TVRI Jadul [8] "Pabrik" Kebudayaan yang Perlu Perhatian

Bantuan dari luar TVRI pastilah berdatangan, manakala usaha itu menguntungkan dan bukan sekedar mendapatkan rasa bangga karena diputar di TVRI.

Jumat, 2 Agustus 2019 | 07:10 WIB
0
557
TVRI Jadul [8] "Pabrik" Kebudayaan yang Perlu Perhatian
Alex Leo Zulkarnaen (Foto: Kominfo)

Suatu studio televisi tak akan pernah dapat memuaskan seluruh masyarakat penontonnya. Sebab setiap penonton hanya puas manakala ia menemukan program yang disenanginya atau yang melibatkan dirinya. Program yang lain dibiarkannya berlalu atau pesawatnya dimatikan.

Pendapat itu dikemukakan Alex Leo Zulkarnain, Kepala Studio TVRI Jakarta menjawab pertanyaan Kompas mengenai keluhan masyarakat terhadap program siaran TVRl. Selanjutnya ia menyatakan satu-satunya hal yang bisa diperbuat oleh setiap stasiun TV ialah, berusaha mendekati selera masyarakat dengan menawarkan lebih banyak acara yang mendekati selera mereka. Hal inilah yang tidak gampang untuk dilakukan, terutama di negeri kita.

Menurut Alex Leo, banyak masalah yang dihadapi TVRl untuk memuaskan selera masyarakat. Di bidang programa misalnya, televisi sebagai pabrik kebudayaan harus menampilkan sesuatu yang baru dan harus dapat menjadi "kaca" masyarakat.

Artinya, apa yang ditampilkan merupakan gambaran dari keadaan masyarakat. Problemnya, mana yang harus dikerjakan dulu dalam penyusunan program itu: merangsang masyarakat dulu ataukah menunggu sampai berkembang. Akhimya dipilih jalan simultan: merangsang masyarakat untuk bereaksi dan sekaligus menunggu mereka berkembang. Langkah ini ada yang tepat, antara lain di bidang acara musik.

Acara musik di televisi merupakan acara yang berhasil, sebab dapat merangsang dan mengembangkannya. Namun demikian masih banyak acara yang sampai kini sulit berkembang, karena memerlukan penunjang dari luar. Soalnya TVRI tidak mempunyai ahli dibidang-bidang itu.

Di banyak negara maju, para ahli di luar pertelevisian membuat film atau features mengenai kegiatan atau keahlian mereka. Hasilnya mereka tawarkan kepada perusahaan televisi. Sebagai contoh ia menyebut film “ kehidupan dalam laut “ yang sering disiarkan lewat saluran Palapa. Di negeri kita hal semacam itu belum dapat diperoleh. Selama ini hal-hal yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan diserahkan kepada LIPI ( Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia ).

Tetapi celakanya, seorang yang pandai di bidangnya, sering kali bukan seorang pembicara yang baik, sehingga menjengkelkan penonton televisi. Akhirnya TVRI  hanya menampilkannya dalam bentuk telop-telop, sehingga telop yang semula hanya sebagai pengisi waktu, berubah menjadi program tersendiri. “Lebih baik ada daripada tidak sama sekali,” kata Alex.

Baca Juga: TVRI Jadul [1] Merekam Acara Telerama di Studio II

Hal lain yang mempengaruhi keadaan TVRI sekarang ini ialah, keadaan lingkungan masyarakat kita yang belum membantu. Sebagai contoh ia mengeluh, betapa sulit mencari naskah drama yang baik.

"Apakah itu bukan karena adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan TVRI.?”

“Semua kan harus ada batasnya. Bagaimana jika acara itu mengajak orang untuk memberontak? Bisa rusak negara kita,” jawabnya tegas.

Personalia

Masalah personalia juga merupakan beban berat yang banyak menentukan kwalitas TVRI sekarang ini. Dikatakannya, sampai sekarang pihaknya kesulitan mencari ahli elektronik dan analisa kimia. Tenaga-tenaga itu ada di masyarakat, tetapi mereka mundur setelah mendengar betapa minimnya imbalan yang sanggup diberikan TVRI.

Apalagi ahli elektronika yang jumlahnya begitu minim di negeri kita. Mereka tentu saja lebih suka memilih kerja di tempat lain dengan jaminan yang lebih baik. Minimnya imbalan yang diberikan TVRI itu antara lain karena status TVRI yang sampai kini belum jelas : swasta tidak, negeri pun belum sepenuhnya.

Dalam tubuh TVRI saat ini terdapat pegawai negeri dan pegawai Yayasan TVRI, keduanya dibayar dengan gaji yang jauh dari cukup. Usaha untuk membedakan imbalan terhadap pekerja seni dan fungsional sebagaimana diusulkan oleh Nico Pelamonia ( 14 Agustus ), sudah lama dilakukan.

Kini TVRI  telah mengirimkan data kepada Menpan sumarlin dan BKAN, mana petugas yang termasuk golongan berjabatan profesi dan mana pula yang fungsional.

Tetapi sejauh ini belum ada realisasi. Bahkan Menpen Ali Murtopo telah meminta kepada kedua pejabat tersebut agar semua karyawan TVRI dijadikan pegawai negeri. Semuanya masih dalam proses. Sebagai data ia berikan, ada 120 pegawai negeri dan 660 pegawai yayasan yang kini bekerja di TVRI Senayan.

Menurut Alex Leo, mereka itu  semua bekerja berdasarkan dedikasi yang tinggi. Sebab ia yakin, kalau saja mau bekerja diluar TVRI akan mendapat penghasilan yang lebih tinggi. “ TVRI  Jakarta ini semula memang tidak dipersiapkan untuk sebuah stasiun televisi , “ katanya mengungkap masalah sarana. Itulah sebabnya tak ada lagi ruangan atau studio yang tahan suara ( sound proof ), sehingga acara-acara musik harus direkam suaranya dulu di studio luar. Tentu saja ini mengurangi dan mempersulit penyajian acara musik.

Masalah sarana ini menyangkut juga merosotnya nilai operasi dari peralatan yang ada. Semakin lama peralatan itu semakin rapuh. Apalagi mulai 1 Oktober nanti jam siarannya akan ditambah lagi menjadi 8 jam. Satu-satunya harapan Alex Leo untuk memperbaiki stasiunnya ialah, gedung dan peralaatan baru yang diharapkan dapat mulai berfungsi satu-dua tahun lagi. “ Stasiun itu dirancang sesuai dengan tuntuttan pertelevisian,”  katanya menambahkan.

**

Setelah selama dua minggu mendengar, membaca dan melihat keadaan TVRI Jakarta, kami sampai pada kesimpulan bahwa pabrik kebudayaan itu perlu perhatian. Selama ini masyarakat banyak yang mencacinya, sedangkan di pihak yang dicaci merasa apa yang telah dikerjakannya itu suatu kemampuan yang maksimal. Akibatnya, Alex Leo sendiri merasa bahwa pengabdiannya ini merupakan  thanksless job , pekerjaan tanpa terima kasih. Ini bisa dimaklumi. Tetapi bagaimanapun kedua pihak perlu didekatkan, perlu saling mengerti, sehingga masing-masing merasa memiliki TVRI.

Tetapi TVRI Jakarta harus mengakui juga adanya berbagai kelemahan yang seharusnya tidak terjadi dari pengamatan di kompleks stasiun itu. Nampak cara kerja yang kurang profesional. Kini seolah nampak sebuah benang atau garis yang memisahkan dua kelompok : dedikasi dan rutin. Mungkin kesemuanya ini berpangkal pada imbalan yang tidak sepadan atau mungkin hanya karena nasib jelek dan bagus.

Sebagai contoh, menurunnya disiplin kerja yang membuat setiap perencanaan tidak tampil sebagaimana diharapkan. Ini tidak saja mempengaruhi lingkungan TVRI sendiri, tetapi juga mereka yang akan mengisi acara. Kesemuanya berkaitan erat. Sinyalemen beberapa pengisi acara sebagaimana kami tulis kemarin, tidak salah.

Kini semua orang dapat dengan bebas memasuki kompleks TVRI Senayan, bahkan memasuki studio-studio, ruang-ruang sub kontrol maupun master control yang merupakan jantungnya. Dari pengalaman beberapa hari di sana, ruang sub-control tempat para pengarah acara menentukan baik jeleknya acara, selalu dipenuhi penonton. Mungkin kebanyakan dari mereka adalah karyawan-karyawan TVRI sendiri. Tetapi bagaimanapun akan mengganggu konsentrasi para petugas.

“TVRI sekarang kayak pasar!”. Ini keluhan Nico Pelamonia yang pernah bekerja di sana sampai beberapa tahun. Mungkin ia terlalu keras, tetapi sebaiknya diperhatikan.

Disiplin kerja ini juga menyangkut masalah cara kerja. Hampir-hampir dapat di katakan, banyak pekerja penentu yang ternyata bekerja tanpa persiapan matang sebagaimana harus dilakukan oleh aparat penyelenggara siaran televisi. Tak ada shooting-script, tak ada diskusi yang matang dan kurang pendalaman terhadap pekerjaan. Mungkin benarlah kata Teguh Karya : mereka ini menguasai teknik, tetapi belum mempunyai visi.

Keperluan iklan untuk menunjang biaya penyelenggaraan siaran, dapat dimaklumi. Hanya saja hendaknya diarahkan jangan sampai membunuh idealisme sebuah siaran, karena tergeser oleh kepentingan pengusaha dan segelintir orang dalam yang menggunakan kesempatan. Ini jika siaran TVRI Senayan ingin berjalan sesuai dengan arah yang digariskan.

Mengenai status TVRI, nampaknya sudah saatnya pemerintah mempertegasnya. Mungkin usul Menpen Ali Murtopo untuk menjadikan seluruh karyawan TVRI sebagai pegawai negeri akan menyenangkan kebanyakan karyawan TVRI. Namun hendaknya dipikirkan pula, bagaimana menggairahkan kerja mereka dengan gaji ukuran pegawai negeri ini.

Kalaupun status TVRI akan tetap dipertahankan sebagai perusahaan yayasan dan juga instansi pemerintah, maka harus diperjelas ketentuan: sejauh mana mereka ini mendapat bagian sebagai karyawan yayasan. Kesemuanya ini untuk menjaga agar mereka jangan bekerja secara rutin tanpa kreativitas. Sebab bagaimanapun, TVRI sebagai pabrik kebudayaan hanya dapat berjalan baik, jika memberi pula ruang gerak pada kreativitas.

TV Swasta

Sebenarnya tidak adil jika ada orang yang menilai TVRI sekarang ini jelek atau bagus. Soalnya tidak ada pembanding, sehingga dapat dikatakan jelek atau bagus. Jelek dari mana, bagus dibandingkan siapa? Tentu saja tidak adil jika kita membandingkannya dengan pertelevisian luar negeri.

Untuk menaikkan mutu TVRI kiranya sudah saatnya pemerintah mengijinkan berdirinya suatu perusahaan televisi swasta. Tak perlu ada yang ditakutkan dengan TV swasta. Perusahaan itu toh bisa diatur sebagaimana pemerintah mengatur Radio Swasta. Mereka toh bisa “dipaksa“ menyiarkan acara yang menurut pemerintah harus disiarkan.

Bahkan mungkin bisa juga diatur bagaimana perbandingan jenis mata acara yang akan disajikan, kalau perlu sama dengan TVRI. Mungkin masalah yang dirisaukan ialah, kaburnya para pemasang iklan dari TVRI. Sebab bagaimanapun, TV swasta akan berusaha membuat acara yang lebih baik dari TVRI. Tetapi inilah cambuk yang paling baik bagi TVRI untuk memperbaiki diri dari keadaan sekarang.

Harapan Alex Leo untuk memperbaiki diri setelah gedung dan peralatan baru dioperasikan, hanyalah menyangkut segi teknis dan peralatan. Harapan itu tidak menyentuh dasarnya, yaitu sikap dari manusia yang menangani peralatan tersebut. Kami berpendapat, hanya kehadiran TV swasta yang dapat membongkar sikap-sikap yang tidak menguntungkan itu, mereka akan memiliki rasa bersaing, berjuang dan kemudian mempunyai hasrat untuk maju.

Kehadiran TV swasta kemungkinan juga akan dapat menghilangkan keluhan Alex Leo tentang langkanya masyarakat, terutama ilmiawan untuk mengisi acara di televisi dengan baik. Kini banyak anak muda yang mengerti tentang film dan bisa digunakan oleh para calon pengisi acara. Bantuan dari luar TVRI pastilah berdatangan, manakala usaha itu menguntungkan dan bukan sekedar mendapatkan rasa bangga karena diputar di TVRI.

Inilah akhir tulisan kami, tentu itu saja dengan harapan, agar yang berwenang tidak berteguh pendapat : “Baik tidak baik TVRI “.

(Selesai)

***

 

 

Di Balik Kisah

Ditelepon Alex Leo

     LAPORAN tentang TVRI Jakarta di atas saya kerjakan bersama Jimmy Harianto yang biasanya menggunakan initial sha. Saat itu baru menjadi wartawan Kompas dan saya menjadi mentornya.Pendidikan wartawan di lingkungan Kompas saat itu dilakukan dengan sistem learning by doing, mengikuti wartawan yang lebih lama (senior) ke mana pun pergi. Sesudah selesai tugas, masing-masing membuat berita yang kemudian dibandingkan atau disuruh menelaah kekurangannya. Dengan demikian wartawan baru itu belajar sambil bekerja.

     Ketika saya menulis tentang kelakuan seorang anggota DPR yang memasukkan uang ke saku wartawan TVRI, protes teman-teman TVRI berdatangan. Walaupun sambil bercanda, mereka umumnya keberatan hal itu dimuat sebagai bahan laporan. Bahkan Alex Leo Zulkarnaen (alm) yang saat itu menjadi Kepala Studio TVRI Jakarta sempat menelpon saya menyampaikan keberatannya.

     “Jadi bagaimana Pak? Mau buat surat bantahan atau bagaimana? Kalau saya suruh meralat, ya nggak lucu,” begitu sergah saya setelah ia bicara panjang lebar.

     “Ya …. lain kali jangan begitu, kita kan seprofesi,” katanya menyudahi pembicaraan. Urusan pun selesai.

(Selesai)

Kompas, 14 Agustus 1980

***

Tulisan sebelumnya: TVRI Jadul [7] Berbagai Komentar Mengenai Penggarapan Siaran