Ketika Wartawan Menjadi Budak Pembuat Konten Medsos

Berita-berita media massa telah jatuh sampai ke titik nadir dengan isi berita yang sungguh sangat memuakkan bagi pembaca itu sendiri.

Senin, 27 Desember 2021 | 07:08 WIB
0
239
Ketika Wartawan Menjadi Budak Pembuat Konten Medsos
Berita Cek Fakta (Foto: dok Pribadi)

Sesekali amatilah berita di media massa arus utama yang terkait CEK FAKTA yang menjadi judul utama berita dan bahkan ditulis dengan huruf kapital. Maksud dari penulisan huruf kapital di awal judul adalah semata-mata untuk menarik perhatian pembaca. 

Setelah kata CEK FAKTA, biasanya diikuti kalimat "Simak penjelasannya" atau "Begini penjelasannya".

Tetapi bukan itu yang dipersoalkan tulisan singkat ini, yakni betapa madia masa kini telah menjadi budak dari media sosial terutama terutama YouTube dan sesekali Twitter.

Tentu tidak semua media massa online melakukan gaya penulisan semacam itu, masih banyak media massa online yang memegang etika dan memberitakan peristiwa secara layak.

Contoh terbaru adalah media massa yang memuat berita tentang Densus 88 yang mendobrak pintu rumah Bahar bin Smith. Berita ini sebenarnya sekedar meluruskan atau mengatakan bahwa itu adalah hoax dan hanya isapan jempol belaka.

Seolah-olah berita ini ingin meluruskan hoax tersebut, padahal sejatinya berita tersebut diambil dari YouTube yang dibuat oleh warga biasa yang menjadi content creator. Cara kerjanya sederhana, yaitu menggabung-gabungkan video, kemudian diberi narasi dan seolah-olah terjadi peristiwa Densus 88 mendobrak pintu rumah Bahar bin Smith.

Jika kejadiannya seperti ini, benar-benar menurunkan kredibilitas media massa sekaligus "pelecehan" terhadap kepentingan orang untuk membaca berita. Sebab sudah bisa diduga, ketika ada judul CEK FAKTA berarti itu sekedar meluruskan berita yang dibuat para content creator yang ada di video, dalam hal ini YouTube. Bayangkan jika setiap hari para pembaca dihadapkan pada berita-berita semacam itu! 

Jika kemudian ada yang menganggap itu sebagai kerja jurnalistik, sungguh suatu kemunduran luar biasa bagi jurnalisme yang pada masa lalu sangat ketat dengan etika, verifikasi, 'cover both side' dan seterusnya.

Tetapi, saat ini media massa atau katakanlah beberapa media massa, terjebak pada pola kerja content creator di YouTube atau orang yang berceloteh di Twitter, seolah-olah apa yang mereka tulis sebagai sebuah berita yang yang layak dibaca orang, padahal cuma "meluruskan berita" karya content creator.

Pertanyaannya, benarkah pembaca memerlukan berita semacam itu? Bagaimana kalau anggapan bahwa pembaca membaca berita tersebut dijadikan suatu kebenaran?

Bisa dibayangkan berita media massa isinya CEK FAKTA jurnalis terhadap karya content creator di YouTube atau celotehan pesohor di Twitter.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah ke mana Dewan Pers? Mengapa lembaga yang makan uang negara ini tutup mata? 

Dewan Pers yang seharusnya menggawangi dan menjaga berita-berita dari media arus utama justeru diam saja, seolah-olah tugas Dewan Pers itu hanya menengahi pertengkaran antara media massa dengan pihak yang dirugikan oleh pemberitaan media massa.

Padahal gaya pemberitaan CEK FAKTA dan semacamnya itu juga  persoalan serius, di mana berita-berita media massa telah jatuh sampai ke titik nadir dengan isi berita yang sungguh sangat memuakkan bagi pembaca itu sendiri.

Maka tidaklah berlebihan kalau media masa sekarang menjadi budak dari media sosial terutama YouTube dan Twitter.

Tidak semua memang.

***