Esoknya teman-teman kaget melihat saya. Tapi saya lebih kaget lagi, karena Bapak dan seorang tetangga menyusul ke sekolah.
Suatu ketika di tahun 1980 Kang Entis S Sind –kakak saya- Kang Wawan dan Deni Hendana –sepupu saya- mendaki ke Gunung Sawal. Gunung ini berada di wilayah Kabupaten Ciamis, sebelah utara Kabupaten Tasikmalaya. Areanya tersebar di kecamatan Panjalu, Cipaku, Kawali, Sadananya, Cikoneng, Sindangkasih, Cihaurbeuti, dan Panumbangan. Puncak tertinggi Gunung Sawal berada di wilayah Panjalu dengan ketinggian 1.764 meter di atas permukaan laut.
Saya kabita mendengarkan cerita pengalaman ketiga orang ini saat menjelajah Gunung Sawal. Mereka mengisahkan perjalanan menembus hutan, menyusuri sungai, dan bermalam di belantara lebat. Sesuatu yang belum pernah saya alami. Paling banter, bermalam di alam terbuka saat perkemahan Pramuka. Saya sangat ingin mencoba mendaki gunung.
Bersama Deni Hendana, saya mencari beberapa orang lagi untuk ikut dalam pendakian ke Gunung Sawal pada liburan semester pertama (kelas II) bulan Desember. Maka bergabunglah kemudian Mochammad Djohan Iqbal, Asep Trimulyana, Endang E Suherlan dan Tedy Wardana Te War. Kami berenam sepakat berangkat pada 21 Desember 1980.
Pagi hari kami berkumpul di rumah Iqbal yang tidak jauh dari Masjid Agung Tasikmalaya. Kemudian naik kendaraan umum dari Terminal Pancasila menuju Sindangkasih Ciamis. Perjalanan dilanjutkan dengan naik kendaraan angkutan pedesaan hingga di kampung yang menjadi perhentian terakhir mobil tersebut.
Perlengkapan yang dibawa alakadarnya saja, seperti peta, kompas, tenda, lampu, makanan dan alat masak. Namun pada kenyataannya, kami batal bermalam di hutan. Hingga lewat tengah hari, belum juga mendekati puncak. Kami sering berputar-putar di area yang tidak terlalu jauh. Akhirnya kami sepakat untuk turun kembali. Lalu mandi di kali dan menyantap bekal dengan lahap.
Perjalanan pertama ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya kematangan perencanaan dan keberenian. Maka kami pun berniat kembali ke gunung tersebut pada saat liburan semester berikutnya. Kawan-kawan yang berminat ikut juga bertambah. Termasuk seorang guru mata pelajaran seni ukir, Pak Wahya.
Untuk pendakian kedua ini, persiapannya boleh dibilang lebih baik. Sejak awal disepakati, targetnya harus mencapai puncak dan bermalam di tempat itu. Nama kelompok pun sudah ada: Aprak Bahaduri. Aprak, diambil dari bahasa Sunda yang berarti pergi, berjalan jauh mencari sesuatu. Istilah ngaprak atau aprak-aprakan sering dipakai para penutur bahasa Sunda. Sedangkan bahaduri diambil dari bahasa India yang artinya pemberani.
Saat liburan kenaikan kelas, kami menuju Gunung Sawal tanggal 29 Juni 1981. Rombongan aprak-aprakan itu berjumlah sembilan orang terdiri dari saya, Pak Wahya, Budhi Suhastian Budhi Planner Deni Hendana, Tedi Wardiana, Endang Suherlan, Deni Kastolani, Ahmad Tizani, Tatang Jurmarna dan Aman Suparman Kang Aman. Alhamdulillah sampai di puncak, bermalam di sana, esok paginya turun gunung lagi.
Gunung Talagabodas
Pernah ada keinginan untuk lebih serius mengelola organisasi Aprak. Beberapa kali kami melakukan pertemuan di rumah Tatang Jumarna Jln. Sukalaya Barat id belakang Pasar Baru Tasikmalaya. Kami mencoba menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Aprak. Tapi tidak kunjung tuntas. Obrolan kami sering ditemani lagu-lagu Gombloh.
Peminat aprak-aprakan bertambah lagi, ada Herdis Suharman, Rudy Suradi, Yayan Barlian Bahrum, Deni Suardini , Aris Darmansyah , Undang Budiman, Indra Budi, Budi Nugraha, Ana Suganda, Gun Gun Priasetia, dan Hendi Surahmat . Selain itu, terdapat pula kaum hawa, Ucu Rufaidah, Hani Linasari, Tita Miawati, Ida Ismawati dan Dede Rostiati.
Memang tidak pernah semua personel ini lengkap, berangkat bersama dalam satu perjalanan. Karena banyak yang punya acara keluarga masing-masing saat liburan. Kebiasaan ngaprak juga berlanjut ketika kami di SMA. Selain Sawal, beberapa gunung yang pernah kami singgahi adalah Gunung Cakrabuana, Talagabodas, Ciremai dan Papandayan.
Ada satu kisah, yang mungkin pikasebeleun bagi yang lain. Pada saat liburan, kami melakukan pendakian ke Gunung Talagabodas pada 26-27 Desember 1981. Menurut catatan kami, inilah ngaprak dengan jumlah rombongan terbanyak, pesertanya mencapai 20 orang. Secara administratif gunung ini berada di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya dengan ketinggian 2.201 meter.
Saya merasa kurang puas dengan ngaprak kali ini. Saya masih ingin berjalan lagi. Karena itu saat rombongan sedang melepas lelah di kota Garut, sambil menunggu kendaraan yang akan membawa pulang ke Tasik, saya memisahkan diri lalu menyusuri jalan besar ke arah selatan. Sebelumnya saya memberi tahu kepada seorang teman, agar rombongan maklum.
Inginnya sih saya berjalanan kaki hingga ke Tasik. Tapi di Tenjowaringin, sekitar 17 kilometer dari kota Garut, hari sudah menjelang magrib. Khawatir juga jika berjalan sendirian di malam hari. Akhirnya saya menunggu kendaraan jurusan Tasik. Baru sekitar pukul 20.00 mobil yang ditunggu datang.
Ternyata bus yang saya tumpangi hanya sampai Singaparna. Saya harus menunggu lagi angkutan menuju kota Tasik. Hampir tengah malam saya sampai di tujuan, langsung menuju sekolah. Pasti teman-teman tidur di masjid sekolah. Benar saja ada sebagian teman yang tidur di situ. Saya langsung merebahkan diri.
Esoknya teman-teman kaget melihat saya. Tapi saya lebih kaget lagi, karena Bapak dan seorang tetangga menyusul ke sekolah. Bapak khawatir, karena ada kabar yang menyebutkan saya tidak pulang bersama rombongan dan belum diketahui keberadaannya. Dalam pikiran Bapak, saya mungkin tertinggal atau hilang di Talagabodas. “Hayu pulang dulu. Bikin kaget orangtua saja,” katanya.
***
Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [14] Mengantar Pak Guru Apel
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews