Bu Irma Istri Sang Tentara [1] Jatuhkan Hukum yang Bukan Berdasarkan Emosi

Dengan tahu berbagai sisi, mungkin kita tetap marah, ingin kesalahannya mendapatkan ganjaran. Tapi kita akan memahami. Dengan memahami, kita menjatuhkan hukuman bukan berdasar emosi.

Selasa, 15 Oktober 2019 | 06:50 WIB
0
439
Bu Irma Istri Sang Tentara [1] Jatuhkan Hukum yang Bukan Berdasarkan Emosi
Istri Dandim Kendari (Foto: jawapos.com)

Reaksi orang sangat beragam terhadap kasus tersebut. Ada yang masa bodoh/tidak mau bahas, ada yang turut prihatin, ada yang nyukur-nyukurin.

Aku golongan kedua. Karena, aku paham bahwa itu cuma SATU ulah jari offside yang KEBETULAN di-capture orang. Komentar/status offside tidak bisa dimonopoli cuma oleh orang biasa, istri aparat pun bisa, karena semua cuma MANUSIA.

Bayangkan, suatu hari, Anda berantem dengan seseorang di jalan, Anda teriak marah-marah bahkan lempar barang ke orangnya, terus ada pengendara yang lewat dan merekam itu, lalu viral dan Anda dihujat netizen se-Indonesia.

Netizen tidak tahu mental state (keadaan mental) Anda saat Anda sedang marah-marah, apa yang melatarbelakangi tindakan anarkis itu. Mereka tidak tahu Anda frustrasi karena orang yang Anda serang, ketahuan tidur sama bapak Anda, tapi Anda terlalu malu untuk meneriakkannya di depan umum. Jadi, netizen cuma tahu dan cuma peduli pada perilaku marah-marah yang ditunjukkan oleh potongan video berantem itu, akhirnya rame menghujat. That's it.

Begitu pun dengan Bu Irma. Mungkin suaminya sangat amat sibuk dengan dunia militernya, suaminya kaku, tidak bisa diajak curhat, mungkin kepribadiannya membuat dia kesulitan untuk dekat secara psikologis dengan keluarga, teman, atau orang lain, sampai dia ngomel-ngomelnya harus di sosmed, yang notabene ditujukan pada orang-orang asing di luar sana.

Mungkin juga ada masalah, stressor, atau sumber frustrasi lain, entah apa itu. Mungkin ada gangguan mental yang tidak terdeteksi karena tidak pernah pergi ke psikolog, sebab tahu sendiri kan stigma di Indonesia seperti apa?

Analisis saya ini bisa jadi salah. Tapi, pernah tidak Anda mempertimbangkan kemungkinan lain dari situasi ini sebelumnya? Sedikiiiiit saja.

Tanpa dihujat pun, orang yang melakukan hal bodoh, terlebih kalau sedikitpun tidak menyangka bahwa aktivitas "buang sampah emosi" itu akan berujung apes, pasti sudah sangat menyesal.

Walaupun kita TIDAK setuju dengan kejahatan Joker, dan bagaimanapun kita tetap menganggap itu semua salah sehingga pantas dihukum, tapi setidaknya kita MEMAHAMI kenapa Joker bisa sampai seperti itu.

Itulah bedanya saat sebuah fenomena ditampilkan dalam satu FILM UTUH (perjalanan seseorang dari lahir sampai sekarang), bukan cuma dalam satu POTONGAN GAMBAR (perilaku di FB).

Baca Juga: Maafkan Para Istri Tentara Itu!

Tidak adil untuk menghakimi seseorang secara parsial, sebagaimana tidak adilnya menilai Joker dari tindakannya menembak orang di kereta saja (tanpa mempertimbangkan saat mereka membully dan menghajar Joker sebelumnya, atau saat Joker didiganosis dengan gangguan mental macam-macam).

Dengan tahu berbagai sisi, mungkin kita tetap marah, mungkin kita tetap ingin kesalahannya mendapatkan ganjaran. Tapi kita akan memahami. Dan dengan memahami, kita akan menjatuhkan hukuman BUKAN berdasarkan emosi, tapi berdasarkan pertimbangan yang paling jernih dan manusiawi. Adem, kan?

So, let's be more considerate.

(Bersambung)

Asa Firda Inayah, Mahasiswi Psikolog