TVRI Jadul [6] Penyiar, Hanya Kepopuleran yang Diperoleh

Dari pembicaraan dengan beberapa penyiar TVRI Jakarta, ternyata memang hanya kepopuleran itulah yang mereka peroleh, secara materiil, tidak berarti.

Jumat, 26 Juli 2019 | 07:56 WIB
0
1959
TVRI Jadul [6] Penyiar, Hanya Kepopuleran yang Diperoleh
Penyiar televisi Toety Adhitama (Foto: Mimbar Rakyat)

Begitu selesai menutup acara pameran pembangunan di Pasarminggu, Sutedjo menjadi pusat perhatian orang. Berpuluh anggota pramuka mendatanginya sambil mengacungkan notes minta tandatangan. Menteri Penerangan Ali murtopo berikut para dirjennya tidak lagi digubris. Padahal seharusnya para pramuka ini memagari tempat pameran. Ini merupakan risiko orang yang dianggap terkenal.

Sutedjo adalah salah seorang penyiar TVRI Jakarta yang sering muncul di layar televisi dengan senyum dan kumisnya yang khas itu.

Kepopuleran ini memang mengasyikkan, tetapi sering kali menghasilkan penilaian yang salah. Sazli Rais misalnya, suatu ketika mengejutkan seorang penjaja koran di Jalan Gatot Subroto, karena ia hanya mengendarai sepeda motor.

“Ini kan yang suka nyiarin di televisi, kok ngga pakai mobil,” kata anak itu yang membuat Zais Rais tersenyum kecut dan bergumam dalam hati: motor ini pun belum selesai diangsur!

Sering kali orang lupa bahwa penyiar yang sering tampildi televisi untuk membaca berita, bercanda dengan artis atau pejabat tinggi, adalah manusia biasa dengan persoalan-persoalan manusiawi sebagaimana dialami orang lain.

“Jas dan dasi ini seolah menjamin keadaan materi yang mantap. Padahal begitu selesai siaran, masuk bagasi motor,” tambahnya. Malam itu Zais Rais baru saja selesai menjalankan tugas. Jas dan dasi telah dilepas, ia memakai kaos kuning terbungkus jaket jean kumal.

Dari pembicaraan dengan beberapa penyiar TVRI Jakarta, ternyata memang hanya kepopuleran itulah yang mereka peroleh, secara materiil, tidak berarti.

Alex Leo selaku kepala studio TVRI Jakarta sendiri mengakui, bahwa honor sekitar Rp40 ribu sebulan merupakan imbalan yang jauh daripada memadai bagi para penyiar itu. Juga uang tambahan untuk membeli alat-alat kecantikan atau pakaian setahun dua kali.

“Untuk pakain itu yang paling banyak ,” kata Anita Rachman. Ia tidak bisa menghitung laba-ruginya secara materiil. Yang pasti, setiap pakaian tak mungkin digunakan di depan kamera televisi sampai lebih dua kali.

Jangankan penyiar yang ditonton masyarakat banyak, wanita biasa pun mungkin banyak yang berprinsip sama dalam hal pakaian ini. Selain pakaian tentu saja masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi seorang penyiar wanita: alat kecantkan, biaya ke salon, sepatu dan sebagainya.

“Saya mempunyai kebiasaan mencuci rambut sebelum membaca berita,” kata Rini Sutomo. Soalnya menurut Rini, ia tidak suka mengeset rambut ke salon. Padahal kalau rambut tidak dicuci, ia kawatir ada lalat terbang mengelilinginya. Ini akan membuat ia tergoda untuk mengibasnya. Membaca berita sambil mengibas lalat ‘kan lucu ?!

Istilah “ penyiar “ di negara kita digunakan terlalu luas. Seolah semua orang yang muncul di televisi untuk membacakan suatu acara, bisa di sebut “ penyiar “begitu saja. Menurut Anita, sebutan penyiar seharusnya dibagi atas beberapa kelompok: studio-announcer tugasnya membuka siaran, Master of ceremony untuk tugas-tugas yang berbau  ceremonial,  Compere  biasanya untuk pembaca acara musik; Quiz Master seperti Krisbiantoro ; News Reader yang membaca berita; Comentator untuk pengulas berita dan sebagainya.

Tetapi TVRI Jakarta sampai kini hanya rnembagi penyiarnya menjadi dua kelompok: penyiar berita dan penyiar studio. Dua kelompok ini benar-benar terpisah. Penyiar berita berinduk pada Sub-Direktorat Pemberitaan TVRl, sedangkan penyiar studio pada Stasiun TVRI Pusat Ja­karta. Tugasnya jelas terpisah : yang satu hanya membawakan berita/laporan, sedangkan satunya lagi membawakan acara-acara selain berita.

Pembagian kerja ini lebih diperketat dengan aturan-aturan. Antara lain, seorang pembawa berita tidak diperkenankan membawakan acara, baik di stu­dio maupun di luar studio. Hanya saja mereka boleh bekerja rangkap, tidak hanya di TVRI Jakarta saja. Sedangkan penyiar acara atau biasa disebut penyiar studio, boleh menjadi pembawa acara dl luar TVrRI Ja­karta, tetapi dilarang bekerja rangkap secara tetap.

Ketentuan tersebut tentu saja ada alasannya : seorang penyiar berita harus dapat menjaga kewibawaan atau keseriusannya dalam bekerja. Karena honor di TVRI kecil, maka mereka diperkenankan bekerja rangkap. Tuty Adhitama misalnya siang hari ia bekerja di PT Inscore; Rini Sutomo di sebuah biro perjalanan, sedangkan para penyiar prianya kebanyakan dari RRI Studio Jakarta. Dari sebelas penyiar berita, hanya Rusdi Saleh dan Edwin Saleh yang bekerja tetap untuk TVRI.

Sementara itu bagi para penyiar studio dianggap terlalu riskan  jika diperkenankan bekerja buat siang dan malam hari. Lagi pula, secara materiil mereka bisa terpenuhi dengan bekerja sebagai MC dalam resepsi-resepsi. Mereka kini sembilan orang,  tujuh di antaranya wanita.

"Idealnya, seorang penyiar se­lain bersuara bagus dan mampu mengucapkan bahasa, juga harus cantik, Tetapi untuk memperoleh orang yang cantik, bersuara bagus, pandai dan mau digaji sedikit  -  itu susah!" komentar Alex Leo. Ini terbukti ketika baru-baru ini TVRI  menerirna seorang calon penyiar berita yang dianggap memenuhi syarat. Begitu membaca peraturan yang melarangnya mengerjakan tugas membawa acara, ia pun mundur.

“Soalnya, dari membaca teks iklan saja, sebulan ia bisa mendapatkan Rp 200.000," kata Drs. Ishadi dari Sub Direktorat Pemberitaan.

Selama ini TVRI Jakarta mempekerjakan para penyiar dengan sistem kontrak yang setiap tahun diperbaharui. Pada setiap pembaharuan kontrak, pihak TVRI menilai apakah usia penyiar itu masih cukup muda, sehingga masih bisa dinikmati wajahnya oleh para pirsawan. Selain itu juga rnutunya, menurun ataukah tidak. Jika kedua syarat tersebut sudah tidak dipenuhi lagi, mereka pun berpisah dengan TVRI.

**

Profesi lain di TVRI yang berhubungan erat dengan penyiar ialah juru rias. Setiap pengisi acara, baik penyiar, penari, penyanyi maupun para pejabat termasuk Presiden Soeharto, sebelum tampiI di depan kamera harus dirias terlebih dahulu. Ini untuk mencegah jangan sampai mereka yang tampil di televisi itu belepotan. Soalnya wajah yang disorot kamera televisi bisa saja jadi lain dari bentuk aslinya. Un­tuk itu para juru rias membuat pulasan-pulasan, sehingga yang bersangkutan jadi lebih nampak indah di Iayar televisi.

Namun demikian masih banyak saja pengisi acara yang ti­dak mempercayai keahlian para juru-rias. Seorang ibu pernah menolak tegas juru-rias yang akan “ menggarap “ anaknya. Soalnya anak tersebut sudah dirias dengan tebal dan “meyakinkan” ( menurut penilaian ibunya ) dari rumah. Tentu saja begitu munjul di layar televisi, jadi jelek bukan main.

"Paling kesal sama pemain-pemain muda. Mereka banyak yang tidak mau dibenahi. Padahal kalau mereka tampak jelek di layar, kami yang dimarahin," keluh Josfien, seorang juru-rias yang sudah bekerja beberapa tahun di TVRI Senayan. Para juru-rias yang umumnya lulusan SLA plus ijasah kecantikan ini, rata-rata mendapat gaji sekitar Rp 25.000 plus uang makan. TVRI Jakarta kini memiliki 8 juru-rias yang bekerja siang dan malam bergiliran.

"Juru-rias kami berbeda dengan juru-rias di kap salon. Mereka harus dapat membedakan dan mengerjakan make-up cantik, watak dan tulus," kata Empu Djiwono yang mengepalai bagian Falisitas Siaran, tempat para juru-rias itu bernaung. Make-up cantik, artinya make up atau riasan untuk mempercantik yang bersangkutan.

Rias-watak di kenakan pada para pe­main sandiwara untuk menyesuaikan dengan watak tokoh yang diperankannya. Sedangkan rias-tulus dimaksud untuk tidak mengubah bentuk aslinya, tetapi hanya mengusahakan agar yang bersangkutan tidak berkilat di layar terevisi.

 Kompas, 11 Agustus 1980

***

Tulisan sebelumnya: TVRI Jadul [5] Film Seri, Mengapa Harus Diulang?