Esemka di Mata Orang Jawa

Sekali lagi, Esemka itu pada akhirnya sangat Jokowi sekali. Bedanya walau ia Sala, tapi sama sekali bukan Solo.

Selasa, 10 September 2019 | 07:12 WIB
0
573
Esemka di Mata Orang Jawa
Jokowi dan Esemka (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoensprasodjo)

Kenapa saya harus menyeret-nyeret orang Jawa? Karena pada dasarnya orang Jawa itu punya sifat dasar pemalu, tidak pedean, dan yang terutama memiliki filosofi dasar yang sangat "tidak hari" ini yaitu alon-alon waton kelakon.

Dalam konteks inilah, ketika merek mobil ini benar-benar nyata orang pada heboh. Mangkanya jika ada banyak orang yang bersikap nyinyir, bukan saja lumrah dan wajar, tapi memang dibutuhkan. Kita pakai saja logika mereka, doa orang yang dizalimi itu makbul!

Realitasnya, tidak mudah mentransformasi suatu gagasan dari semula hanya "mimpi siang bolong seorang desa", yang jauh dari tradisi industrial kelas global.

Dari sekedar gagasan sebuah ruang praktek sekelas SMK, yang semula hanya ditanggapi sebuah bengkel cat dan modifikasi di sebuah kota kecil Klaten. Bengkel las ketok mejik, yang walau konon pernah menjadi jujugan orang kaya untuk memodif mobil-nya sehingga tampil beda dan berkelas. Tetaplah sebuah mimpi yang ketinggian.

Sejatinya, gagasan "menasional"-kan produk Esemka itu sudah lama layu, ketika bengkel Sukiyat sudah menarik diri jauh hari sebelum gagasan ini diwujudkan secara nyata. Ini lagi-lagi persoalan khas orang Jawa, ketika rembugan kerjasama benar-benar akan diwujudkan pasti akan "mbulet, rumit" hanya karena membicarakan persoalan bagi-bagi modal dan saham.

Mungkin Sukiyat kaget, ketika melihat kenyataan rendahnya nilai sahamnya yang dihargai rendah sekali. Skill dan pengalamannya nyaris tak ada artinya. Sangat khas orang Jawa di era milineal, bagaimana sulitnya mereka "naik kelas". Karena menghargai diri terlalu tinggi. saat semua pengen jadi sopir!

Baca Juga: Esemka, Tetes Keringat Putra Indonesia

Berita baiknya, ia kemudian membuat merek sendiri yang nyaris 100% sahamnya dimilikinya sendiri. Merek "Kiat" yang diproduksinya walau terbukti hadir, sayangnya sampai hari ini belum lagi kemana-mana. Hal ini menjelaskan bagaimana suatu gagasan besar itu, di luar butuh keseriusan juga ke-ndableg-an yang juga luar biasa.

Konon, saya dengar Sukiyat tidak diundang dalam peresmian pabrik dan peluncuran mobil perdana Esemka sehari yang lalu. Khas sekali orang Jawa, bagaimana masalah emosional selalu dibawa-bawa dalam persoalan bisnis.

Persoalan "kerjasama dasar" yang amburadul sejak awal gagasan itu, kembali diuji ketika pihak pemegang merek "Esemka" mengajak kerjasama justru dengan Proton yang dianggap serumpun. Kenapa justru Proton yang diajak? Bukankah produk mobnas Malaysia ini juga "setengah abal-abal", karena sesungguhnya mereka juga hanya cangkokan dari Mitsubishi.

Lagi-lagi ini bentuk sikap rendah hati dan kehati-hatian yang sangat dari pemegang saham Esemka. Mungkin terlalu bersikap prudent agar tidak dianggap jadi tunggangan produsen mobil Jepang, Eropa, Amerika, apalagi merek China. Atau karena duit investasinya memang sedemikian cekak.

Sialnya langkah ini juga gagal total. Karena pada tahun 2015 silam, kondisi ekonomi Malaysia sedang morat-marit akibat skandal korupsi yang melanda pemerintahan di bawah PM Nazib Razak. Dari sinilah, barangkali Esemka juga memperoleh pelajaran yang berharga. Bagaimana agar mobil ini benar-benar menjaga jarak dengan pemerintah, dan memposisikan diri sebagai swasta murni. Jangan sampai memperoleh kemudahan atau previlege khusus dari pemerintah.

Mereka sadar betapa sangat rawannya proyek "mobil lokal" (baca: bukan mobil nasional) berbenturan dengan isu-su sosial-politik apalagi persaingan bisnis!

Dari titik inilah, barangkali Esemka justru sangat belajar dari kasus yang pernah mendera proyek-proyek mobil nasional di dalam negeri di masa lalu maupun justru kontemporer. Yang selalu layu sebelum berkembang. Terlalu over-exsposed, tapi justru kurang persiapan matang. Bergaya mileneal, tapi omong kosong.

Persoalan besarnya, di luar persaingan yang ganas di industri otomotif tentu saja pilihan komunikasi massa atau public relations yang dibangun oleh pemegang merek Esemka. Alih-alih berusaha publish, mereka memilih menahan diri dan sangat tertutup. Mereka tidak berusaha hadir dan melakukan pre-launching atau soft-launching di banyak event pameran nasional.

Di sinilah kritik dilontarkan banyak awak media otomotif nasional, yang memang kerjanya adalah "menyinyiri" sebuah produk baru. Mereka tentu butuh menguliti (baca: membully) sebuah produk, yang ujung-ujungnya hanya sekedar mengejar tayang "jumlah view" Youtube. Dan lagi-lagi konon, tak banyak para youtuber otomotif yang diundang.

Ini sangat terasa, ketika Ridwan Hanief, youtuber otomotif favorit saya ikut bicara. Tampak sekali, walau ia berusaha bersikap bijak. Namun komentar-komentarnya justru seolah memberi energi baru bagi para musuh Jokowi. Jadi sangat tidak fair membandingkan, misalnya Esemka dengan Vinfast, yang di belakangnya ada konglomerat Vietnam yang memilih membuat mobil dengan pendekatan segmen kelas paling atas. Dengan menggandeng BMW, GM, dan Pirafinna.

Akhirnya yang terjadi adalah ia dihajar oleh banyak para lawan politik Jokowi sebagai produk aseng. Tak lebih reproduksi atau istilah yang populer hari ini sebagai rebatch produk China. Tahu arti rebatch? Itu sejenis copy paste atau sekumpulan barang tiruan.

Lagi-lagi ini menunjukkan karakter "kejawaan" dari produk Esemka yang sesungguhnya memang berupa tumpukan pengalaman bergaul dengan budaya dari berbagai bangsa itu. Bisa dimengerti bila ia malu-malu dan gak pede. Kejam!

Sekali lagi, Esemka itu pada akhirnya sangat Jokowi sekali. Bedanya walau ia Sala, tapi sama sekali bukan Solo. Karakter Solo yang dalam segitiga kultural Joglo Semar, dikenal berkarakter "seneng umuk" (baca: suka sombong) nyaris tak terlihat. Ia memilih bersikap rendah hati (walau sama sekali tidak rendah diri). Ia memilih sekali lagi alon-alon waton kelakon, pelan tapi nyampe.

Sebagaimana gaya Jokowi bergerak mulai dari pengusaha, walikota, lalu jadi Gubernur hingga akhirnya jadi Presiden dua periode. Esemka harus dipahami justru sudah mulai menyemai benih, mulai menanam dengan sangat baik. Ia mulai dari cara yang sangat "lembah manah", membumi dari produk yang paling sederhana dan dibutuhkan. Dari segmen paling bawah, d imana mereka akan pelan-pelan bergerak naik dan berkembang. Ia bergerak dinamis, tapi bersikap evolutif. Bagi saya njawani sekali....

Lalu bagaimana kita bersikap terhadap para penyinyir tanpa prestasi itu. Yang prestasinya hanya menaikkan rating media atau view para youtuber itu. Ya sesuai dengan nama merek-nya kita mesem saja. Tersenyum manis saja. Toh tersenyum itu ibadah paling murah dan mudah.

Berikan esem-mu saja!

***