Bahaya Permusuhan Maya

Akan semakin berbahaya jika media sosial pun kemudian dijadikan alat untuk mempropagandakan hoaks dan berita bohong plus ujaran kebencian.

Rabu, 10 April 2019 | 22:11 WIB
0
641
Bahaya Permusuhan Maya
Ilustrasi pertengkaran di dunia maya (Foto: Helo Sehat)

Dalam pandangan hakikat, narasi-narasi negatif yang menjadi sebab timbulnya permusuhan dan kebencian secara analogis bersifat ‘padat’. Sebagaimana yang biasa kita mafhumi bahwa sifat benda padat tidak dapat berpindah, dan juga tidak dapat memantul pada yang lain.      
   
Sementara itu, kebaikan (perdamaian, dll) bersifat halus bak cahaya.  Artinya, sifat kebaikan dapat pindah dan memantul pada yang lain. Pemaknaan tersebut sesuai dengan pepatah, ‘Karena kebaikan satu orang, seribu orang dimuliakan.’
   
Oleh karena itu, kedengkian, kebencian, dan permusuhan satu pihak terhadap pihak lain atau kelompok tertentu—yang berlainan pendapat dan pandangan—harus segera dihentikan. Sikap itu tidak hanya membahayakan persatuan dan persaudaraan, tetapi juga sangat bertentangan dengan kebenaran. Jalan terbaik, sebagaimana dikatakan Badi'uzzaman Said Nursi, “Jika engkau menginginkan permusuhan, maka musuhilah rasa permusuhan yang ada di dalam dirimu (hatimu)!” Wallahualam bissawab.
    
Namun, pemahaman semacam ini secara kontekstual terkadang hanya indah di dalam pemikiran dan tulisan. Apalagi di era keterbukaan yang serbadigital saat ini. Media sosial mempertemukan banyak orang secara maya. Ada implikasi positif tentunya, tapi ada sangat banyak pula implikasi negatifnya.  
    
Dunia maya dan media sosial, selain berpeluang untuk membuka interkoneksi empati, juga berpeluang besar menyulut aglomerasi permusuhan secara maya. Lihat saja, misalnya, betapa cepatnya publik membenci pendiri Bukalapak, padahal semua yang diucapkannya berdasarkan data yang cukup bisa dipercaya.
    
Karena itulah, kita sebagai bangsa perlu berefleksi lebih dalam.  Keterbukaan dan keleluasaan yang dipancang tinggi-tinggi juga menyimpan sisi gelap. Ironisnya, hari ini kita sedang berduyun-duyun memasuki sisi gelap itu. Ada situasi pelik yang merupakan ekses dari keluwesan media digital dan disebut sebagai fenomena post-truth oleh para pengamat sosial.  
Nezar Patria, editor-in-chief harian Jakarta Post sekaligus salah satu anggota Dewan Pers menyatakan bahwa post-truth adalah kondisi yang terjadi ketika informasi bohong atau palsu (hoaks) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik.
   
Dengan sirkulasi media digital yang begitu kencang dan luas, informasi palsu ikut menunggangi sekaligus mengelaborasi suatu peristiwa yang terjadi sehingga kesan ‘nyata; dari informasi tersebut begitu kuat. Walaupun alih-alih nyata, justru kondisi yang sebenarnya terjadi ialah apa yang disebut disinformasi dan distorsi atas sebuah realitas.
    
Informasi palsu diterima serta dipercaya begitu saja oleh publik tanpa melalui proses pemilahanan, verifikasi, dan evaluasi. Hal itu menjadi wajar ketika informasi-informasi bohong mengambil isu-isu yang sensitif, seperti agama, isu hantu sejarah bernama komunisme, atau isu tentang sesosok tokoh yang sedang memuncaki karier publik.

Terlampau jauh

Tanpa disadari kita sudah terlampau jauh memasuki sisi gelap itu. Kita dibuat terhenyak dengan peristiwa beberapa waktu lalu, yakni Kepolisian RI berhasil mengungkap beberapa sindikat pembuat berita palsu dan ujaran kebencian.  
    
Sindikat semacam itu memanfaatkan kondisi post-truth dan keleluasaan media digital untuk mengeruk laba dari bisnis haram tersebut. Mereka membuka jasa pembuatan berita palsu dan ujaran kebencian untuk pihak-pihak yang mempunyai kepentingan menggiring opini publik. Kabar terakhir yang dilansir beberapa media, polisi menyebutkan bahwa ada keterlibatan tokoh-tokoh partai politik yang menggunakan jasa sindikat itu.
    
Efek dari post-truth pun sudah sangat beragam. Contoh teranyar tentang bagaimana peliknya situasi bernama post-truth yang terjadi beberapa waktu lalu ketika kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta dikepung massa karena dianggap menjadi tempat berkumpul PKI, partai politik yang sudah mati puluhan tahun lalu.
    
Ketika itu, laman Tirto.id melansir, penyerbuan dan pengepungan acara tersebut tak lepas dari kabar yang beredar melalui sosial media dan aplikasi chatting di kalangan masyarakat bahwa gedung YLBHI menjadi tempat menyanyikan lagu Genjer-genjer pada acara seni Asik Asik Aksi.
    
Eksesnya para pengunjung acara malam itu terkepung selama lima jam hingga Minggu berselang Senin. Meskipun para hadirin bisa keluar dari gedung tersebut, pengepungan dan penyerbuan tersebut memakan beberapa korban luka-luka.
    
Sejatinya, di sinilah letak peran penting pihak berwajib, terutama kepolisian, untuk mengawal dan memonitor dunia digital agar tidak dijadikan sebagai alat untuk menebar kebencian dan permusuhan kepada kelompok-kelompok tertentu oleh kelompok lainnya hanya demi kepentingan sesaat. Sebagaimana kita pahami, dunia digital pada akhirnya juga dijadikan instrumen propaganda yang bisa memecah belah persaudaraan kita sebagai anak bangsa.  
    
Konten-konten kebencian dan permusuhan bisa langsung mampir ke layar ponsel orang-per orang. Nicholas J O'Shaughnessy (2004) dalam bukunya Politics and Propaganda: Weapons of Mass Seduction mengungkapkan bahwa propaganda cenderung dikaitkan dengan proses kemasyarakatan umum, yakni persuasi dianggap sebagai proses psikologis individu. Propaganda memiliki sasaran massa, dan targetnya ialah orang banyak.
    
Bahasa politik memiliki dua strategi penting, yang satu bersifat emotif, yang menggunakan retorika emosional (propaganda), yang lainnya pasif (rasional dan informasional).

Propaganda tentu bukan persuasi rasional. Smith et al (1946) berpendapat bahwa propaganda berkaitan dengan sikap pada isu-isu kontroversial. Kebanyakan propaganda lebih bersifat emosional daripada rasional dalam kontennya.  
   
Dengan kata lain, emosi ialah inti dari propaganda. Propaganda adalah cara memediasi tanggapan kita terhadap fenomena sosial dan hubungan kita dengan masyarakat.
    
Propaganda bertujuan untuk memengaruhi pendapat orang atau sekelompok orang. Propaganda dapat mengandung informasi yang benar, tetapi dapat juga menyesatkan karena informasi yang disampaikan tersebut tidak semua dibuka.
    
Propagandis yang menyampaikan propaganda biasanya memberikan fakta yang menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan fakta menyangkut pemberitaan buruk tentang diri atau kelompoknya bisa sengaja disembunyikan. Tujuannya untuk membuat citra diri dan kelompoknya semakin terlihat baik di mata publik.
    
Akan semakin berbahaya jika media sosial pun kemudian dijadikan alat untuk mempropagandakan hoaks dan berita bohong plus ujaran kebencian. Propaganda diviralisasi untuk menyulut emosi warganet.      
    
Maka dari itu, warganet harus lebih hati-hati memilah dan membagikan informasi. Harus ada klarifikasi terlebih dahulu apakah sebuah informasi valid dan tidak berbau propaganda politik atau hanya hoaks dan ujaran penyulut emosi semata.

***

Catatan: Artikel ini telah dimuat juga di "Media Indonesia" dengan judul yang sama.