Selain sertifikat, saya mendapat laptop Lenovo. Di pasaran harganya ketika itu RP 7,5 juta. Tapi setiba di kantor, Pru Purwanto membayar tunai Rp 5 juta.
Perkara dimarahi, dimusuhi, atau dihormati narasumber, sepertinya banyak wartawan pernah mengalami. Selain Laode M Kamaluddin terkait artikel “WC”, Kepala BNP2TKI M. Jumhur Hidayat juga pernah mendamprat saya.
Itu terkait tiga seri laporan soal ratusan calon TKI ke Korea yang terlantar akibat ulah broker. Nilai kerugian sedikitnya Rp2,2 miliar. Kasus ini melibatkan anggota DPR, dan seorang petinggi Kosgoro.
Info soal ini bermula dari aksi demo para korban di Departemen Tenaga Kerja. Dari situ mereka melapor ke Mabes Polri. Dari Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja Abdul Malik Harahap saya juga mendapatkan info lain.
Ternyata karut marut soal penipuan calon TKI ini merembet ke hal lain, tapi masih terkait BNP2TKI dan Jumhur. Ada keluhan dari sejumlah pengusaha angkutan (antar-jemput TKI dari Bandara Soekarno – Hatta ke daerah asal). Mereka dikutip sejumlah biaya untuk mengurus izin.
Juga ada sejumlah pungli terhadap TKI yang singgah di penampungan sebelum pulang ke kampung masing-masing. Patut diduga itu semua melibatkan para staf khusus Jumhur. Untuk menghimpun semua info berikut konfirmasinya saya dibantu rekan Sorta Tobing dan Ayu Cipta. Hingga dua pekan, tulisan tak kunjung bisa naik.
Direktur Utama Kosindo Zeid Arifin belum dapat konfirmasi. Didatangi ke Kosgoro maupun kantornya di kawasan Perdatam, Kalibata, nihil. Begitu juga dengan Jumhur. Padahal Setri Yasra sudah bolak-balik menanyakan kesiapan artikel tersebut untuk naik cetak.
Zeid akhirnya menghubungi via telepon setelah saya menemui Ketua Umum Kosgoro Effendi Jusuf. Beberapa hari kemudian, saya dan Sorta berhasil mewawancarai Jumhur di dalam mobil dinasnya. Malam itu dia baru menghadiri sebuah acara di Kemayoran, dan akan lanjut terbang ke suatu daerah. Dia menjelaskan panjang lebar semua kebijakannya. Juga soal kemungkinan para stafnya terlibat. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Jumhur masih minta ditemani makan sop buntut.
Ketika artikel mulai terbit, pekan pertama April 2009, Jumhur mengontak. Dia menilai tulisan kami berat sebelah. Menghakimi dan menyudutkan. Padahal dia merasa sudah bersikap baik, memberikan waktu wawancara. Karena serial tulisan itu, dia menyatakan tak akan mau meladeni pertanyaan saya. “Kapok gue. Lu gak asyik.”
Selang beberapa hari kemudian giliran Zeid muncul di Kantor Velbak. Dia diterima Metta Dharmasaputra dan Setri Yasra. Saya mendapat penjelasan bahwa Zeid antara lain menuding saya rasis karena memberi identitas dengan anak kalimat, “pria keturunan Arab bermarga Alatas”.
Tak seperti Laode yang lama memendam dendam, sesekali Jumhur masih merespons bila diajak komunikasi.Awal Desember 2009, saya mendapat undangan dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) untuk menghadiri acara Hari Buruh. Rupanya tulisan saya dan tim, menjadi salah satu yang mendapat penghargaan.
Selain sertifikat, saya mendapat laptop Lenovo. Di pasaran harganya ketika itu RP 7,5 juta. Tapi setiba di kantor, Pru Purwanto membayar tunai Rp 5 juta. Lumayan buat beli keramik lantai rumah yang tengah direnovasi.
Di sertifikat tertera tanda tangan Ketua Umum AJI Nezar Patria, Erwin Schweisshelm dari Friedrich Ebert Stiftung Indonesia . Ketua Panitia Acara, Jajang Jamaludin / Abdul Manan (?), dan pembawa acara Kurie Suditomo. Semua orang Tempo….
(Selesai)
***
Tulisan sebelumnya: Tempo 50 Tahun [5] Superiman Meluncur dari WC
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews