Dalam menghadapi wabah ini, kita semua bersama pemerintah harus membangun literasi kolektif yang sungguh-sungguh untuk mendukung upaya dan kerja negara melindungi keselamatan rakyat.
Terus terang, selama pandemi Covid-19, saya jadi orang yang lumayan sering berkelana di aplikasi jejaring sosial facebook. Hal yang sebelumnya jarang saya lakukan. Dalam setahun, mungkin hanya sekali saya login di platform buatan Mark Zuckerbeg tersebut. Ini karena waktu jenuh dan bosan yang saya rasakan lebih banyak di masa pandemi ini, sehingga media sosial menjadi pelarian yang cukup layak untuk dijelajahi, termasuk facebook.
Meski demikian, saya bukanlah netizen aktif, yang saban hari harus update status atau gemar menanggapi postingan teman dan orang lain. Bagi saya, kehadiran di media sosial tidak lebih hanya alasan saya punya akunnya dan aplikasi itu ada di genggaman saya. Itu aja.
Seperti biasa, keriuhan beranda facebook hari ini tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, penuh dengan postingan link berita media online, jualan online dan beragam iklan, baik dalam bentuk teks caption, gambar maupun video.
Tapi, konten-konten yang berkaitan dengan Covid-19 tetap yang paling dominan berseliweran dibanding jenis konten lainnya. Ada info data penderita Covid-19, video konflik petugas dan masyarakat soal PPKM hingga himbauan pejabat soal protokol kesehatan.
Tetapi yang paling menyedihkan dan membuat prihatin adalah info-info hoaks dan postingan provokasi tentang Covid-19 masih bergentayang bebas di facebook. Yang narasinya kebanyakan memprovokasi kebencian (hate speech) kepada pemerintah.
Postingan negatif beginilah yang membuat saya dari dulu malas membuka media sosial, salah satunya adalah facebook. Dengan basis pengguna yang sangat besar, sekitar 2,2 milyar di seluruh dunia, dan 140 juta ada di Indonesia, facebook sepertinya kewalahan dan tidak mampu memverifikasi postingan yang berbau hoaks dan provokasi
Facebook memang termasuk media sosial yang paling penting dalam marketing, tapi rating konten marketing hoaks dan provokasinya juga cukup tinggi. Situasi ini, tidak saja memudahkan berita bohong akan menyebar dengan luas tapi juga merangsang orang-orang yang cara berfikirnya receh akan termovitasi memproduksi berita bohong dan provokasi. Makanya , wajar jika facebook digelari medium utama sumber hoaks.
Kalau sudah dihadapkan pada postingan-postingan hoak dan provokasi kebencian seperti itu. Saya hanya bisa menarik nafas sambil menggeleng kepala, kemudian melewatkan postingan begitu saja.
Bukannya tidak peduli atau membiarkan keburukan itu terjadi dan menyebarluas. Persoalannya itu, jika ditanggapi dengan komentar yang meluruskan sesuai fakta, sudah pasti bakal menimbulkan serangan psikis yang tidak manusiawi. Kejadian seperti ini sering saya alami. Lah postingannya aja fitnah dan penuh kebencian bagaimana kita bisa merespon orang-orang yang punya motivasi seperti itu.
Makanya, jika diperhatikan, ini dari pengamatan saya ya, belum pernah ada satupun akun penggiat literasi digital baik yang dibentuk pemerintah, individu maupun organisasi masyarakat terlihat nyamperin postingan seperti ini. Mungkin mereka juga takut diserang dan dibully. Biasanya, mereka cuma memposting fakta dan info kebenaran hanya buat para pengikutnya saja. Nah, tinggal para pengikutnya mau menyebarluaskan atau tidak.
Kenapa tidak menggunakan fitur "laporkan" yang ada di facebook? Meskipun akun penyebar hoaks itu telah di banned atau diblokir oleh facebook, dalam sekejap mereka pasti akan membuat akun baru lagi. Jika diblokir lagi, buat akun baru lagi, begitu seterusnya. Kecuali syarat pembuatan akun di facebook menggunakan nomor induk kependudukan (NIK).
Atau laporkan ke polisi saja? lah, tambah report, kita netizen maunya menikmati dengan tenang dan santai waktu waktu luang kita di media sosial. Bayangkan, periode April-Mei tahun 2020, ada 14 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang diungkap polisi, yang mana 10 orangnya jadi tersangka. Apakah mereka kapok atau jadi pelajaran bagi akun yang lain? Tidak,nyatanya hoaks dan ujaran kebencian tetap bergelimang di media sosial. Mungkin saja ini karena, selain tingkat literasi digital masyarakat kita yang yang rendah, juga ada kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang memang memanfaatkan kelompok masyarakat yang literasi digitalnya rendah sebagai market mereka.
Rilis Global World Digital Competitiveness Index menyebutkan tingkat literasi digital netizen Indonesia berada di peringkat 56 dari 63 negara. Bayangkan situasinya, kita merupakan pengguna media sosial terbesar ketiga di dunia tapi dengan tingkat literasi yang rendah. Artinya, jari-jari yang menari membuat postingan ini tidak dibekali adab, kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Analoginya, ngomong aja yang dibanyakin tapi isi otaknya cetek.
Jadilah, kondisi ini seperti yang saya katakan di atas, kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menyebar hoaks dan memprovokasi masyarakat untuk membenci pemerintah. Literasi yang rendah membuat netizen kita mudah sekali terpengaruh oleh provokasi dan hoaks. Akibatnya, Pemerintah semakin kedodoran dan kesulitan dalam mengatasi pandemi ini. Yang dilawan tidak saja virus Covid-19 tapi juga harus berjibaku melawan hoaks dan virus-virus kebencian.
Coba lihat, negara-negara yang disebut maju, mereka diuntungkan dengan kualitas manusianya, yang lebih intelek, berpengatahuan dan beradab. Ketika tiba-tiba pandemi virus datang, mereka punya kesadaran yang tinggi untuk bersama sama memanfaatkan media sosial melawan pandemi, bukan melawan pemerintah.
Maka itu, dalam menghadapi bencana wabah ini, saya, anda dan kita semua, bersama pemerintah harus membangun literasi kolektif yang sungguh-sungguh untuk mendukung upaya dan kerja negara melindungi keselamatan rakyat baik oleh dari pandemi Virus Covid-19 maupun virus kebencian dan hoaks.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews