Poligami Club

Usut punya usut ternyata itu disebabkan oleh munculnya sebuah perkumpulan eksklusif bernama “Polgam Club” di kampung tetangga yang punya slogan “Why Only One If You Can Get More?”

Selasa, 8 Oktober 2019 | 07:31 WIB
0
403
Poligami Club
Ilustrasi poligami (Foto: Tribunnews.com)

Alkisah…

Di sebuah perkampungan yang selama ini suasananya aman tentram kerta raharja tiba-tiba terjadi perubahan. Terjadi ketegangan antara para suami dan para istri di kampung tersebut. Suasana yang biasanya romantis dan rukun berubah menjadi tegang dan tidak ada lagi tawa dan canda di antara mereka. Para suami tiba-tiba dimusuhi oleh para istri. Mengapa demikian?

Para ibu ternyata melihat gejala yang aneh dari para suami mereka yang tiba-tiba menjadi lebih genit daripada biasanya. Para suami yang biasanya sarungan setiap pagi dan tidak mandi kalau tidak diteriaki berkali-kali oleh istirnya tiba-tiba sejak pagi sudah mandi bersih dan berpakaian lengkap dengan sisiran yang klimis .

Usut punya usut ternyata hal tersebut disebabkan oleh munculnya sebuah perkumpulan eksklusif bernama “Polgam Club” di kampung tetangga yang punya slogan “Why Only One If You Can Get More?”, “God Bless Those Who Allow Husbands”, “Why Go Illegal If You Can Go Legal?” dll… dll…

Ringkasnya, para suami menuntut agar mereka juga bisa memperoleh privilege yang diperoleh para anggota “Polgam Club” tersebut. Mosok mereka bisa kami tidak bisa, demikian kilah mereka. Lagipula berdasarkan statistik jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Entah statistik darimana yang mereka sampaikan. Kami tidak ingin terperosok dalam perzinahan yang semakin lama semakin mewabah. Alangkah baiknya kalau syahwat disalurkan secara syar’i daripada terjerumus, dll… dll…

Tentu saja argumen mereka ini dijawab oleh para istri mereka dengan argumen, "Apakah servis kami selama ini kurang memuaskan sehingga perlu tukang servis lain? Satu aja ngak habis-habis kok." Dll… dll…

Karena ketegangan semakin meruncing maka Kahin, kepala kampung, turun tangan untuk mengajak mereka mendiskusikan masalah mereka. "Tak ada yang tak bisa dimusyawarahkan. Kita ini hidup di jaman demokrasi", katanya.

Maka pada hari yang ditentukan mereka semua dikumpulkan. Masing-masing pihak akan menyampaikan aspirasi masing-masing secara adil. Agar tidak terjadi keributan dan saling serobot bicara maka ditentukan bahwa masing-masing pihak akan menunjuk seorang juru bicara. Cak Kartolo ditunjuk untuk jadi jubir para suami sedangkan Ning Yah jadi jubir para istri. Mereka diminta untuk menyampaikan argumen masing-masing.

Cak Kartolo maju.

“Para Ibu-ibu. Sebelumnya saya mohon agar tidak menuding kami para suami Anda ini sebagai pria gatal dan iseng cari kesenangan sendiri. Itu sungguh tudingan yang tidak patut. Cobalah melihat sejarah di belakang kita. Bukankah sejak dulu laki-laki itu memang ditakdirkan untuk memiliki lebih dari satu istri? Para raja dan kaisar bahkan punya ratusan istri dan selir. Bahkan raja dan dan kaisar yang hanya beristri satu dianggap sebagai suatu keganjilan. Bukankah itu semuanya merupakan fakta yang tidak terbantahkan?

"Mengapa wanita sekarang ini menjadi lebih tidak toleran dan cenderung membatasi hak prerogatif suami yang dulunya dianggap sangat wajar? Mengapa… mengapa… mengapa…?! Tak bolehkah laki-laki memperoleh kembali hak-haknya yang azasi dulu pada saat ini dengan tenang dan damai, wahai kalian wanita yang egois?"wajah Cak Kartolo nampak syahdu ketika menyampaikan tusukan argumennya ini. Bibirnya sedikit bergetar.

”Kalau laki-laki yang beristri lebih dari satu itu dianggap tidak patut maka tentunya Tuhan tidak akan menunjuk orang-orang yang beristri lebih dari satu sebagai orang-orang terhormat dan nabi. Faktanya banyak nabi-nabi adalah orang-orang dengan istri lebih dari satu. Apakah para ibu hendak menghujat mereka? Beranikah para wanita melawan dan menentang kehendak Tuhan yang sudah dituliskan dalam Kitab Suci? Takutlah pada Tuhan wahai para istri. Sungguh siksa Tuhan sangatlah pedih. Menggigil rasanya kami menbayangkan kalian kelak disiksa di neraka karena masalah ini. Tidak … tidak…! Kami tidak ingin kalian disiksa. Sebaliknya kami ingin agar kalian semua masuk sorga semuanya tanpa visa maupun fiskal. Memberikan kembali hak-hak sejati dari para lelaki seperti semula adalah tiket VIP bagi kalian untuk masuk surga. Masuk surgalah wahai istri-istri kami. We love you full, eh! full nggak ya?!”
Kalimat Cak Kartolo meluncur dengan anggunnya dan kemudian ditutupnya dengan doa pamungkas ”Robbana atina fiddunya… dst.” yang langsung diamini oleh para suami yang lain dengan gaduh.

Kelompok ibu-ibu terdiam dan tak mampu mengeluarkan sekedar kata ’amin’ pun. Argumen Cak Kartolo ini sungguh menggetarkan, logis, antropologis, dan agak-agak magis. Masuk neraka? Siapa berani? Menggigil mereka semua dengan ancaman tersebut.

Ning Yah, jubir para istri, yang semula tampil penuh percaya diri dan gagah berani juga nampak pucat dan keder. Ketika tiba saatnya Ning Yah untuk maju mengemukakan argumennya. Ia nampak ragu. Jelas sekali bahwa ia grogi dan argumen yang disusunnya telah berantakan kena sodokan pidato indah Cak Kartolo.

Ia akhirnya minta waktu untuk berunding dengan ibui-ibu lagi sebelum maju mengemukakan argumen. Pak Kahin sepakat. Para bapak senyum-senyum simpul. Itu merupakan tanda bahwa kemenangan telah hampir tiba di telapak tangan.

Para ibu pun kemudian berkumpul dan berunding dengan berbisik-bisik sangat serius dipimpin oleh Ning Yah. Lima menit… sepuluh menit… akhirnya setelah terjadi sedikit ketegangan dimenit ke lima belas perundingan mereka selesai. Wajah Ning Yah yang sebelumnya kusut kini nampak cerah. Begitu juga para ibu. Seolah awan mendung yang menggelayuti mereka sebelum ini sirna.

Sambil memperbaiki tatanan rambutnya yang modal-madul Ning Yah maju ke podium. Suasana hening. Bapak-bapak hampir tak bernafas. Akankah mereka mendapat ijin untuk berpolgamria dari para istri?

”Bapak-bapak , para suami kami yang tercinta.” Ning Yah memulai pidatonya. ”Kami, para istri kalian tercinta mohon maaf sebesar-besarnya jika kami telah begitu egois sebelumnya,” suaranya sedikit agak serak. Para suami berseri-seri mukanya mendengar ini. In tanda-tanda kemenangan sudah di depan mata.

”Semula kami memang telah sepakat untuk bersikeras dalam hal poligami ini. Saat ini bukan lagi jaman raja-raja dan kaisar, apalagi nabi-nabi. They are all gone. They are all history!” Luar biasa Ning Yah ini. Tak dinyana ia bisa bahasa Inggris. ”Sekarang ini jaman kesetaraan gender dimana laki-laki dan wanita telah setara dan sederajat. Tak ada kelebihan seorang laki-laki dari wanita melainkan dari ketakwaannya.” Para suami terperangah mendengar luncuran kata-kata Ning Yah ini. Tak salah jika ia ditunjuk menjadi Menkes, eh! jubir para ibu-bu kampung.

”Tapi setelah mendengar argumen Cak Kartolo yang mewakili para suami maka kami kemudian berunding untuk memberikan keputusan yang mudah-mudahan akan baik bagi semua,” Nng Yah berhenti sejenak dan para bapak menajamkan telinganya. Tak ada yang berani bernapas.

”Kami akan mengijinkan para suami untuk berisitri lagi,” kata Ning Yah dengan tegas. Para suami langsung melompat dan bersorak gembira seolah mendengar nama mereka diumumkan sebagai menteri kabinet . Suasana riuh rendah dan para suami berpelukan satu sama lain. Ada yang syujud syukur segala. Mungkin terinspirasi oleh demonstrasi kesalehan para menteri kabinet. Ini sebuah kemenangan telak. Cak Kartolo perlu dinobatkan menjadi ”Man of Polgam 2009” nanti, kata mereka berbisik-bisik.

”Kami akan mengijinkan para suami untuk beristri dengan tiga syarat," Ning Yah meneruskan kata-katanya di sela teriakan gembira para suami. Suasana langsung hening. Cak Kartolo tegang. Syarat apakah gerangan? Mengapa 3? Apakah ada hubungannya dengan salah satu operator ponsel? Cak Kartolo berpikir keras. Hampir putus sambungan neuron di otaknya karena berpikir keras seperti ini.

”Syarat apa itu kiranya Ning Yah? Mohon kiranya tidak memberikan syarat yang neko-neko. Ingat bahwa ridha suami adalah ridho Allah.” suara Cak Kartolo serak dan bergetar ketika mengucapkan ini.

”Pertama, meski punya istri baru kalian para suami harus tetap sayang pada kami dan anak-anak kami nantinya.” Ning Yah menatap tajam pada Cak Kartolo. Para suami berpandang-padangan dan dengan cepat Cak Kartolo menjawab

”Oh! Tentu saja. Tentu saja kami akan tetap mencintai kalian. Istri dan anak-anak kami. Itu jangan diragukan,” para suami menimpali dengan koor, ”Tentu… tentu.. jangan kuatir!” Wajah mereka kembali cerah. Ternyata bukan syarat yang neko-neko seperti yang mereka kuatirkan semula. Untungnya Ning Yah tidak mengusulkan tes kesehatan fisik dan kejiwaan seperti yang diminta oleh SBY kepada para calon menterinya. Jika itu yang diminta mungkin lebih dari separoh dari mereka akan bernasib seperti Nila Anfasa Moloek.

”Syarat kedua, Jika punya istri baru janganlah kalian lupa menafkahi kami. Meski lebih sedikit daripada istri baru kalian tapi kalian harus tetap menafkahi kalian,” Ning Yah semakin berapi-api.

Mendengar syarat kedua ini para suami tertawa kecil. Setelah berunding sejenak mereka pun menyatakan setuju dengan syarat kedua ini. Juga dengan koor. ”Sudah selayaknyalah kami tetap menafkahi kalian, meski istri muda mungkin lebih banyak biayanya,” sahut Cak Kartolo sambil tersenyum kemalu-maluan.

” Syarat ketiga … Ini penting,” sambung Nng Yah seolah tak peduli dengan prilaku para suami. Ia berhenti sejenak. Para suami langsung juga senyap. Semua memasang pendengaran terbaik mereka agar tidak salah info. Cak Kartolo sedikit gemetar. Ia kuatir bahwa syarat ini bisa mengganjal aspirasi mereka seperti terganjalnya Nila Anfasa Moloek menjadi Menkes.

”Syarat ketiga…”

Suasana hening. Ning Yah tidak segera meneruskan kata-katanya tapi sebaliknya justru menyapukan pandangannya pada semua suami yang ada di hadapannya. Dadanya membusung dan matanya berapi-api.

Begitu ia membuka mulut kata-katanya langsung menggelegar

”Syarat ketiga… langkahi dulu mayat kamiii…!”

Begitu kata-kata Ning Yah berakhir para ibu yang semula duduk rapi tiba-tiba serentak berdiri dan melompat menyerbu ke arah bapak-bapak dengan tangan terkepal.

”Allahu Akbar…! Allahu Akbar…! Pertemuan berubah menjadi ajang pembantaian bapak-bapak.

Tak perlu diceritakan detilnya tapi sejak itu tak ada lagi yang berani macam-macam pada para istri.

Balikpapan, 24 Oktober 2009

Satria Dharma

***