Logika saja tidak akan bisa membuat manusia berhenti bertuhan. Mirip dengan manusia modern yang masih terus makan banyak karbohidrat, padahal mereka sudah jarang bergerak.
Sebuah kebetulan yang baik memudahkan saya menulis bagian penutup seri tulisan tentang keberadaan Tuhan ini. Admin grup dialog Katholik-Islam, entah siapa namanya dan apa agamanya, membuat tulisan panjang untuk meluruskan 2 tulisan saya yang pertama. Ia mengatakan saya keliru, dan seterusnya.
Kekeliruan saya, menurut dia, karena saya mengabaikan hal-hal yang abstrak, yang tidak bisa diukur dengan sains apapun. Maksud dia memang ada hal-hal abstrak yang memang tidak akan pernah bisa dideteksi dengan metode sains. Ia kemudian membahas agak detil soal cinta, yang sempat saya singgung di tulisan pertama.
Pada titik ini, dia dan saya sepakat, bahwa Tuhan memang tidak wujud dalam realitas fisik. Itu sebuah kesepakatan penting.
Lalu kita bisa bahas soal subjek non fisik. Misalnya cinta. Adakah cinta? Apa itu cinta? Kalau kita tanya pada manusia soal apa itu cinta, kita mungkin akan menemukan lebih dari 5.000 definisi cinta. Persis sama dengan adanya lebih dari 5.000 Tuhan yang disembah manusia.
Ringkas kata, manusia tidak akan pernah bisa sepakat soal apa itu cinta. Ini sama dengan hal-hal lain, seperti tanggung jawab, keadilan, dan sebagainya.
Di mana semua itu berasal?
Dalam kesadaran manusia. Ilmuwan masih belum bersepakat bulat soal kesadaran manusia. Sebagian besar ilmuwan menyimpulkan bahwa kesadaran manusia hanya dari dalam tubuhnya saja, khususnya di otak. Tapi ada sebagian kecil yang membuka peluang adanya keterkaitan antara kesadaran manusia dengan alam semesta, meski bukti-bukti ilmiahnya masih sangat minim.
Tuhan wujud, hadir, exist dalam kesadaran manusia (baca: homo sapiens) sejak manusia mengalami revolusi kognitif. Kesadaran itu terus berkembang seiring berkembangnya pengetahuan manusia. Tuhan mula-mula adalah sosok-sosok penunggu pohon besar, batu besar, gunung, dan sungai.
Baca Juga: Keberadaan Tuhan [1] Definisi Keberadaan
Ketika manusia mulai mengamati langit, Tuhan adalah dewa-dewa yang bersemayam di langit. Lalu Tuhan menjadi semakin besar dan abstrak. Ketika manusia mulai menyadari luasnya bumi, mereka menggambarkan Tuhan sebagai sesuatu yang maha besar, maha hebat, yang sanggup menciptakan segala yang hebat-hebat.
Sains secara perlahan menjelaskan hal-hal yang dulu dianggap sebagai tanda Tuhan. Batu besar yang dulu diyakini ditunggui oleh Tuhan, ternyata kini bisa dipecahkan dengan mudah. Penyakit yang dulu dianggap sebagai wujud murka Tuhan kini bisa disembuhkan. Gunung meletus atau gempa yang dulu diduga sebagai wujud murka Tuhan, kini sudah diketahui mekanismenya.
Banyak orang lalu menganggap Tuhan itu hanya dongeng saja. Tapi tidak semua. Sangat sulit menghilangkan Tuhan dari kesadaran manusia. Kesadaran manusia tentang Tuhan terbentuk di bagian yang sangat fundamental, boleh jadi sifatnya genetik. Selama tidak ada perubahan gen, mungkin manusia tidak akan berhenti bertuhan.
Logika saja tidak akan bisa membuat manusia berhenti bertuhan. Mirip dengan manusia modern yang masih terus makan banyak karbohidrat, padahal mereka sudah jarang bergerak. Itu dorongan yang terinstal dalam otak manusia.
***
Tulisan sebelumnya: Keberadaan Tuhan [4] Keterbatasan Akal
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews