Kepolisian harus mulai bertindak "firm dan educated" kepada semua warga dan terutama kepada diri mereka sendiri, bagaimana keadilan dan toleransi itu begitu mulia dan berharga dibanding apapun.
Polisi menangkap pendakwah Yahya Waloni setelah sebelumnya menangkap Youtuber Muhammad Kece, keduanya sama-sama disangkakan dalam kasus penistaan agama.
Waloni, sebut aja singkatnya begitu, ditangkap Bareskrim Polri kemarin sore di Cibubur, 26 Agustus 2021, ia dinilai menista agama Kristen dalam ceramah yang menyebut kitab" Bible" itu palsu. Sedangkan Kece ditangkap dua hari sebelumnya di Bali, 24 Agustus 2021. Ia dianggap menghina agama Islam karena dalam unggahannya menyebut Nabi Muhammad dekat dengan jin dan ajarannya tidak benar sehingga harus ditinggalkan
Salut! dan angkat jempol kepada kepolisian yang telah menangkap kedua terduga penista agama dan perusak tatanan kerukunan beragama di Indonesia tersebut.
Meski demikian, tak salah seandai dalam benak ini masih terganjal oleh pertanyaan terkait penangkapan itu. Misalnya, kenapa rentang waktu penangkapan Waloni sangat berdekatan dengan penangkapan Kece? Apakah Polisi sengaja mencari momentum yang tepat untuk menangkap seorang Waloni?.
Pertanyaan lain, mengapa Kece yang lebih dulu ditangkap daripada Waloni? Padahal laporan terhadap Waloni oleh Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme lebih dulu dilakukan. Laporan itu tertuang dalam Laporan Polisi (LP) Nomor: LP/B/0287/IV/2021/BARESKRIM tertanggal 27 April 2021. Sedangkan laporan kepada Kece setahu saya hanya berupa kecaman dari Majelis Ulama Indonesia dan ormas Islam lainnya mulai tanggal 21 Agustus lalu.
Apakah memang benar, aparat lebih sigap meringkus terduga penghina agama Islam dibandingkan menindak penghina agama lain? Atau, jangan- jangan si Waloni tidak akan pernah ditangkap seandainya tidak ada kasus si Kece.
Pertanyaan- pertanyaan itu wajar aja ada dipikiran kita, karena memang selama ini aparat sangat gamang menindak pelaku penistaan agama minoritas di Indonesia.
Pasal penodaan agama sebenarnya berlaku untuk semua penista agama di negeri ini, tapi pada praktik penegakan hukumnya cendrung hanya dipengaruhi tekanan dan kecaman dari pengikut agama mayoritas, akibatnya pelaku penistaan terhadap agama minoritas sulit tersentuh. Meski disadari, tekanan yang didapat oleh aparat tentunya berbeda jika terkait penodaan agama Islam, sehingga laporan, tekanan dan kecamannya cepat diproses.
Terlepas dari, misalnya penangkapan ini adalah strategi polisi, yang menggunakan momentum penangkapan Kece untuk dapat mengamankan Waloni, dan terbukti saat ini berhasil meredam gejolak atau reaksi yang berlebihan dari kelompok-kelompok pendukung Waloni.
Seolah-olah Kece itu tumbal atau sebagai "kompensasi" dari penangkapan Waloni, agar terkesan di masyarakat ada keseimbangan penegakan hukum kepada penista agama Islam dan non Islam.
Seandai cara- cara absurb seperti itu benar adanya, maka sangat berat kita berharap ada keadilan di negeri ini " faith in justice restored". Untuk menangkap oknum penista agama non Islam, maka kita harus menunggu adanya penista agama Islam yang ditangkap dulu. Jangan sampai orang menjadi Kece-Kece yang lain untuk bisa menangkap Waloni-Waloni lainnya.
Maka itu, kepolisian harus mulai bertindak "firm dan educated" kepada semua warga dan terutama kepada diri mereka sendiri, bagaimana keadilan dan toleransi itu begitu mulia dan berharga dibanding apapun di negeri ini, tidaklah ada artinya mayoritas, tekanan dan kecaman publik dibandingkan menempatkan keadilan dan toleransi sebagai pondasi kita dalam bertanah air Indonesia.Bravo Keadilan dan Toleransi !
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews