Literasi Kolektif Melawan Hoaks dan Virus Kebencian

Dalam menghadapi wabah ini, kita semua bersama pemerintah harus membangun literasi kolektif yang sungguh-sungguh untuk mendukung upaya dan kerja negara melindungi keselamatan rakyat.

Kamis, 15 Juli 2021 | 13:14 WIB
0
227
Literasi Kolektif  Melawan  Hoaks dan Virus Kebencian
Literasi VS Virus Kebencian

Terus terang, selama pandemi Covid-19, saya jadi  orang yang lumayan sering   berkelana di aplikasi jejaring sosial  facebook. Hal yang sebelumnya jarang saya lakukan. Dalam setahun, mungkin  hanya sekali saya login di platform buatan Mark Zuckerbeg tersebut. Ini  karena waktu jenuh dan bosan yang saya rasakan  lebih banyak di masa pandemi ini, sehingga media sosial menjadi pelarian   yang cukup layak untuk dijelajahi, termasuk facebook.

Meski demikian, saya bukanlah netizen aktif, yang saban   hari harus update status atau gemar menanggapi postingan teman dan orang lain. Bagi saya, kehadiran  di media sosial tidak lebih hanya alasan saya punya akunnya dan aplikasi itu ada di genggaman saya. Itu aja.

Seperti biasa, keriuhan beranda  facebook hari ini tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, penuh dengan postingan link berita media online, jualan online dan beragam iklan, baik dalam bentuk teks caption, gambar maupun video.

Tapi, konten-konten yang berkaitan dengan Covid-19  tetap yang paling dominan  berseliweran dibanding jenis konten lainnya. Ada  info data penderita Covid-19, video konflik petugas dan masyarakat soal PPKM hingga himbauan pejabat   soal protokol kesehatan.

Tetapi    yang paling menyedihkan dan membuat prihatin adalah  info-info hoaks dan postingan  provokasi tentang Covid-19 masih bergentayang bebas di facebook.  Yang narasinya kebanyakan  memprovokasi kebencian (hate speech) kepada pemerintah.

Postingan negatif beginilah yang membuat saya dari dulu malas membuka media sosial, salah satunya adalah facebook.  Dengan basis pengguna yang sangat besar, sekitar 2,2 milyar di seluruh dunia, dan 140 juta ada di Indonesia, facebook sepertinya kewalahan dan tidak mampu memverifikasi   postingan  yang berbau hoaks dan provokasi

Facebook memang termasuk media sosial yang paling penting dalam marketing, tapi rating  konten marketing hoaks dan provokasinya juga cukup tinggi. Situasi ini,  tidak saja   memudahkan berita bohong akan menyebar dengan  luas tapi  juga merangsang  orang-orang yang cara berfikirnya receh akan termovitasi memproduksi berita bohong dan provokasi. Makanya , wajar jika facebook digelari medium utama sumber hoaks.

Kalau sudah dihadapkan pada postingan-postingan hoak dan provokasi kebencian seperti itu. Saya hanya bisa menarik nafas sambil   menggeleng kepala, kemudian  melewatkan postingan begitu saja.

Bukannya tidak peduli atau membiarkan keburukan itu terjadi dan menyebarluas. Persoalannya itu, jika ditanggapi dengan komentar yang meluruskan sesuai fakta, sudah pasti bakal menimbulkan serangan psikis yang tidak manusiawi. Kejadian seperti ini sering saya alami. Lah postingannya aja fitnah dan penuh kebencian  bagaimana kita bisa merespon orang-orang yang punya motivasi seperti itu.

Makanya, jika diperhatikan, ini dari pengamatan saya ya, belum pernah ada satupun akun  penggiat literasi digital baik  yang dibentuk pemerintah, individu maupun organisasi  masyarakat terlihat nyamperin postingan  seperti ini. Mungkin mereka juga takut diserang  dan dibully. Biasanya, mereka cuma  memposting  fakta dan info kebenaran hanya buat para pengikutnya saja. Nah, tinggal para  pengikutnya mau menyebarluaskan atau tidak.

Kenapa tidak menggunakan  fitur "laporkan" yang ada di facebook? Meskipun akun penyebar hoaks itu telah di banned atau diblokir oleh facebook, dalam sekejap mereka pasti akan membuat akun baru lagi. Jika diblokir lagi, buat akun baru lagi, begitu seterusnya. Kecuali syarat pembuatan akun di facebook menggunakan nomor induk kependudukan (NIK).

Atau laporkan ke polisi saja? lah, tambah report, kita netizen maunya menikmati dengan tenang dan santai waktu waktu luang kita di media sosial. Bayangkan, periode April-Mei  tahun 2020, ada 14 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang diungkap polisi, yang mana 10 orangnya jadi tersangka. Apakah mereka kapok atau jadi pelajaran bagi akun yang lain? Tidak,nyatanya hoaks dan ujaran kebencian tetap bergelimang di media sosial. Mungkin saja ini karena, selain  tingkat literasi digital masyarakat kita yang yang rendah, juga ada kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang memang memanfaatkan kelompok masyarakat   yang  literasi digitalnya rendah sebagai market mereka.

Rilis Global World  Digital Competitiveness Index   menyebutkan tingkat literasi digital  netizen Indonesia berada di peringkat 56 dari 63 negara. Bayangkan situasinya, kita merupakan pengguna media sosial terbesar ketiga di dunia tapi dengan  tingkat literasi yang rendah. Artinya, jari-jari yang menari  membuat postingan ini tidak dibekali adab, kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Analoginya, ngomong aja  yang dibanyakin tapi isi otaknya cetek.

Jadilah, kondisi ini seperti yang saya katakan di atas, kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menyebar hoaks dan memprovokasi masyarakat untuk membenci pemerintah. Literasi yang rendah membuat netizen kita mudah sekali terpengaruh oleh provokasi dan  hoaks. Akibatnya, Pemerintah semakin   kedodoran dan kesulitan dalam mengatasi   pandemi ini. Yang dilawan tidak saja  virus Covid-19 tapi juga harus berjibaku melawan hoaks dan virus-virus kebencian.

Coba lihat, negara-negara yang disebut maju, mereka diuntungkan   dengan kualitas manusianya, yang lebih intelek, berpengatahuan  dan beradab.  Ketika tiba-tiba pandemi virus datang, mereka punya kesadaran yang tinggi untuk bersama sama memanfaatkan media sosial  melawan pandemi, bukan melawan pemerintah.

Maka itu, dalam menghadapi bencana  wabah ini, saya, anda  dan kita semua, bersama  pemerintah  harus membangun literasi kolektif yang sungguh-sungguh untuk mendukung upaya dan kerja negara melindungi keselamatan rakyat baik oleh dari pandemi Virus Covid-19 maupun virus kebencian dan hoaks.

***