Menulis menjadi proses yang menyenangkan, setiap komentar adalah suplemen gizi tambahan untuk terus menulis sampai titik jenuh yang penghabisan, yang membuat adrenalin bergelegak.
"Biarkan tulisan menemukan takdirnya sendiri," kira-kira begitulah Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, sesuatu yang masih saya yakini kebenarannya hingga kini.
Pernyataan Pram mengandung makna yang dalam bahwa menulis adalah sebuah proses tanpa henti. Penulis yang keren tidak berhenti menulis hanya karena satu tulisan telah selesai ditulisnya. Di depannya, ide lain menanti untuk ditulis, ditulis dan ditulis, begitu seterusnya.
Cara membuat tulisan, termasuk novel di dalamnya, sudah tak terhitung banyaknya. Ada penulis yang memerlukan waktu khusus untuk menulis sebuah novel, menyewa "cottage" yang sunyi di pegunungan atau pulau terpencil, ada yang melakukan riset berbulan-bulan kemudian menulisnya dengan waktu khusus.
Pun saya punya cara sendiri menyelesaikan sebuah novel. Dulu, kala saya masih menulis cerita bersambung (baca: novel) di Majalah "Hai", saya menulisnya seusai ngantor dengan menggunakan mesin tik "Brother". Baru membeli komputer jangkrik dari honor satu cerita bersambung.
Berisik sekali suara mesin tik, tetapi di sana ada nada yang sangat indah ketika bunyi-bunyi kepala huruf terbuat dari logam membentur permukaan kertas yang telah diberi bantalan pita hitam saat tuts ditekan menggunakan kekuatan jari-jemari.
Lalu di atas kertas putih muncul rangkaian huruf membentuk kata, kata membentuk kalimat, kalimat membentuk paragraf, paragraf membentuk bab, bab membentuk bagian dan seterusnya. Jadilah sebuah cerita bersambung yang bisa mencapai 20 sampai 30 bagian yang jika disatukan akan menjadi sebuah novel.
Hasil dari sebuah eksperimen dalam proses menulis -biar tidak jenuh dan putus asa- saya menemukan cara menulis novel yang saya sebut sebagai "story on the go" atau "story in the making". "On the go" sejatinya "en passant" dalam bahasa Perancis yang berarti (dilakukan) sambil lalu.
Setiap hari saya dedikasikan untuk menulis satu bagian tanpa putus. Jika apa yang saya tulis sebanyak 53 bagian, maka saya menyelesaikan sebuah novel dalam waktu kurang dari dua bulan.
Terlalu lama atau buang-buang waktu? Boleh jadi, sebab bagi yang optimis, novel yang akhirnya menjadi draft buku setebal 219 halaman tanpa spasi itu bisa saja terselesaikan dalam waktu satu bulan atau bahkan mungkin cuma dua minggu. Itu benar, tetapi bukankah perlu waktu khusus untuk mengerjakannya? Sementara apa yang saya lakukan adalah "sambil lalu" begitu saja, yang penting setiap hari harus menulis satu bagian. Di situ seni sekaligus tantangannya!
Pertanyaannya, mana cara yang lebih mudah dilakukan?
Jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, karena saya sudah melakukan sebuah eksperimen kecil-kecilan, maka jawaban saya jelas; menulis novel dengan cara "story on the go" (en passant) atau "story in the making", suatu cara menulis novel yang jauh lebih menyenangkan, bisa interaktif dengan pembaca karena ditayangkan di media sosial. Dengan demikian, feedback (umpan balik) saya dapatkan secara instant alias langsung.
Ajaibnya, bahkan pembaca dapat memberi masukan sekaligus menjadi editor karena dengan sukarela menyampaikan koreksi. Bukan sekadar mengoreksi teks, tetapi juga meluruskan logika yang mungkin masih bengkok-bengkok akibat anakronisme (ketidaksesuaian tempat dan waktu kejadian). Maklum menulisnya harian.
Dengan demikian, menulis menjadi proses yang menyenangkan, setiap komentar atau feedback adalah suplemen gizi tambahan untuk terus menulis sampai titik jenuh yang penghabisan, yang membuat adrenalin terus bergelegak.
Beberapa waktu lalu saya menyelesaikan sebuah novel dari hasil eksperimen ini, novel yang saya beri judul "Alena".
Ada seseorang dari penerbit major yang ingin mempertimbangkan penerbitan novel ini menjadi sebuah buku, sebut saja orang itu Ariobimo. Saya tidak segera mengiyakan karena saya perlu waktu untuk sinkronisasi antarbagian, menyelaraskan satu bagian dengan bagian lainnya, sebelum draft buku saya print, yang ternyata memerlukan waktu juga.
Sebenarnya bisa saja saya menyerahkan "soft copy"-nya, tetapi sebagai orang yang datang dari generasi "kolonial", lebih afdol kiranya kalau saya mencetaknya di atas kertas. Sore ini saya sudah mem-"print out"-nya untuk saya serahkan draft-nya langsung kepada penerbit besok.
Tulisan ini sekaligus permohonan maaf kepada pembaca "Anita", cerita lain yang saya tulis dengan gaya serupa, yang tersendat pada bagian 9. Bukan apa-apa, melakukan sinkronisasi "Alena" ini juga ternyata memerlukan waktu, sehingga "Anita"-nya menjadi terabaikan. Ah, itu cuma alasan, apologia saja hahaha...
Namun, saya berjanji akan tetap meneruskan "Anita" yang tertunda sampai titik jenuh yang penghabisan.
Salam....
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [55] "Indonesian Completly Random Chess"
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews