Dalam setiap tindakan/perilaku, pasti ada MOTIF yang mendasarinya, pasti ada WHY yang harus dipecahkan.
Mengetahui perilaku itu penting, tapi mengetahui motif di balik perilaku itu LEBIH PENTING.
"Kira-kira, kebutuhan psikologis apa yang ingin dipenuhi dari melakukan hal tersebut?"
Kita ambil contoh kasus: remaja 14 tahun yang sudah jadi perokok berat, padahal ortunya melarang merokok.
Ternyata dia merokok karena dia sangat pencemas, cara termudah untuk rileks adalah dengan merokok.
Ternyata dia merokok karena tekanan sosial dari lingkungan, harus ikut merokok kalau ingin bisa berbaur di lingkaran pertemanan.
Kalau dia hanya dilarang untuk merokok dan dihukum berat saat ketahuan, bisa jadi dia berhenti, tapi dia tetap punya kebutuhan-kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi, cuma bentuk manifestasinya saja yang berbeda.
Misal: untuk rileks, karena dilarang merokok, maka tanpa dia sadari dia beralih ke seks atau judi. Untuk memenuhi kebutuhan masuk ke pergaulan, dia melakukan hal-hal lain yang bisa jadi tidak kalah negatifnya dari merokok.
Hal ini bisa diterapkan untuk berbagai bentuk perilaku lainnya, kenapa orang berbohong, kenapa orang bisa agresif, kenapa korupsi, kenapa jadi radikal.
Kalau radikalisme hanya ditangani dengan larangan dan hukuman (copot jabatan, eksekusi mati, deportasi dst) tanpa pernah ditembak langsung ke akar masalahnya, ya bakal muncul terus, manifestasinya saja yang berbeda (dari bom ke pisau, dari terang-terangan ke underground, dari ajaran frontal ke pengajian tersamar, dari masyarakat sipil ke aparatur negara, dst).
Kalau kata Malala, pistol bisa membunuh teroris tapi tidak bisa membunuh terorisme.
Kenapa radikalisme berkembang? Oh, berkembang di pikiran.
Mengapa bisa berkembang di pikiran? Oh, karena ditanami pemahaman agama tertentu.
Bagaimana cara memodifikasi pemahaman agama? Oh, dengan berbagi tulisan yang jadi antitesis pemahaman tersebut, tapi ya berpotensi dihujat netizen.
Walaupun sakit, namun lebih efektif dan tepat sasaran.
Sama seperti kalau ada emak-emak yang ngomel melulu di rumah, lalu suaminya cuma nanggepin "kamu cerewet banget!"
Padahal dia ngomel-ngomel karena suaminya cuek, kurang perhatian, berharap suami lebih hangat ke dia tanpa dia perlu bilang langsung, berharap aspek-aspek rumah tangga seperti finansial dan seks jadi lebih baik, dst (entahlah, saya cuma anak kecil dan belum pernah menikah, jadi mana tahu persis?
Dalam setiap tindakan/perilaku, pasti ada MOTIF yang mendasarinya, pasti ada WHY yang harus dipecahkan.
Kemudian pecahkan, supaya perilaku yang hilang karena CUMA DILARANG, tidak bermanifestasi ke bentuk lain (dari ngomel-ngomel ke kasar secara fisik, atau diam-diam selingkuh secara emosional dengan pihak lain, misalnya).
KENAPA sih ada seorang perempuan yang notabene dekat dengan militer dan pemahaman kebangsaan, tapi tetap nyinyir?
Lantas, apa SOLUSI-nya?
Memecahkan ini butuh usaha mental yang besar. Lebih mudah bermain di permukaan memang. Tapi ada harga, ada rupa.
MELARANG/MENGHUKUM memang menghilangkan perilaku secara instan. Tapi tidak menghilangkan kebutuhan yang mendasari perilaku tersebut. Nanti cuma beralih bentuk saja, ke hal yang mungkin tidak kalah negatifnya.
Asa Firda Inayah, Mahasiswi Psikologi.
***
Tulisan sebelumnya: Bu Irma Istri Sang Tentara [1] Jatuhkan Hukum yang Bukan Berdasarkan Emosi
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews