Jebakan Keseragaman, Kasus Agama Tolotang

Penganut Tolotang yang kemudian woles saja beribadah dengan ritual nenek moyangnya, mereka tak begitu peduli apakah dimasukkan sebagai kelompok penganut Hindu atau agama lain.

Rabu, 27 Mei 2020 | 22:11 WIB
0
550
Jebakan Keseragaman, Kasus Agama Tolotang
Penganut kepercayaan di KTP (Foto: twitter.com)

Ada cerita yang membuat terkekeh soal keseragaman. Lokusnya di Sulawesi Selatan saat Orde Baru masih berkuasa, yang hanya ‘mengakui’ lima jenis agama yang boleh dianut oleh penduduk.

Adalah Tolotang, keyakinan asli masyarakat suku Bugis yang masih dipelihara sekitar 200an penduduk di Amparita dan BuloE, yang berdiam di sekitar danau Tempe dan Sidenreng. Sebagai keyakinan asli –bukan impor sebagaimana Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, tentu saja tradisi ritual dan teologi mereka berbeda dengan agama yang diakui pemerintah.

Namun, pemerintah sudah kadung mengambil keputusan. Bahwa hanya ada lima agama yang diakui. Tok. Selain lima agama itu, mesti tak sah sebagai warga negara. Tak boleh punya KTP.
Kebingungan kemudian melanda dua pihak. Para penduduk penganut Tolotang, dan administratur daerah yang hendak melakukan pendataan penduduk.

Oleh birokrat daerah, untuk memudahkan pendataan penduduk, dimasukkanlah para penganut Tolotang dalam kluster penganut agama Hindu. Mungkin karena dianggap punya banyak kesamaan, terutama soal persembahan makanan atau hewan saat beribadah, maka Hindu kemudian dijadikan jalan keluar.

Baca Juga: Din Syamsudin Ajak Penganut Aliran Kepercayaan Kembali ke Islam

Saat pembinaan keagamaan, sebagai salah satu program departemen agama, maka dikirimlah pemuka agama Hindu (Bali) ke Amparita dan BuloE untuk beraudiensi dengan ‘sesama’nya penganut Hindu di sana. Yang terjadi adalah kecanggungan, dan bahan tertawaan semua pihak.

Komunikasi menjadi tak nyambung, tentu saja. Penganut Tolotang tak mengenal tatacara ritual dan struktur keyakinan Hindu, demikian juga pemuka Hindu kebingungan menselaraskan pengetahuan mereka dengan kaum Tolotang. Yang terjadi kemudian hanya semacam proses Hinduisasi penganut Tolotang. Mirip dengan Islamisasi atau Kristenisasi kaum pedalaman yang tak paham nomenklatur agama asing.

Tapi karena sudah kadung harus seragam, maka ratusan penganut Tolotang kemudian “diresmikan” beragama Hindu di KTP-mereka. Pernikahan mereka pun didaftarkan sebagai pernikahan Hindu. Persoalan memang selesai di tataran birokrasi, namun menjadi bahan tertawaan dan tak efektif di lapangan.

Setiap nabi, atau kepercayaan sejatinya tak memfatwakan pemaksaan keyakinan. Jangankan soal ritual, bahkan hak untuk beragama pun diberi kebebasan. Jalan menuju Surga, menuju Tuhan itu sebanyak hembusan nafas mahlukNya.

“Tak ada paksaan dalam agama” kata AlQuran. Di Injil pun ada ayat yang menyiratkan kebebasan yang sama, 2 Korintus 9:7 “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita”

Lantas dari mana jebakan keseragaman muncul di kalangan manusia?

Riwayat kekerasan di antara pemeluk agama biasanya muncul karena adanya persekongkolan antara nafsu kekuasaan dengan para pemuka agama. Kisah para nabi dan rasul umumnya meyakinkan hal demikian. Mereka hampir semuanya berhadap-hadapan dengan dua sekongkol ini, penguasa tiran dan pemuka agama yang arogan.

Islam menyebutkan bahwa ada 124 ribu nabi dan rasul yang pernah diutus ke dunia. Kristen mungkin punya jumlah nabi yang lebih banyak. Hindu dan Buddha pun demikian, memiliki daftar orang suci yang segitu banyaknya.

Tak semua Nabi, Rasul dan Orang suci itu berbahasa praktis yang sama, atau membawa kitab yang sama persis. Syariat dan ide soal ketuhanan memang sama, tapi penyampaian hingga ritual bisa berbeda-beda.

Kebanyakan dari persoalan pelik umat ini, yang kemudian menjadi akar pertengkaran, adalah soal pemaksaaan penyeragaman ritual yang sifatnya sangat teknis belaka. Juga tak begitu penting.

Perkara bersedekap, qunut, menyelenggarakan jumatan, mengucapkan selamat natal, symbol tuhan berpatung atau hanya salib dan sebagainya, menyebabkan perselisihan yang tak berujung pangkal. Perselisihan yang bermula dari jebakan keseragaman.

Siapa yang memaksakan keseragaman? Tidak lain dari para penguasa tiran dan pemuka agama yang arogan. Padahal, umat nya sendiri tentu lebih woles ke soal-soal teknis belaka itu.

Umat lebih bahagia memikirkan bagaimana bercocok tanam, membina keluarga, daripada soal simbol dan semacamnya untuk wujud transenden yang tak semua manusia bisa memahami secara sempurna.

Seperti penganut Tolotang yang kemudian woles saja beribadah dengan ritual nenek moyangnya, mereka tak begitu peduli apakah dimasukkan sebagai kelompok penganut Hindu atau agama lain. Asalkan hak mereka dihargai dan pemerintah mengakui mereka sebagai warga yang dilindungi, tentu hal lain menjadi tak masalah.

***