai presiden baru menggantikan Maduro. Bedanya Guaido muda dan ganteng pula.

Menurut real count internal, Prabowo konon menang mutlak dengan angka 62%. Sebenarnya ini hanya klaim semata. Sekalipun dengan argumentasi real qount internal mereka. Harusnya kalau benar hasil real count mereka unggul dengan persentase 62 persen, lebih baik datanya dibuka secara transparan.

Justru kalau benar real count mereka sebagai pemenang, maka lembaga-lembaga survei dalam rilis quick count memenangkan pasangan Jokowi-Maruf Amin akan kehilangan kredibilitasnya dan akan merusak citra lembaga survei itu sendiri. Tapi anehnya, kubu Prabowo juga tidak berani membuka data real count mereka. Hanya sebatas klaim semata. Persis seperti anak kecil mengklaim mainannyalah yang laing baik.

Klaim kemenangan dengan 62 persen sebenarnya hanya bagian dari propaganda semata di mana hoax sudah diproduksi sebelumnya. Karena beberapa hari sebelum pencoblosan, Prabowo sudah mengatakan bahwa berdasarkan survei internal ia akan menang mutlak dengan perolehan 63 persen. Mau diapa, hoax ini harus diklopkan dengan kebohongan yang diciptakannya.

Jelas ini sebuah inkonsistensi yang sangat telanjang di depan publik yang sudah terdidik. Dari kacamata manapun terlihat, Prabowo sesungguhnya sedang menelanjangi dirinya sendiri!

Dalam konferensi pers pertama pada sore hari ia mengatakan bahwa mereka menang dengan perolehan 55,4 persen. Pada konferensi pers kedua malah hari menjadi 62%. Naiknya sangat cepat dalam hitungan jam saja.

Inilah Dejavu!

Pada pilpres 2014, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa juga mengklaim unggul berdasarkan real count mereka dengan perolehan suara sekitas 52 persen. Akhirnya sujud syukur atas kemenangannya berdasarkan real count internal mereka. Padahal, lembaga-lembaga survie sudah merilis hasil quick count yang memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Rupanya penyakit 5 tahunan Prabowo kumat lagi. Sejarah terulang kembali pada pilpres 2019. Bahkan lebih parah dari pilpres 2014. Soalnya pada pilpres 2019 ini Prabowo sudah berani mendekalrasikan dirinya sebagai pemenang dan merupakan presiden terpilih. Wow, crazy!

Bahkan dengan pekik takbir 3x dan sujud syukur seperti pada pilpres 2014. Bedanya, sujud syukur sekarang tidak didampingi cawapresnya Sandiaga Uno. Mungkin cawapresnya lebih waras dan realistis dalam menerima hasil quick count dari lembaga-lembaga survei.

Inilah yang dinamakan bagian dari propaganda dengan tujuan membuat masyarakat bingung dan resah siapa pemenang sebenarnya. Kalah menurut hasil quick count tapi merasa menang menurut real count internal mereka.

***