Ada yang menilai, orang-orang semacam itu sebetulnya tidak percaya pada dirinya sendiri. Mereka butuh perhatian dan pengakuan dari orang lain bahwa dirinya hebat atau pintar.
Si bungsu, Mikail Sava Mukti, biasanya akan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya sebagai bentuk teguran terhadap saya atau kedua kakaknya bila ikut nimbrung bicara. Padahal dia sedang menunggu jawaban atau penjelasan dari bundanya. Sikap serupa juga dilakukan terhadap teman-teman sepermainannya.
Menurut dia nimbrung pembicaraan orang lain, atau memotong pembicaraan orang lain adalah tidak sopan. Sebaliknya Mikail akan mengacungkan tangan bila akan ikut berpendapat, “aku tahu” atau “aku boleh ngomong dong”.
Mikail bersikap seperti itu selang beberapa bulan aktif di sebuah taman bermain yang diasuh Mrs Rosie. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumah kami di Beji, Depok. Setiap Senin, Rabu, dan Jumat dia bermain bersama 9 temannya di sana.
Kami tentu berharap Mikail akan terus tumbuh menjadi pribadi yang teguh dengan nilai-nilai semacam itu. Dia tahu kapan berani berbicara dan kapan saatnya bersedia mendengar omongan orang lain. Entah apapun profesinya dia kelak.
Saya tidak tahu apakah Arteria Dahlan sempat masuk Playgroup atau Taman Kanak-kanak semasa kecilnya. Atau mendapatkan pendidikan budi pekerti dari orang tua dan orang-orang terdekatnya.
Tapi yang pasti, sejak Rabu (9/10/2019) malam, dia menuai hujatan dari netizen setelah sikap, tindakan, dan ucapannya saat berdebat dengan Prof Emil Salim dalam acara Mata Najwa dinilai sangat tidak patut.
Saya termasuk yang tidak sependapat dengan para netizen itu. Sebab sikap seperti Arteria, seharusnya tak hanya terhadap Emil Salim tapi kepada siapa pun yang menjadi lawan diskusi atau debat.
Sikap tidak menghargai lawan bicara dengan kerap memotong, mengatai, menuding-nuding lawan bicara yang tidak sependapat dengannya juga diperlihatkan politisi PDIP itu saat tampil acara ILC TV One beberapa pekan sebelumnya. Selain mengganggu Prof Zainal Arifin Mochtar dari UGM tanpa rasa malu dan merasa bersalah, dia malah meminta agar mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki untuk mencabut pernyataan.
“Yah, nu kolot, nu cageur, nu waras mah ngelehan we lah (yang tua, yang sehat pikir dan rasa mengalah saja). Buat apa meladeni. Biar saja, pemirsa juga pasti bisa menilai mana yang patut dan tidak,” kata Ruki menjawab penulis sehari setelah acara ILC.
Baca Juga: Siapa Bilang Arteria Dahlan Tidak Beradab?
Selain Arteria, Fadli Zon dan Priyo Budi Santoso atau pengacara Hotman Paris Hutapea juga kerap bersikap seperti itu. Ada yang menilai, orang-orang semacam itu sebetulnya tidak percaya pada dirinya sendiri. Dia butuh perhatian dan pengakuan dari orang lain bahwa dirinya hebat atau pintar. Mereka tidak percaya bahwa para pemirsa yang mengikuti diskusi atau debat punya daya analisa dan penilaian sendiri tentang mana yang baik dan benar atau sebaliknya.
Pendapat lain diungkapkan seorang tukang sekoteng yang melayani kami di pos ronda tadi malam. Kata si Abang, orang macam Arteria itu ada kemungkinan sebetulnya sangat pendiam dan penurut bila sedang di rumah. Khususnya bila ada sang istri alias takut istri. “Atau bisa jadi karena dia letoy di tempat tidur jadi garang di luaran,” ujarnya.
Sebagian bapak-bapak yang tengah bermain catur dan gaple tertawa mendengar analisis gak nyambung semacam itu. “Hati-hati bicara, bang. Dia anggota Dewan yang terhormat lo,” saya menegur. “Lah, masak analisis tukang sekoteng dipercaya, mas,” kilahnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews