Sayat Kata

Kata-kata tak bisa lagi jadi mula hayat. Hidup sehat mengajak kita berangkat dari peristiwa. Peristiwa yang menyatukan asam di gunung dan garam di laut dalam belanga olah rasa.

Jumat, 6 Maret 2020 | 07:20 WIB
0
330
Sayat Kata
Kata-kata (Foto: Harvard University)

Saudaraku, kata-kata lebih sering tak memberi kata putus. Sebilah pisau kata menyayat kulit perasaan, mengeluarkan rembesan darah tak kenal reda. Nyeri lukanya menembus jantung hati, menuntut balas tikaman setimpal; iris-mengiris tiada henti.

Milyaran belati kata kita tusukkan setiap hari, sejak bangun hingga peraduan; merayakan pesta darah perasaan secara kolosal, mentasbihkan pengguna media sosial terbesar ketiga sejagat.

Dalam pesta mabuk darah ini, orang-orang saling terhubung bukan untuk mendekat tapi menjauh; bukan konvergensi tapi divergensi; bukan konsientisasi tapi alienasi, bukan berbagi tapi negasi; bukan mengasihi tapi membenci.

Yang menuntut keadilan mendorong kezaliman; yang mencegah kemunkaran menebar kebencian; yang menyeru persatuan menciptakan persatean; yang mengatasnamakan agama mengabaikan akhlak mulia; yang menuntun jalan menuju mata air justru orang tak tahu, dan tak tahu bahwa dirinya tak tahu.

Tiada hari tanpa perang. Peperangan yang tak dapat dimenangkan. Setiap pihak berjuang jadi juara, tanpa menyadari semuanya jadi pecundang. Menang jadi arang, kalah jadi abu.

Setiap hari, dalam rawa kata-kata, semua kita berkoak hoax untuk sama-sama terperosok ke dalam lumpur. Setiap hari, dalam samudera kata-kata, kita bergibah fitnah untuk sama-sama tenggelam ke dasar laut.

Kata-kata tak bisa lagi jadi mula hayat. Hidup sehat mengajak kita berangkat dari peristiwa. Peristiwa yang menyatukan asam di gunung dan garam di laut dalam belanga olah rasa. Seperti nenek-moyang kita yang mengutamakan laku di atas kata.

(Makrifat Pagi, Yudi Latif)