Dampak negatif media sosial secara psikologis lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan efek terhadap kesehatan fisik.
Generasi era milenial atau juga disebut generasi Y yaitu kelahiran dari antara tahun 1980 sampai dengan tahun1995 saat ini bisa dikatakan adalah generasi yang sedang berada pada masa transisi antara tindakan tindakan yang dilakukan secara konvensional dengan kegiatan kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan tekhnologi atau era digital.
Di dalam melakukan sosial kemasyarakatan dengan cara konvensional adalah dengan cara berkumpul, bermain dan juga melakukan aktivitas aktivitas secara tatap muka atau bertemu secara langsung.
Namun pada hidup generasi milenial saat ini yang sudah didukung oleh kecanggihan tehnologi jaringan pertemanan dan juga kegiatan sosial kemasyarakatan sangat bisa dilakukan tanpa bertemu secara langsung, cukup hanya dengan memiliki akun media sosial seperti facebook, youtube, Instagram, twiter dan aplikasi media sosial lainnya bisa menjangkau hampir seluruh penduduk bumi yang memiliki akun media sosial.
Tetapi kehadiran media sosial diera generasi milenial saat ini juga membawa banyak hal – hal yang negatif seperti meninggalkan adab, etika dan moralitas dalam menyampaikan sesuatu diakun media sosial. Sampai akhirnya dibeberapa negara termasuk Indonesia dengan tegas memberlakukan undang undang ITE yang pertama kali disahkan pada tahun 2008 silam. Dan tidak sedikit orang yang sudah terkena penerapan pasal undang undang ITE.
Alasan terjerumusnya seorang terhadap penerapan pasal undang undang ITE dimedia sosial adalah tidak memahami atau tidak memperhatikan adab, etika dan moralitas atau bahkan terkadang dalam akun media sosial seseorang terdapat bahasa dan kalimat yang merendahkan, melecehkan orang, golongan maupun badan atau lembaga tertentu.
Ervani Handayani dikutip dari berita kompas.com pada 16 februari 2021 silam harus berurusan dengan hukum akibat "curhat" di Facebook soal mutasi kerja yang dialami oleh suaminya pada 30 Mei 2014. Ia membuat status Facebook yang dianggap mencemarkan nama baik bos suaminya.
Setelah mengetahui isi curhatan tersebut, Ayas yang namanya disebutkan itu melaporkan unggahan Ervani ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Jaksa penuntut umum menjerat Ervani dengan pasal berlapis. Pertama Pasal 45 ayat 1, Pasal 27 ayat 3 UU RI No 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan pasal 310 ayat 1 KUHP tentang pencemaran nama baik.
Enam bulan berselang, akhirnya permohonan penangguhan penahanan Ervani Handayani dikabulkan pada 17 November 2014.
Dikatakan Psikolog Dr. Mona Sugianto, Dikutip dari media online suara.com pada 26 September 2021 yang lalu dalam acara Mental Health Awareness Social Media, setidaknya ada macam-macam dampak media sosial baik yang positif maupun yang negatif. Berikut paparan lebih lengkapnya!
Dampak positif media sosial
Menurut Mona, dampak positif dari media sosial adalah bisa menjalin relasi dan pertemanan di internet. Bahkan, media sosial juga berpeluang untuk membangun jaringan, kepedulian dan tanggung jawab sosial.
Selain itu, media sosial juga menjadi wadah kreativitas seseorang dalam berkarya. Media sosial bisa menjadi tempat belajar, membangun strategi dalam memecahkan masalah, mencari hiburan, hingga mencari inspirasi.
Baca Juga: Bersinergi Membendung Radikalisme di Medsos
"Kalau soal relasi, kita bisa punya peluang di sana. Dengan membangun relasi, kita tidak hanya membangun teman dari sekolah saja. Tapi juga di media sosial, dan itu yang membuat kita bisa berteman,” ungkapnya.
Di samping itu, dampak positif dari media sosial juga bisa menjadi tempat untuk membangun emosi positif. Sehingga umumnya bisa sangat baik untuk kesehatan mental pengguna lewat banyaknya konten-konten yang bermanfaat.
Dampak negatif media sosial juga banyak
Walau ada nilai positifnya, dampak negatif juga bisa membahayakan pengguna jika tidak dikontrol secara bijak.
“Di media sosial tentu ada negatifnya, seperti penipuan identitas, transaksi online, itu mungkin terjadi. Maka kita perlu hati-hati,” kata Mona.
Selain itu, dampak negatif dari media sosial juga maraknya konten pornorgrafi yang bila kecanduan, tentu akan membahayakan terutama bagi anak di bawah umur.
“Pornografi itu juga bisa bikin rusak di otak tertentu, sehingga kita kurang bersyukur, kurang merasa bahagia, dan itu sama kayak narkoba. Jadi ini sama kayak zat-zat terlarang,” pungkasnya.
Sementara dari hasil riset yang dikutip dari mediaindonesia.com yang dimuat pada 16 April 2021 yang lalu bertajuk "Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids" oleh perusahaan riset independen berbasis kecerdasan buatan (AI), Neurosensum.
Berdasarkan riset tersebut, rata-rata anak Indonesia mengenal media sosial di usia 7 tahun. Dari 92% anak yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, 54% di antaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia 6 tahun.
Angka ini merupakan angka yang signifikan jika dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi di mana hanya 34% yang menggunakan media sosial sebelum mereka mencapai usia tersebut. Sebagai informasi, raksasa media sosial seperti YouTube, Instagram, dan Facebook, menerapkan batas minimum usia pengguna 13 tahun.
Untuk melihat kesadaran dan kepedulian orang tua terhadap penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka di Indonesia, NeuroSensum meluncurkan survei pada Februari lalu, yakni untuk memahami kesadaran penggunaan media sosial anak-anak di antara orang tua dan kekhawatiran mereka terhadap penggunaan media online oleh anak-anak.
NeuroSensum melakukan survei kepada 269 responden (52% pria dan 48% wanita) di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) dan menemukan beberapa informasi yang menarik.“Penggunaan media sosial di rumah tangga berpenghasilan rendah dimulai saat anak berusia sekitar 7 tahun, lebih awal dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas, yaitu 9 tahun.
Meski belum memenuhi batas bawah usia akun media social, para orangtua pada akhirnya memberikan akses media social agar anak sibuk dan orangtua dapat fokus mengerjakan pekerjaan mereka,” kata CEO NeuroSensum & SurveySensum Rajiv Lamba dalam keterangan resminya.
Tidak hanya usia, hasil riset NeuroSensum juga mengungkapkan adanya perbedaan durasi saat mengonsumsi konten media sosial di antara anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan tinggi.
Rajiv memaparkan, meskipun dimulai pada usia yang sangat muda, anak-anak di rumah tangga berpenghasilan rendah menghabiskan lebih sedikit waktu di media sosial (2,4 jam sehari) dibandingkan teman seusia mereka di rumah tangga berpenghasilan tinggi yaitu 3,3 jam sehari.
YouTube (78%), WhatsApp (61%), Instagram (54%), Facebook (54%), dan Twitter (12%) adalah platform media sosial yang paling banyak digunakan oleh anak-anak. Dari platform tersebut, anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan tinggi dan rendah cenderung lebih memilih hiburan di internet sebagai alternatif mengisi waktu luang, dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan menengah, yang lebih fokus pada kegiatan komunikasi dan pembelajaran online.
Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan online seperti bermain game dan komunikasi online (masing-masing 65%), belajar secara daring dan mempelajari keterampilan baru (masing-masing 48%), pembaharuan status di media sosial dan menonton film atau serial di platform online (masing-masing 42%), membuat video di Tik Tok atau platform video pendek lainnya (37%), serta membaca buku atau komik di internet (30%).
“Salah satu sisi positif dari anak-anak yang bermedia sosial adalah kemampuan mereka memproduksi suatu karya di usia dini. Terlebih lagi semasa pandemi, anak-anak tidak hanya mengonsumsi konten digital tetapi juga semakin mahir memanfaatkan media sosial untuk membuat konten. Meskipun aktivitas memproduksi konten ini lebih banyak dilakukan oleh anak dari kalangan atas, hal tersebut memunculkan kekhawatiran lain di kalangan orang tua,” kata Rajiv.
Survei NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids juga melakukan riset pada perasaan orangtua mengenai keeratan anak dengan media sosial. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa konten yang bersifat kekerasan dan seksual menjadi kekhawatiran terbesar para orangtua yang telah mengenalkan media sosial ke anak-anaknya. Hal ini menjadi perhatian besar bagi 81% orangtua.
Baca Juga: Ketika Wartawan Menjadi Budak Pembuat Konten Medsos
Adapun perundungan atau bullying di dunia maya turut menjadi kekhawatiran 56% orang tua di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif media sosial secara psikologis lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan efek terhadap kesehatan fisik. Hal tersebut didukung dengan 98% orangtua yang lebih khawatir terhadap tontonan negatif yang berdampak terhadap anak-anak mereka," pungkasnya
Kesimpulan yang dapat ditarik dari topik di atas adalah yang pertama bahwa peran serta Orangtua sangat dibutuhkan dalam mengawasi dan memberikan kesadaran tentang pemanfaatan media sosial kepada anak dan remaja agar tidak memunculkan persoalan dan mengedepankan nilai nilai adab dan etika serta menunjukkan moralitas yang baik dalam berucap maupun mengakses konten – konten yang bersifat positif dan bermoral.
Yang kedua adalah bahwa bersosialisasi dengan siapa pun melalui media apa pun memang tidak salah. Namun demikian, penting diingat bahwa cara apa pun yang dipilih dalam berinteraksi dengan dunia luar, jangan sampai hal tersebut membuat membuat diri sendiri dan orang orang yang kita sayangi utamanya anak anak jatuh kedalam persoalan baik persoalan hukum maupun persoalan kerusakan mental akibat kebablasan salah mengakses konten konten yang tidak sesuai dengan umur dan pemahaman.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews