Panggung Saipul Jamil dan Kecanggungan KPI

pemberitaan media soal kesalahan dan hukuman SJ lebih dari cukup menjadi sumber literasi dan edukasi masyarakat, tanpa perlu menghadirkan dirinya sebagai edukator.

Minggu, 12 September 2021 | 17:58 WIB
0
220
Panggung Saipul Jamil dan Kecanggungan KPI
Ilustrasi Korban Trauma

Atas desakan dan tekanan publik,  KPI  terpaksa  mengeluarkan surat yang  melarang stasiun televisi mengundang pedangdut Saipul Jamil (SJ)  tampil di semua acara televisi.

 "KPI Pusat meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi (membesar-besarkan dengan mengulang dan membuat kesan merayakan) terhadap peristiwa yang bersangkutan," demikian surat KPI soal Saipul Jamil, Senin (6/9/2021).

SJ nampaknya belum bisa menerima surat KPI itu, termasuk penolakan publik atas kembalinya ia sebagai pesohor hiburan tanah air. SJ terlihat wara wiri dan curhat sana-sini berusaha mencari dukungan untuk  menafik  alasan resistensi itu.

Lagi pula, di mata SJ,  surat KPI itu  tidak secara tegas melarang ia tampil di televisi. Ia dibuat serba salah. Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea yang dimintai pendapat oleh SJ pun sepertinya menegaskan anggapan itu.

 "Saya sudah baca surat ini, tidak secara tegas, atau tidak ada kata-kata yang menyatakan Saipul Jamil tidak bisa lagi tampil di TV," kata Hotman Paris soal  Surat KPI nomor 602/K/KPI/31.2/09/2021, seperti dikutip dari video yang di akun @hotmanparisofficial, (9/9/2021).

Dari isi surat itu, bisa dikatakan, sedari awal KPI agaknya sentengah hati menyikapi  desakan publik  atas glorifikasi yang dilakukan media televisi  usai bebasnya SJ dari  jeruji besi. Pemanggungan pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang difasilitasi media televisi, oleh publik dianggap  sebagai kesembronoan KPI.

Coba tengok lagi, bagaimana respon KPI sejak SJ  bebas, saat ia  disambut meriah bak pahlawan, diarak dan dikalungi bunga, saban hari diundang  di acara variety show televisi.

Kala  masyarakat resah atas  glorifikasi tersebut, KPI  sebagai pengawas moral siaran tv nasional, malah dengan santuy membiarkannya, sebagaimana mereka mendiamkan  peristiwa perundungan yang terjadi pada salah seorang karyawannya .

Komisionernya, Nuning Rodiyah mengatakan di sejumlah media, Saipul Jamil boleh saja tampil di TV asal tidak "menginspirasi" orang lain untuk melakukan tindak asusila.

Pernyataan itu sebenarnya bisa diperdebatkan. Mungkin Nuning harus membaca lagi tentang teori-teori komunikasi massa, terutama yang berkaitan dengan dampak media.

Soal Saipul Jamil tidak menginspirasi orang lain melakukan tidak asusila, secara langsung, mungkin iya. Tapi secara tidak langsung,  ia akan menginspirasi persepsi banyak anak di Indonesia bahwa sah-sah saja melakukan kejahatan fedofilia selama mereka bisa membuat kontroversi dan mampu menarik  perhatian publik, maka mereka akan tetap dipuja dan dieluh-eluhkan.

"Sah-sah saja pria yang kerap disapa Bang Ipul itu tampil lagi di TV usai dipenjara , asal muatan kontennya mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SS)." kata Nuning seperti dikutip dari beberapa media (04/09/21)

Setelah empat hari usai SJ bebas, entah karena  tekanan publik dan  petisi online  netizen di change.org, atau memang Komioner KPI-nya baru sadar,    barulah  surat yang katanya larangan  itu dikeluarkan.

Awalnya, sempat mendapat apresiasi publik, tetapi kemudian penjelasan   Ketua KPI bikin khalayak kembali bingung, seolah balik arah " u-turn" ke persoalan semula. Surat itu sebenarnya tidak memberikan konsekuensi yang berarti untuk melindungi psikologis  korban. Ini semakin menegaskan   KPI memang tidak ingin bersikap   atas persoalan SJ di panggung televisi nasional.

Dalam podcast yang ditayangkan di kanal YouTube Deddy Corbuzier, Kamis (9/9/2021)  Ketua KPI Agung Suprio malah mengatakan  bahwa Saipul Jamil bisa tampil di televisi, tetapi hanya untuk konteks edukasi,  misalnya dalam konteks "wawancara atau edukasi mengenai pelecehan seksual'.

Pernyataan Agung itu seolah mempertontonkan      kegamangan berfikir para komisioner KPI dalam melihat persoalan moral di masyarakat. Segitu kritisnyakah tokoh masyarakat dan  pendidik di negeri ini, sampai-sampai mantan pelaku pedofilia harus diundang sebagai narasumber untuk edukasi moral anak-anak kita.

Sudah habiskah orang bersih dan tanpa cela di Indonesia? sampai-sampai harus mengundang seorang SJ, pelaku kekekerasan seksual yang pernah ingin memanipulasi hukumannya dengan menyuap panitera pengadilan.

Ini sama saja dengan pertanyaan, haruskah mantan koruptor dijadikan penyuluh anti korupsi agar   korupsi di negeri ini berkurang?

Padahal masih  banyak orang-orang baik di luar sana, yang hingga hari  ini terus  menyelaraskan wujud  tingkah  laku dan ucapannya sesuai norma hukum, moral dan etika.

Toh, pemberitaan media soal kesalahan dan hukuman SJ   lebih dari  cukup menjadi sumber  literasi  dan edukasi masyarakat, tanpa perlu menghadirkan dirinya sebagai edukator.

Jikapun SJ  memiliki itikad untuk memperbaiki diri dan mengambil hikmah dari kesalahaan masa lalunya, itu hak personal dirinya, dan rasanya wajib untuk dilakukannya. Tapi mempertimbangkan  trauma dan derita korban SJ maupun korban-korban fedofilia lainnya, adalah keadaban publik yang harus dilindungi dan dijaga termasuk oleh masyarakat, terutama KPI dan televisi nasional.

***