TVRI Jadul [7] Berbagai Komentar Mengenai Penggarapan Siaran

Apa yang dianggap baik oleh sutradara, kadang-kadang berbeda dengan selera PD. Padahal PD dan sutradara seharusnya satu bahasa.

Senin, 29 Juli 2019 | 06:35 WIB
0
698
TVRI Jadul [7] Berbagai Komentar  Mengenai Penggarapan Siaran
Mus Mualim dan Titiek Puspa (Foto: Beritagar)

"Saya merindukan live show seperti dulu. Lebih natural, lebih spontan dan lebih hidup,” komentar Mus Mualim mengenai keadaan TVRI Jakarta sekarang. Musikus yang mengisi acara jazz secara tetap di TVRI Jakarta lima minggu sekali itu menilai, sistim  playback“ (rekaman suara dulu baru visual ) yang di gunakan TVRI sekarang membuat para pemainnya menderita.

“Saya pernah melihat Bubi Chen nampak kayak orang yang baru bisa bermain piano. Siapa yang bisa menghapal improvisasi?” tuturnya menunjuk salah satu contoh penderitaan rekannya. Ia menggambarkan betapa sulit seorang pemusik jazz mengikuti gerak-gerak improvisasi yang telah direkam terlebih dahulu.

Menurut suami Titiek Puspa itu, dalam jazz improvisasi bersifat spontan seolah baru terangkai pada saat memainkannya. Itulah sebabnya sangat sulit bagi mereka untuk menirukannya kembali pada saat rekaman visual. Akibatnya, pemain seperti Buby Chen yang sudah begitu mahir, nampak terantuk-antuk dan tertinggal tekanan jarinya dibandingjkan dengan suara musik.

Mus Mualim juga berpendapat, bahwa bagi penonton televisi, menonton siaran langsung mempunyai kepuasan tersendiri. Mereka akan melihat sebagai suatu konser yang hidup. Namun ia pun mengakui, bahwa keadaan “ audio “ TVRI Jakarta sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk berbuat seperti itu.

Mengenai pengaruh siaran music di televisi, Mus Mualim mengakui sangat bermanfaat dan memajukan dunia musik di negara kita. Kini musik telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, berkumandang sampai ke pelosok-pelosok dibawa oleh kaset atau piringan hitam. Keadaan ini sangat membantu kehidupan para artisnya. Ia menyambut baik acara Wisata Nada yang mengumandangkan bakat-bakat remaja.

“Hanya sayang, acara-acara musikal lainnya menurun,” tambahnya. Hal lain yang mengecewakannya ialah kekurangcermatan para pengarah acara atau PD ( Program Director ) dalam menggarap acaranya. Suatu ketika ia melihat acara Mimbar Agama Islam yang diiringi dengan lagu Ave Maria“. Ini kesalahan yang besar dan tak terampuni. Contoh lain, dalam suatu wawancara, kamera (tentu saja atas perintah PD)  mengambil “angle “ seenaknya, sehingga hanya menampilkan obyek yang diwawancara.

“Selain yang diwawancarai, kan ada yang mewawancarai, bukankah ini penting untuk melihat reaksi si penanya?” gumamnya.

**

Masalah PD ini nampaknya memang banyak disesalkan oleh banyak pihak, baik para pengisi acara maupun pengamat siaran televisi. Hal ini tidak mengherankan, karena PD merupakan penanggung jawab hitam putihnya acara yang tersaji. Acara yang dipersiapkan bagaimanapun baiknya, tidak akan berarti manakala ditangani PD yang sembarangan saja.

 “PD yang hanya berpendidikan SMA plus TC selama enam atau delapan bulan, tak mungkin diharapkan mutunya,” komentar Nico Pelamonia, sutradara film yang pernah menjabat sebagai PD bidang drama di TVRI Jakarta. Menurut pendapatnya, mungkin secara teknis agak bisa, tetapi dasar dari acara yang dipegangnya hanya dikenalnya, belum dimengerti apa lagi dihayatinya.

“Kalaupun ia tahu, paling hanya berdasarkan feeling saja,” katanya. Selain itu PD yang masih muda usia dan muda pengalaman ini, tak mungkin dapat mengimbangi kerja aparat-aparat senior di studio seperti juru kamera, lightingman, soundman dan sebagainya. Padahal dalam mengerjakan suatu acara, para senior tersebut harus mengerjakan apa yang diminta PD.

 “Jika seorang PD sudah tidak berwibawa lagi, apa yang diharapkan dari kerjanya? Ia bukan seorang top man lagi,” komentarnya tegas. Selanjutnya ia berpendapat, bahwa seorang PD harus juga mempelajari psykologi penonton. Ia harus sadar  bahwa apa yang disajikan itu dinikmati penonton di rumah dengan relaks. Mungkin tuannya hanya memakai celana pendek, nyonyanya berdaster siap untuk tidur, sementara pembantu ikut duduk di bawah. Suasana relaks ini akan terganggu, manakala PD menyajikan acara yang salah, betapun kecilnya kesalahan itu. Oleh sebab itu PD harus akrab dengan penonton TV. Ia harus membuat agar para penonton ini dapat menikmati relaksnya. Jika tidak, maka TV itu tidak akan komunikatif, sebagaimana sekarang ini!” tegasnya.

Sementara itu Tiar Muslim, PD drama TVRI Senayan mengakui keadaan ini. Ia menilai, para PD sekarang ini terlalu cepat diberi tanggung jawab untuk menggarap suatu acara. Di bagiannya, kini terdapat 11 PD. Enam di antaranya junior. Para PD junior ini baru dua tahun lepas dari TC yang berlangsung delapan bulan, setelah lulus SLA. Padahal dia dulu harus bertahun-tahun menjadi FD ( Floor Director ) sebelum menjabat PD.

Keadaan ini nampaknya memang sudah disadari oleh TVRI ( walaupun agak terlambat ) sehingga mulai Agustus para PD drama junior selama enam bulan tidak berhak mencantumkan nama di layar TVRI. Setelah lewat enam bulan, pimpinannya akan menilai apakah mereka pantas untuk tetap menjadi PD yang namanya tertera pada setiap acara. Kebijaksanaan ini berbeda dengan bagian musik. Soewanto Soewandi selaku ketuanya, sampai kini belum mengijinkan PD junior menjadi PD. Mereka diserahi tugas untuk menjadi FD yang mengatur persiapan acara dalam studio atau lapangan.

“Saya digaji sebagai pegawai negeri, golongan II-a, tambah sedikit uang dari yayasan. Tak sebanding dengan kerjanya,” keluh seorang FD Musik mengenai uang yang diterimanya setiap bulan. Masalah gaji ini memang merupakan sebab tersendiri dari kekurangsempurnaan TVRI Jakarta dalam menampilkan acaranya.

“Itu sudah lama saya perjuangkan!” kata Nico yang bekerja di TVRI sejak tahun 1963 sampai 1974. Ia berpendapat, seorang PD adalah pekerja seni yang harus dibedakan dengan pegawai administrasi atau teknisi praktis. TVRI seharusnya menanamkan pengertian bahwa pekerjaan administrasi, teknisi praktis, iklan dan sebagainya itu bekerja mendukung pembuat acara.

 “Dengan demikian mereka harus maklum jika seorang pekerja seni memperoleh imbalan yang lebih besar.”

**

Masalah PD ini juga di persoalkan oleh Teguh Karya, Pimpinan Teater Populer yang dulu sering mengisi acara TVRI Jakarta. Ia menilai PD TVRI Jakarta sekarang ini cukup bekal pengetahuan, tetapi belum mempunyai bekal visi. Masalah visi menurut Teguh, tergantung pada orientasi yang kental terhadap kesenian dan pergulatan batin hidup yang kaya.

Satu-satunya tantangan bagi PD ialah kerja rutin. Dengan kerja rutin, seorang PD tak akan menghasilkan apa-apa. Untuk mengatasinya, seorang PD harus memiliki rasa professional mencintai pekerjaannya, sehingga ia merasa ikut memiliki, punya kebanggaan dengan namanya dan gaji yang cukup. Menurut pengamatannya, keempat persyaratan itu sudah tidak dimiliki lagi oleh TVRI Jakarta.

 “Itulah sebabnya mutu hasil  on-air  TVRI Jakarta akhir-akhir ini menurun,” tambahnya.

Perihal kerja rutin ini juga dilihat oleh Nico Pelamonia. Ia mengusulkan, agar seorang PD diberikan kebebasan membuat acara  sendiri : misalnya sebulan dua atau tiga kali. Dengan demikian ia dapat mengembangkan kreasinya. Selama ini para PD hanya menerima semacam order kerja dari badan perencana siaran. Sistim order kerja inilah yang sering menimbulkan ketidakcocokan antara PD dengan sutradara atau pengarah laku drama yang akan disajikan. Apa yang dianggap baik oleh sutradara, kadang-kadang berbeda dengan selera PD. Padahal PD dan sutradara seharusnya satu bahasa,” kata Nico.

Selanjutnya dikatakan, bahwa seorang PD seharusnya menyesuaikan drama itu dengan teknik penyiaran di televisi. Untuk itu ia harus memiliki pengetahuan dasar drama, sehingga dalam menyesuaikan dengan segi teknis, tidak merusak drama itu sendiri. 

Sementara itu Teguh Karya menilai pertentangan tersebut terjadi, karena ada yang tidak mengetahui dramaturgi. Bagi dia sendiri, selama ini tidak pernah mengalami pertentangan yang hebat dengan PD. Hal yang mengesalkannya ialah kurangnya disiplin kerja dari TVRI Jakarta. Rekaman yang dijadwalkan jam 10 pagi, biasanya lewat tengah hari baru dimulai.

“Ini benar-benar cara yang tidak profesional!” tegasnya. Ia pun menyesalkan dramanya  Pakaian dan Kepalsuan  yang sampai kini belum juga disiarkan, padahal telah direkam hampir setahun yang lalu.

Elsa Surya dari Teater Veritas yang baru-baru ini tampil di TVRI Jakarta dengan drama berjudul  Kunci  nampaknya merasakan juga situasi di TVRI sekarang ini : terutama kurangnya disiplin kerja. Ia pun kadang-kadang mengalami pertentangan pendapat dengan PD, tetapi biasanya berakhir dengan saling pengertian.

“Mengisi acara di TVRI pasti  nombok, “ katanya menjawab pertanyaan Kompas. Sebagai contoh, selama ini TVRI hanya membayar pemain paling tinggi Rp. 15.000. Untuk menggairahkan pemainnya, maka pihaknya menambah honor ini untuk transpor latihan dan sebagainya. Hal ini diakui oleh Tiar Muslim. Ia mengatakan artis kaliber Dedy Sutomo sajalah yang berhak mendapatkan Rp. 15.000.  Ketentuan ini berlaku juga bagi Teater Populer yang pemainnya sudah berkaliber hebat. Menurut Teguh Karya, setiap mengisi acara di TVRI  ia harus nombok lebih dari Rp. 200.000.

“Main di TV kami anggap sebagai program idealisme saja!” tambahnya di Sanggar Teater Populer Jalan Kebon Kacang

Kompas, 13 Agustus 1980

***

Tulisan sebelumnya: TVRI Jadul [6] Penyiar, Hanya Kepopuleran yang Diperoleh