Sketsa Harian [56] Takdir Sebuah Tulisan

Menulis menjadi proses yang menyenangkan, setiap komentar adalah suplemen gizi tambahan untuk terus menulis sampai titik jenuh yang penghabisan, yang membuat adrenalin bergelegak.

Jumat, 6 Maret 2020 | 19:46 WIB
0
554
Sketsa Harian [56] Takdir Sebuah Tulisan
Alena (Foto: dok. pribadi)

"Biarkan tulisan menemukan takdirnya sendiri," kira-kira begitulah Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, sesuatu yang masih saya yakini kebenarannya hingga kini.

Pernyataan Pram mengandung makna yang dalam bahwa menulis adalah sebuah proses tanpa henti. Penulis yang keren tidak berhenti menulis hanya karena satu tulisan telah selesai ditulisnya. Di depannya, ide lain menanti untuk ditulis, ditulis dan ditulis, begitu seterusnya.

Cara membuat tulisan, termasuk novel di dalamnya, sudah tak terhitung banyaknya. Ada penulis yang memerlukan waktu khusus untuk menulis sebuah novel, menyewa "cottage" yang sunyi di pegunungan atau pulau terpencil, ada yang melakukan riset berbulan-bulan kemudian menulisnya dengan waktu khusus.

Pun saya punya cara sendiri menyelesaikan sebuah novel. Dulu, kala saya masih menulis cerita bersambung (baca: novel) di Majalah "Hai", saya menulisnya seusai ngantor dengan menggunakan mesin tik "Brother". Baru membeli komputer jangkrik dari honor satu cerita bersambung.

Berisik sekali suara mesin tik, tetapi di sana ada nada yang sangat indah ketika bunyi-bunyi kepala huruf terbuat dari logam membentur permukaan kertas yang telah diberi bantalan pita hitam saat tuts ditekan menggunakan kekuatan jari-jemari.

Lalu di atas kertas putih muncul rangkaian huruf membentuk kata, kata membentuk kalimat, kalimat membentuk paragraf, paragraf membentuk bab, bab membentuk bagian dan seterusnya. Jadilah sebuah cerita bersambung yang bisa mencapai 20 sampai 30 bagian yang jika disatukan akan menjadi sebuah novel.

Hasil dari sebuah eksperimen dalam proses menulis -biar tidak jenuh dan putus asa- saya menemukan cara menulis novel yang saya sebut sebagai "story on the go" atau "story in the making". "On the go" sejatinya "en passant" dalam bahasa Perancis yang berarti (dilakukan) sambil lalu.

Setiap hari saya dedikasikan untuk menulis satu bagian tanpa putus. Jika apa yang saya tulis sebanyak 53 bagian, maka saya menyelesaikan sebuah novel dalam waktu kurang dari dua bulan.

Terlalu lama atau buang-buang waktu? Boleh jadi, sebab bagi yang optimis, novel yang akhirnya menjadi draft buku setebal 219 halaman tanpa spasi itu bisa saja terselesaikan dalam waktu satu bulan atau bahkan mungkin cuma dua minggu. Itu benar, tetapi bukankah perlu waktu khusus untuk mengerjakannya? Sementara apa yang saya lakukan adalah "sambil lalu" begitu saja, yang penting setiap hari harus menulis satu bagian. Di situ seni sekaligus tantangannya!

Pertanyaannya, mana cara yang lebih mudah dilakukan?

Jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, karena saya sudah melakukan sebuah eksperimen kecil-kecilan, maka jawaban saya jelas; menulis novel dengan cara "story on the go" (en passant) atau "story in the making", suatu cara menulis novel yang jauh lebih menyenangkan, bisa interaktif dengan pembaca karena ditayangkan di media sosial. Dengan demikian, feedback (umpan balik) saya dapatkan secara instant alias langsung.

Ajaibnya, bahkan pembaca dapat memberi masukan sekaligus menjadi editor karena dengan sukarela menyampaikan koreksi. Bukan sekadar mengoreksi teks, tetapi juga meluruskan logika yang mungkin masih bengkok-bengkok akibat anakronisme (ketidaksesuaian tempat dan waktu kejadian). Maklum menulisnya harian.

Dengan demikian, menulis menjadi proses yang menyenangkan, setiap komentar atau feedback adalah suplemen gizi tambahan untuk terus menulis sampai titik jenuh yang penghabisan, yang membuat adrenalin terus bergelegak.

Beberapa waktu lalu saya menyelesaikan sebuah novel dari hasil eksperimen ini, novel yang saya beri judul "Alena".

Ada seseorang dari penerbit major yang ingin mempertimbangkan penerbitan novel ini menjadi sebuah buku, sebut saja orang itu Ariobimo. Saya tidak segera mengiyakan karena saya perlu waktu untuk sinkronisasi antarbagian, menyelaraskan satu bagian dengan bagian lainnya, sebelum draft buku saya print, yang ternyata memerlukan waktu juga.

Sebenarnya bisa saja saya menyerahkan "soft copy"-nya, tetapi sebagai orang yang datang dari generasi "kolonial", lebih afdol kiranya kalau saya mencetaknya di atas kertas. Sore ini saya sudah mem-"print out"-nya untuk saya serahkan draft-nya langsung kepada penerbit besok.

Tulisan ini sekaligus permohonan maaf kepada pembaca "Anita", cerita lain yang saya tulis dengan gaya serupa, yang tersendat pada bagian 9. Bukan apa-apa, melakukan sinkronisasi "Alena" ini juga ternyata memerlukan waktu, sehingga "Anita"-nya menjadi terabaikan. Ah, itu cuma alasan, apologia saja hahaha...

Namun, saya berjanji akan tetap meneruskan "Anita" yang tertunda sampai titik jenuh yang penghabisan.

Salam....

***

Tulisan sebelumnya:  Sketsa Harian [55] "Indonesian Completly Random Chess"