TOA, Intimidasi dan Intimitasi

Soal kurang dari 100 desibel itu akan berhadapan dengan kejumawaan, ketersinggungan kaum majoritas, identitas, belum pula harkat, martabat.

Selasa, 1 Maret 2022 | 08:18 WIB
0
256
TOA, Intimidasi dan Intimitasi
Toa (Foto: viva.co.id)

Pada jaman dulu kala, sebelum kemerdekaan dari Orba, di kawasan perumahan Slipi, Jakarta. Pada sederet jalan Anggrek Cendrawasih, dalam jarak 500 meter, ada 3 masjid, 1 gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Tiap minggu, sepanjang jalan itu penuh di kiri-kanan jalan rapat berbaris mobil diparkir. Itu kendaraan jemaat peserta kebaktian HKBP.

Meski tidak dengan TOA, suara speaker dalam gereja terdengar hingga ke kamar kos saya, yang jika saya keluar pagar, terhalang deretan mobil parkir. Selama tinggal di situ, sejak awal tahun 90-an, saya alami pemandangan sama bertahun-tahun. 

Menjelang Soeharto longsor, beberapa tahun saya balik ke Yogya, untuk kemudian saya balik ke Jakarta lagi. Saya kos di rumah yang sama, rumah Eyang Dar, yang bersebelahan rumah sekaligus Warung Rujak Cingur Asmuni (Srimulat). Pemandangan tiap minggu tetap. Namun tak terdengar lagi suara orgel dan nyanyian, juga kutbah pendeta HKBP. Terdengar tapi lamat. Mungkin sekitar 20 desibel dari kamar saya yang berjarak 120 meter dengan letak speaker terdekat. Yang terdengar lebih kenceng, justeru adalah suara pengajian.

Rupa-rupanya, dua tahun saya tinggalkan tempat itu, nyatater, di seberang jalan gereja HKBP sudah berdiri masjid. Tiap minggu (disebutnya Ahad), masjid itu mengadakan pengajian dari sejak subuh. Diskusi agama, ngaji kitab, suara celotehan anak-anak, semua terdengar jelas lewat loadspeaker 4 penjuru angin.

Saya kira aktivitas masjid akan selesai jam 7 pagi, karena dimulai dari subuh. Dan giliran suara dari gereja HKBP. Tidak ternyata. Suara pengajian lewat toa masjid langsam saja. Bahkan setelah acara kebaktian di HKBP selesai pukul 10. Pengajian ahad subuh baru selesai menjelang dhuhur. Demikian yang saya nikmati bertahun-tahun lagi selama tinggal di Slipi.

Saya ingat kisah dua masjid di daerah Njambon, Yogyakarta. Jarak keduanya hanya 100-an meter. Terhalang beberapa rumah dan sebuah jalan kampung yang menandakan keduanya berada di wilayah administratif berbeda.

Seorang teman yang tinggal di situ menceritakan, dulu masjid itu sama-sama Cuma dengan 1 loudspeaker. Tapi ketika satu masjid menambah 1 speaker, masjid sebelah langsung pasang loudspeaker 4 penjuru angin. Masjid yang punya 2 speaker gantian nambah, jadi 6 speaker. Tak lama kemudian, masjid dengan 4 speaker nambah 4 lagi, menjadi 8 loudspeaker menghadap 8 penjuru angin.

Kalau pas waktu adzan, meski jaraknya tak berjauhan, tak pernah bareng-greng. Kalau bareng, kayaknya rugi, nggak bisa dibedain mana yang jelek. Yang kalah duluan, biasanya nunggu adzan yang lebih awal selesai. Ini soal eksistensi suara. 

Tapi di Yogya pula, ada masjid tanpa kubah. Setidaknya yang saya tahu pada awalnya dulu, di daerah Timoho. Namanya juga nggak bau arab, ‘Masjid Tunas Melati’. Di situ juga tidak ada loudspeaker untuk memperkencang adzan dan berbagai acara lainnya. Masjid yang didirikan Yayasan Tunas Melati itu, dulu diketuai seorang Islam yang aneh, ASN yang di kamar kerjanya memasang foto KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, dan Mirza Ghulam Ahmad. Sekalipun setahu saya, Mas Amien Mansur lebih dekat ke Muhammadiyah. 

Sementara di sebuah pesantren jemaah Naqsabandiyah di daerah Bogor, saya benar-benar menemukan masjid tanpa loudspeaker dan teknologi elektronik lainnya.

Masjidnya besar, luas, dengan atap yang tinggi. Ketika berada di dalamnya, kita jadi terasa begitu kecil. Tanpa alat elektronik, membuat suara adzan, juga kutbah di mimbar, terasa syahdu. Konsep atapnya, sebagaimana tata-akustik di Sitihinggil Kraton Yogyakarta. Suara dari mihrab, persis sebagaimana di bangsal Witana, bisa terdengar seolah di atas atau belakang yang duduk jauh dari tempat itu. 

Apakah loudspeaker itu hanya digunakan di masjid, setelah toa ditemukan seorang pastor katholik Jerman? Tentu tidak. Kalau tahu yang nemu pastor katolik, kaum kadrun mungkin akan tetap memakainya. Tulisan ‘made in’-nya mungkin dihapus. Takkan dibiarkan tulisan made in germany, atau made in japan, apalagi made in china. Sementara jarang ada tulisan made in saudi. Karena made kebanyakan beragama Hindu. Kalaupun made wisata religi, mungkin juga tidak ke India, karena agama Hindu Bali tidak sama persis dengan Hindu non Bali.

Itu sebabnya, kebanyakan loudspeaker ditaruh tinggi-tinggi. Agar merknya nggak gampang dibaca bikinan mana. Mungkin. Nggak usah baper. 

Baca Juga: 4 Alasan Mengapa Menteri Agama Soal TOA Mesjid Perlu Didukung

Loudspeaker juga digunakan dalam penyelengaraan ritual banyak agama. Di taman hutan nasional Alas Purwo, Banyuwangi, ada komunitas kecil beragama Buddha Jawi Wisnu. Viharanya saya lihat juga memakai lodspeaker yang dipasang persis model-model di masjid. Dalam kebaktian vihara, juga diperdengarkan ke luar. Cuma karena di daerah terpencil, luas, jarang penduduk, ummatnya sekitar 20 KK; berbeda dengan di daerah perkotaan atau perkampungan padat. Bayangkan subuh hari di Jakarta, suara adzan subuh berngiang berputaran di antero udara seperti pusaran. 

Di beberapa dusun Entikong, Kalimantan Barat, beberapa gereja Kristen Protestan juga memakai loudspeaker. Fungsinya sama, memperdengarkan aktivitas yang ada di dalamnya. Juga kadang untuk menyampaikan pengumuman kegiatan dan perstiwa di lingkungan. Atau pengumuman siapa yang meninggal, seperti yang bisa kita dengar di masjid-masjid kampung. 

Bukan TOA atau loudspeaker sih masalahnya. Tapi perangkat alat sebelumnya, yakni yang bernama amplifyer. Ini sebenarnya biang masalah, maka ada istilah ‘amplifikasi’, untuk menggambarkan proses pembleyeran atau pelipatgandaan ‘kebisingan’. Tidak diperlukan aturan atau latihan njelimet sebenarnya, dengan memutar ke kiri potentio volume di ampli tersebut, untuk menjauh dari angka 100 desibel. Sangat simpel.  

Tapi soal kurang dari 100 desibel itu akan berhadapan dengan kejumawaan, ketersinggungan kaum majoritas, identitas, belum pula harkat, martabat. Karena itu, bukan soal tidak tahu bahwa sudah ada teknologi untuk menggantikan tugas Bilal pada jaman awalnya.

Bahkan, sejatinya, masjid-masjid yang ‘banyak dikuasai’ yang pro dan berafiliasi ke HTI, PKS, dan sejenis-jenis itu, banyak menempelkan jam digital di dinding, lengkap dengan alarm tanda 5 waktu. Tapi, kenapa ketika MUI, Muhammadiyah, NU, setuju dengan aturan tata-suara adzan justeru PKS tidak setuju? Karena PKS bukan ormas Islam. PKS adalah partai politik. Dia perlu berjuang agar tidak ditinggalkan potential konstituensnya. 

Sesuai dalil syiar agama juga, dengan spirit ekspansionisme, persoalannya bukan tinggal memutar knop potentio meter ke kiri, ke angka lebih kecil dari 100 desibel. Tapi karena kita lebih terbiasa dididik dengan cara-cara intimidatif. Bukan dengan intimitas. 

Senyampang itu, mentalitas pihak yang terbiasa terjajah, biasanya baperan.

Sunardian Wirodono

***