Indonesiaku [6] Terkepung Globalisasi, Di Mana Nasionalisme Berada?

Bisa jadi mempersoalkan globalisasi akan dianggap menafikan kekinian dan lebih baik kembali ke zaman batu.

Selasa, 28 Mei 2019 | 22:28 WIB
0
472
Indonesiaku [6] Terkepung Globalisasi, Di Mana Nasionalisme Berada?
Ilustrasi globalisasi (Foto: Kemdikbud.go.id)

Uraian kali ini masih ada kaitannya dengan tulisan sebelumnya mengeai Ibu  Pertiwi yang mungkin tengah memanggil anak-anak terbaik bangsanya pulang kembali ke Tanah Air membangun negeri. Tentu saja saya tidak berpretensi untuk memaksa para mahasiswa dan profesional yang saya sebut “Anak-anak terbaik bangsa” itu untuk pulang ke Tanah Air. Apalah saya ini.

Akan tetapi, sebagai sesama anak bangsa, boleh saya menuangkan pendapat bernada ajakan pulang untuk sama-sama memperbaiki bangunan Indonesia yang belum selesai, masih amburadul, in the making, dan belum tertata rapi ini. Siapa lagi yang akan memperindah dan mempercantik Indonesia kalau bukan kita, anak-anak terbaik bangsa?

Baiklah, sebelum melanjutkan kupasan ini, saya coba angkat kembali komentar seorang guru, Wijaya Kusumah. Ia mengomentari tulisan saya mengenai Ibu Pertiwi yang tengah memanggil anak-anak bangsanya pulang. Begini komentarnya:

Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri

Saya punya anak didik yang sekarang bekerja di luar negeri. Katanya bukan dia tak memiliki jiwa nasionalis, tapi keadaan di Tanah Air tak membuatnya nyaman untuk menelurkan ide-ide penelitiannya.

Di negara kita terlalu banyak birokrasi dan prosedur yang tidak penting yang harus dilalui sehingga konsep-konsep penting untuk penelitian yang bersifat ilmiah dan membutuhkan kecepatan dalam bertindak kurang terlayani dengan baik.

Akhirnya anak didik saya itu memilih kembali ke luar negeri dan bekerja di sana. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, dia mampu mengembangkan ide-ide cemerlangnya. Semua itu difasilitasi oleh pemerintah setempat. Sekarang ini dia bekerja di Singapura dan bergerak di bidang bioteknologi.

Masih banyak murid saya dulu yang sekarang lebih “enjoy” bekerja di sana dengan alasan lainnya. Di antaranya gaji yang lebih “ok” dan hanya sekedar mencari pengalaman. Bahkan ada yang sudah menikah dengan gadis dari negara lain. Jadi itulah masalahnya.

Di sinilah kita harus memahami mengapa mereka bisa seperti itu. Semua berpulang dari pribadi mereka masing-masing. Sebagai pendidik saya berusaha keras agar anak-anak itu memiliki jiwa nasionalis yang tinggi sehingga jiwa ke-Indonesiannya tidak luntur ditelan bumi.

Jika demikian persoalannya, itulah yang saya katakan dalam tulisan kemarin: jangan terlalu menyalahkan mahasiswa dan para profesional yang lebih memilih bekerja di luar negeri, mencurahkan tenaga dan pikirannya buat negara asing, karena memang Indonesia tercinta ini belum siap menampung anak-anak terbaik bangsa di luar negeri agar bisa aman dan nyaman bekerja di sini, di Tanah Air ini. Tidak cukup menarik bagi mereka untuk pulang.

Barangkali sederhana saja keputusan mereka tidak kembali: sia-sia ilmu yang dituntut di luar negeri kalau tidak laku (baca tidak bisa diterapkan) di Tanah Air, sia-sia waktu yang dihabiskan di luar negeri untuk belajar kalau pemerintah tidak “welcome” kepada mereka, dan kesia-siaan lainnya.

Saya tidak tahu siapa yang berhak mewakili pemerintah untuk persoalan anak-anak terbaik bangsa yang tidak kembali ke Tanah Airnya setelah berhasil menuntut ilmu di luar negeri? Menteri Tenaga Kerjakah, Menteri Pendidikankah, Menteri Ristekkah, atau langsung ditangani Presiden saja? Terus terang, saya tidak tahu.

Saya belum mendengar gebrakan pemerintah, melalui kementrian apapun, yang berupaya mengajak para lulusan terbaik anak bangsa ini untuk kembali pulang. Baik lewat iklan maupun lewat gerakan nyata misal dengan menyediakan lapangan kerja buat mereka dengan imbalan yang memadai tentunya. Gerakan iklan kalah hebat dengan iklan kampanye parpol dan iklan calon legislatif.

Coba simak iklan-iklan di televisi, adakah iklan dari kementrian tertentu yang mengajak atau mengimbau para orangtua yang anak-anaknya bekerja di luar negeri sehabis menyelesaikan kuliah memanggil mereka pulang ke Tanah Air? Siapkah pemerintah menyediakan lapangan kerja yang memadai buat mereka dengan menyiapkan gaji yang memadai buat mereka?

Mungkin saya keliru dan tidak cermat, tetapi seingat saya belum ada iklan yang bunyinya demikian, apalagi sebuah gerakan macam zaman dulu seperti “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”, atau gerakan  “gunakanlah produksi dalam negeri!”, atau “punya anak cukup dua saja!” Ya, pokoknya gerakan semacam itulah. Toh pasti ada daya tarik yang ditawarkan dengan ajakan itu.

Agar masyarakat sehat, maka sarana olahraga ditingkatkan, kaos senam pagi berikut kaset dan pelatihnya diberikan. Ajakan menggunakan produksi dalam negeri ya dengan memberi potongan harga khusus, dan ajakan berkeluarga berencana diiming-imingi kenaikan jenjang lebih cepat bagi pegawai negeri. Ada jurus merayu di sana.

Lantas, mengapa jurus merayu ini tidak diberikan pada anak-anak terbaik bangsa yang cenderung mencari pekerjaan di tempat di mana mereka menuntut ilmu di luar negeri? Tidak lebih baikkah jika kepada mereka diiming-imingi sekaligus kepastian buat mereka agar bisa kembali untuk membangun negeri sendiri?

Saya percaya, ketidakpedulian para birokrat kita pada persoalan ini, yakni tidak kembalinya anak-anak terbaik bangsa itu, karena sikap nasionalisme dan kebangsaan yang tipis. Boleh jadi, para birokrat kita tidak merasa bahwa persoalan ini terkait dengan ketahanan nasional kita. Kasarnya, terlibat dalam “proyek kering” ini tidak mendatangkan untung sama sekali.

Baca Juga: Kedudukan dan Peran Agama di Era Globalisasi

Bayangkan, apa jadinya kalau negeri ini diserbu dan menjadi ladang subur para profesional asing yang mungkin tidak lebih baik dari anak-anak bangsa di luar negeri, sekadar mengisi kekosongan yang seharusnya diisi oleh putra-putri kita, anak bangsa negeri sendiri atas nama globalisasi? Bukankah pemasukan yang dihasilkan para “pahlawan devisa” (baca tenaga kerja Indonesia) akan menjadi tidak berarti apa-apa jika anggaran atau dana pemerintah digunakan untuk menggaji para profesional asing?

Saya sedikit paham mengenai konsep perdagangan bebas, globalisasi, mondialisme dan semacamnya, di mana tidak pada tempatnya kalau saya mempersoalkan keberadaan para pekerja asing di Indonesia. Bisa jadi mempersoalkan globalisasi akan dianggap menafikan kekinian dan lebih baik kembali ke zaman batu. Bukankah dengan globalisasi sudah tidak ada lagi batas-batas negara? Begitu mungkin pertanyaan Anda.

Jadi, boleh dong mahasiswa dan profesional asing menyerbu Indonesia, sebaliknya para mahasiswa dan profesional anak negeri juga boleh bekerja di luar negeri sesuka mereka?

Saya tidak menafikan keniscayaan ini.

Akan tetapi, justru dalam konteks itulah saya bertanya: di mana tempatnya nasionalisme dan kebangsaan kita? Masih tersisakah rasa nasionalisme di antara kita? 

***

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [5] Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang