Jawa Pos, Plagiarisme AS Laksana atau Eksperimen Riset yang Keliru?

Yang disayangkan dalam kasus AS Laksana versus Jawa Pos ini, ia berhasil mengelabui media besar. Tapi kejahilannya itu tak menghasilkan kesimpulan apapun yang bisa dipertanggung jawabkan.

Selasa, 8 Juni 2021 | 17:38 WIB
0
240
Jawa Pos, Plagiarisme AS Laksana atau Eksperimen Riset yang Keliru?
AS Laksana (Foto: indozone.com)

Yang penting itu bukan isi kesimpulannya. Tapi apakah kesimpulan itu sahih. Valid! Yaitu kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan prosedur yang benar dan terukur.

Itu hal pertama yang muncul di benak saya membaca dua berita yang bertolak belakang: AS Laksana versus Jawa Pos.

Kasus ini penting untuk dielaborasi agar kita punya pedoman yang ilmiah jika ingin “mempermainkan secara serius,” sebuah media yang terhormat, atau lembaga lain, dalam rangka riset yang bisa dipertanggung jawabkan.

Dengan memahami cara menarik kesimpulan yang benar versus keliru, kita tak terjatuh menjadi jahil dengan kesimpulan kelas gosip, namun mempermalukan media yang terhormat, secara keliru pula.

Pagi hari awal Juni 2021, saya mendapatkan dua berita yang ramai diperbincangkan di aneka media sosial dan WA grup.

Pertama, link facebook tulisan AS Laksana. Ia memberi judul tulisannya: Pengakuan Terbuka (1).

Dalam esai pendek itu, AS Laksana mengakui bahwa cerpen yang dimuat di Jawa Pos hari itu bukan karangannya. Judul cerpen: Bidadari Bunga Sepatu, dimuat tanggal 6 Juni 2021.

Menurut AS Laksana, itu karangan Afrilia, peserta dalam kelas menulis yang Ia asuh.

“Dimuat di media itu perkara mudah,” ujar AS laksana. Jika cerpen itu dikirim dan dibuat seolah olah menggunakan namanya, walau bukan Ia penulis sebenarnya, cerpen itu akan dimuat.

Dimuat karena nama penulis!

Lalu AS Laksana membuat sebuah alinea. Ia meminta peserta kelas menulis melanjutkannya menjadi cerpen. Afrilia yang paling cepat menuntaskannya.

Maka cerpen Afrilia itu, diedit oleh AS Laksana, dan Ia kirim ke Jawa Pos. Cerpen itu Ia ubah pula nama penulisnya, menjadi cerpen yang seolah- olah AS Laksana sendiri penulisnya.

Ketika dimuat di Jawa Pos, AS Laksana membuat pengakuan. Itu bukan karyanya. Itu karya Afrilia. 

Bahkan karya penulis tak dikenal bernama Afrilia, ketika diedit oleh AS Laksana, menggunakan nama AS Laksana seolah-olah sebagai penulisnya, cerpen itu dimuat media besar Jawa Pos.

Jawa Pos pun membuat jawaban (2). Koran ini mencabut cerpen itu dengan tuduhan plagiarisme. Ternyata itu bukan karya AS Laksana.

Bagaimana Jawa Pos tahu itu bukan karya AS Laksana? Cerpen itu memang dikirim oleh dan atas nama AS Laksana. Tak ada keterangan di catatan kaki atau dalam bentuk komunikasi lain, bahwa itu bukan karya AS Laksana.

Di samping itu, yang penting menurut Jawa Pos, cerpen itu memang bagus.

Cerpen itu dicabut bukan karena kualitasnya yang ternyata buruk. Tapi ini murni plagiarisme.

Maka para netizen, jurnalis, dan peminat terlibat dalam pro kontra.

Bagaimana kita memahami duduk perkara di atas?

Adalah keliru jika AS Laksana dibandingkan dengan eksperimen yang kini dikenal dengan nama Sokal Affair (3).

Alan David Sokal seorang ilmuwan otoritatif. Ia seorang profesor matematik di University College London. Ia juga profesor ilmu fisika di New York University.

Di tahun 1996, Ia melakukan eksperimen. Sudah lama Ia mendengar bahkan Jurnal Akademik di dunia barat sekalipun tidak benar benar digawangi dengan editorial yang ketat.

Apalagi jika itu Jurnal di bidang ilmu sosial. Yang penting, kesimpulan makalah itu sesuai dengan “bias ideologi,” editor, dan ditulis oleh mereka yang otoritatif. Maka makalah itu akan dipublikasi. Tak penting walau analisa dan data makalah itu rada rada ngawur.

Tak nanggung, Sokal bereksperimen dengan kasus Jurnal Social Text. Ini jurnal di bidang studi budaya postmodern. 

Tak nanggung juga, Jurnal ini sebenarnya digawangi oleh intelektual terkemuka. Yaitu Fredric Jameson. Ia seorang pemikir Marxis utama di dunia postmodern. Juga ada Andrew Ross, seorang sosiolog terkemuka. Tulisannya banyak dimuat di New York Times.

Maka Sokal membuat makalah yang kesimpulannya pasti disukai oleh intelektual postmodern. 

Karena Ia profesor matematik dan fisika, Ia pun menulis rumusan fisika dalam perspektif postmodern. Judul makalah pun membuat siapapun mengerenyitkan dahi, “Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutic of Quantum Gravity.”

Kesimpulan makalah Sokal, sesuai dengan trend paradigma postmodern yang kiri: kebenaran Quantum Gravity itu hanyalah hasil konstruksi sosial dan konstruksi bahasa belaka.

Tak ada kebenaran ilmiah yang final dan benar benar obyektif. Semua kebenaran itu dikonstruksi.

Makalah ini pun dimuat oleh Jurnal Social Text.

Setelah dimuat, Sokal membongkar sendiri betapa makalahnya ngawur. Betapa bahkan intelektual ternamapun tak benar - benar kritis. Betapa jurnal akademik sekalipun ada “bias ideologi” yang mengalahkan prosedur ilmiah.

Sokal memberikan contoh yang bisa difalsifikasi. Ada data. Ada fakta. Itu bisa ia buktikan betapa makalahnya sebenarnya ngawur.

Contohnya. Ia menyatakan dalam makalah itu, bahwa teori himpunan di matematika dikembangkan di abad 19. Padahal mereka yang mengerti sejarah matametika akan tahu itu data yang salah. Teori himpunan matematika dikembangkan Erns Zermelo di abad 20.

Ia juga menyatakan dalam makalah itu, teori psikoanalis Lacan sudah dikonfirmasi oleh teori medan kuantum. Padahal tak ada konfirmasi ini. Siapa pula yang mengkonfirmasi?

Toh, makalah Sokal dengan data keliru, dengan analisa ngawur, tetap dimuat, karena editornya, walau ahli postmodern, tak menguasai fisika, dan tak menguasai matematika.

Editornya hanya terpukau oleh kesimpulan yang sejalan dengan postmodernisme, sejalan dengan “bias ideologinya.” Dan ditulis oleh tokoh (Alan Sokal) dengan background profesor kimia dan fisika.

Kesimpulan Alan Sokal Valid. Sah. Bisa difalsifikasi. Ada data soal tahun, yang bisa diuji. Ada klaim konfirmasi teori yang bisa diuji.

Kita mendapatkan lesson to learn dari kejahilan Sokal. Kita mendapatkan pencerahan. Kita mendapatkan realitas yang disimpulkan secara terukur.

Tapi apa yang bisa diuji dalam cerpen AS Laksana? Ini fiksi. Ini bukan makalah ilmiah.

Tak ada fiksi yang bisa difalsifikasi. Cerpen bagus atau tak bagus itu penilaian subyektif. Bahkan Novel besar Pramudya bisa dibilang buruk oleh Mochtar Lubis.

Bagaimana AS Laksana bisa menyimpulkan bahwa cerpen itu dimuat di Jawa Pos karena namanya? Bukan karena kualitas cerpennya?

Apalagi AS Laksana mengakui. Ia sendiri yang memberi alinea pertama. Ia sendiri pula yang mengeditnya. Ia sendiri pula yang mengirim ke Jawa Pos.

Bahkan AS Laksana mengakui sendiri cerpen itu bagus. Lalu dimana masalah dengan publikasi cerpen itu? Apa yang sebenarnya ingin ia teliti?

Bagaimana mungkin Jawa Pos bisa tahu bahwa fiksi itu bukan ditulis oleh AS Laksana?

Apakah ada data yang salah dalam cerpen itu yang bisa falsifikasi? Apakah ada analisa yang salah dalam cerpen itu yang bisa diverifikasi? 

Tak salah jika Jawa Pos menuduh itu plagiarisme AS Laksana. Lalu itu dijadikan alasan mencabut publikasi cerpennya. Pengakuan AS laksana bahwa Ia bukan penulisnya datang setelah cerpen dipublikasi, bukan sebelumnya.

Itu alasan resmi Jawa Pos yang bisa dibenarkan, untuk membela diri karena dipermalukan oleh AS Laksana, tapi dipermalukan tanpa manfaat kesimpulan yang valid apapun.

Tapi apakah AS Laksana memang melakukan plagiarisme? Saya berkeyakinan, AS Laksana tidak melakukan plagiarisme.

AS laksana hanya ingin membuat kehebohan semacam “lesson to learn.” Sayangnya, ulahnya tak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup soal metodeologi riset.

Di awal, AS Laksana menyatakan kepada peserta, “jika AS Laksana dicantumkan sebagai penulis cerpen, pasti cerpennya dimuat.” 

Nama penulis yang dilihat. Bukan kualitas karya. Ini sebenarnya tema riset yang penting.

Jika itu tujuannya, untuk mengujinya, dan AS Laksana memahami metodelogi riset yang minimal saja, bukan cara dan kasus cerpen Bidadari Cerpen Bunga Sepatu yang Ia pilih.

Yang disayangkan dalam kasus AS Laksana versus Jawa Pos ini, ia berhasil mengelabui media besar. Tapi kejahilannya itu tak menghasilkan kesimpulan apapun yang bisa dipertanggung jawabkan.

Jika AS Laksana anggota asosiasi penulis, Ia niscaya layak diberi kartu merah. Jahil merugikan media lain (Jawa Pos), namun tak jelas apa manfaat kejahilannya bagi publik di luar kepuasannya pribadi.

***

Juni 2021

CATATAN:

(1). Pengakuan Terbuka AS Laksana bahwa bukan Ia menulis cerpen itu

(2) Jawaban resmi Jawa Pos bahwa cerpen AS Laksana di Jawa Pos dibatalkan karena plagiarisme

(3) Sokal Affairs yang menguji kualitas editor jurnal akademik