4 Alasan Mengapa Menteri Agama Soal TOA Mesjid Perlu Didukung

Membatasi toa mesjid ke luar hanya pada adzan dan Iqomah, plus lantunan ayat Quran 5-10 menit sebelumnya adalah kompromi yang sudah sangat baik.

Senin, 28 Februari 2022 | 21:29 WIB
0
284
4 Alasan Mengapa Menteri Agama Soal TOA Mesjid Perlu Didukung
Toa (Foto: tempo.co)

Mendengar pro dan kontra aturan Menteri Agama soal pengeras suara (toa) mesjid, saya justru teringat bisnis properti.

Jika properti itu berlokasi di dekat mesjid, harganya justru turun. Harga properti itu jatuh lebih murah. Inilah respon pasar apa adanya. (1)

Perlu direnungkan, mengapa properti di dekat mesjid bukan dianggap berkah, dan membuat properti itu lebih mahal? Mengapa bukannya orang berlomba- lomba mencari rumah di dekat mesjid, sehingga membuat harga rumah itu lebih mahal?

Bukankah properti di dekat fasilitas umum lain, seperti di dekat stasiun, rumah sakit, perkantoran, membuat properti itu lebih mahal? Tapi mengapa properti di dekat mesjid justru membuatnya jatuh lebih murah? 

Ini alasan yang acap kita dengar. Rumah itu tempat kita beristirahat. Sekian lama kita lelah berkerja di kantor, pasar, pertokoan, dari pagi hingga sore. Di rumah kita kembali, untuk menikmati hidup yang personal. Privat.

Namun jika di dekat mesjid, suara toa terdengar berkali- kali. Tak hanya suara panggilan adzan, atau iqomah, kadang suara pengajian ibu- ibu atau anak anak juga diperdengarkan keluar. Kadang suara emak- emak bernyanyi qasidahanpun disiarkan keluar. Keras sekali suaranya.

Aneka ceramah dalam rangka syiar agama juga acapkali diperdengarkan ke luar lewat toa mesjid. Juga keras sekali suaranya.

Celakanya kualitas toa mesjid tak selalu bagus. Bahkan Jusuf Kala, Ketua Dewan Mesjid Indonesia, menyatakan 75 persen kualitas pengeras suara mesjid di Indonesia itu buruk.

Suara lewat toa itu bukannya mengirimkan kesyahduan yang membuat kita teduh, menikmatinya. Tapi suara dari toa yang buruk itu malah memekakkan telinga. (2)

Respon pasar properti di atas tak ada yang mengaturnya. Tak ada komando yang memerintahkan harga pasar atas properti di dekat mesjid harus naik atau turun.

Respon pasar itu murni suara hati masyarakat. Baik mereka non- muslim ataupun muslim, itulah realitasnya. Bahwa toa di mesjid itu, yang suaranya dikirim keluar itu, yang acapkali memekakkan telinga itu, justru membuat mereka yang tinggal di sana umumnya tak nyaman. Bahkan tanpa dikomando, harga properti di dekat mesjid pun turun.

Itu sebabnya surat edaran Menteri Agama No 5 Tahun 2022, yang mengatur pengeras suara mesjid, menjadi penting.

Menteri agama mengatur volume suara toa mesjid yang dipasang keluar, agar terdengar ke rumah-rumah, jangan lebih dari 100 db (100 desibel). 

Yang dibolehkan disiarkan keluar melalui toa mesjid juga dibatasi hanya adzan, iqomah, dan pembacaan ayat quran sebelum adzan, paling lama 5-10 menit saja.

Menteri agama membatasi tak hanya kerasnya volume toa mesjid. Juga diatur materi apa yang boleh disiarkan keluar mesjid dan berapa lama.

Jika berhasil dieksekusi dengan baik, 10 tahun dari sekarang, nama Yaqut Cholil Qoumas akan harum. Kebijakan toa mesjid itu menjadi legacynya.

Empat alasan di bawah ini mengapa aturan Menteri Agama ini layak bahkan harus didukung.

Pertama, preseden dari otoritas yang lebih tinggi. Media Arab Saudi, Saudi Gazzette, 24 Maret 2021 memberitakan. Bahwa pemerintah Arab Saudi sudah lebih dahulu membatasi penggunaan loudspeker. Alat pengeras suara ke luar mesjid itu dibatasi bahkan hanya untuk adzan dan iqomah saja (seruan pertanda sholat segera dimulai). (3)

Volume loudspeaker itu juga dibatasi hanya sepertiga dari volume yang biasa.

Saudi Arabia adalah awal dan pusat dari agama Islam dunia. Soal keabsahan sebuah kebijakan atas agama Islam terasa lebih otoritatif jika datang dari negara ini.

Media Egyp Today, tanggal 22 April 2018, juga memberitakan. Bahkan lebih awal dibandingkan Arab Saudi, pemerintahan Mesir juga membatasi penggunaan loud speaker hanya untuk adzan dan iqomat saja. (4)

Di Mesir terdapat mesjid Al- Azhar yang sudah berdiri sejak tahun 971. Di sana juga berdiri Universitas Al-Azhar yang dibangun tahun 975. Dua bangunan itu sudah menceritakan betapa agama Islam di Mesir sudah sangat berakar. Agama Islam di Mesir sudah lebih awal dibandingkan dengan di Indonesia.

Kebijakan soal agama Islam yang datang dari Mesir, yang didukung oleh ulama utama mesjid Al-Azhar juga terasa lebih otoritatif.

Bahkan soal membatasi penggunaan loadspeaker, pemerintah Mesir sudah mendahului Indonesia dan Arab Saudi.

Alasan kedua adalah hukum agama. Yang perlu dirujuk soal mesjid pertama- tama tentu hukum agama. 

Baik Arab Gazzette dan Egyp Today memberitakan justru hukum Islam yang dijadikan dasar pembatasan loudspeaker ke luar mesjid itu.

Dalik-dalil Syariah, yang terpenting adalah sabda Nabi Muhammad sendiri. Nabi mengajarkan bahwa semua jamaah yang berdoa dan memohon kepada Allah SWT, tidak boleh menyakiti atau menyebabkan ketidaknyamanan satu sama lain dengan bacaan keras selama shalat.

Hal ini merupakan implementasi dari prinsip fiqih, “Jangan menyakiti orang lain, juga tidak boleh orang lain menyakitimu.”

Suara imam selama shalat harus didengar oleh semua orang di dalam masjid. Menurut syariat, suara imam tidak perlu terdengar di rumah tetangga di luar.

Itu juga dapat dianggap merendahkan Al-Qur'an ketika ayatnya dibacakan dengan keras menggunakan pengeras suara eksternal, tapi tidak ada yang mendengarkan dan merenungkan ayat-ayatnya.

Dalil ini sesuai dengan fatwa ulama besar Syekh Muhammad Bin Saleh Al-Othaimeen. Ia menyatakan pengeras suara eksternal tidak boleh digunakan kecuali untuk Adzan dan Iqamat-ul-salah. .

Surat edaran tersebut juga berdasarkan fatwa anggota Majelis Ulama senior dan anggota panitia tetap Dr. Saleh Al-Fowzan, serta beberapa ulama lainnya.

Alasan Ketiga adalah prinsip moralitas umum. Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu tak ingin dilakukan orang lain padamu.

Penganut agama Islam pun akan keberatan jika mendengar pengeras suara dari syiar agama lain di rumahnya. Apalagi jika pengeras suara itu diperdengarkan setiap hari. Dalam satu hari, keras suara itu diperdengarkan berkali- kali pula.

Bahkan keberatan toa mesjid itu datang dari penganut agama Islam sendiri. Ini juga menjadi pertimbangan pemerintah Arab Saudi dan Mesir. Orang tua, atau mereka yang sedang sakit, para bayi yang perlu istirahat, juga akan terganggu dengan toa mesjid ke luar rumah itu.

Membatasi toa mesjid ke luar hanya pada adzan dan Iqomah, plus lantunan ayat Quran 5-10 menit sebelumnya adalah kompromi yang sudah sangat baik. 

Alasan keempat adalah Jalaluddin Rumi. Kita merenungkan ucapan guru sufi dan penyair Jalaluddin Rumi. Ujar Rumi; 

Silence is the langguage of God. All else is poor translation.” 

Keheningan adalah bahasa Tuhan. Doa itu merasuk dan khusyuk dinikmati dalam kondisi batin yang hening. Bukan dalam kondisi lahiriah yang hingar bingar.

Hening di sini bukan berarti sama sekali tanpa suara. Tapi kedalaman sentuhan ilahiah itu memang mensyaratkan kesyahduan, bukan hingar- bingar. Bising.

Untuk berhasil, seorang pemimpin harus memiliki prinsip virtue dan courage. Virtue itu kebajikan, tindakan yang benar, berdasarkan pikiran yang mencerahkan. Sedangkan courage itu karakter yang didorong oleh keberanian mengambil resiko.

Dua elemen itu yang perlu dimiliki menteri agama di Indonesia. Itu agar sang menteri mengantar Indonesia, selaku negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini, untuk mengalami moderasi soal hidup beragama.

Menteri agama sekarang: Yaqut Cholil Qoumas potensial memiliki dua karakter itu: virtue dan courage

Kebijakan soal toa mesjid, aturan pengeras suara, hanyalah salah satu dari beberapa kebijakannya yang kuat, dipandang dari kepentingan masyarakat yang beragam untuk harmonis.

Menteri agama memang banyak dikritik soal analog yang ia gunakan. Sang menteri dianggap menyamakan suara toa mesjid itu dengan gonggongan anjing.

Tapi kita semua tahu. Analogi itu hanya asesoris saja. Esensinya bukan itu. Esensinya adalah soal mengatur pengeras suara toa mesjid untuk harmoni hidup bermasyarakat.

Kita harus mengarahkan fokus perhatian kita kepada esensinya. Bukan fokus pada asesorinya. Sama seperti ketika seorang guru menunjuk bulan. Fokus perhatian harus kita arahkan pada bulan yang ditunjuk. Jangan fokus pada jari yang menunjuk.

27 Febuari 2022

Denny JA

***

CATATAN:

1. Jika di dekat mesjid, harga properti justru turun

2. Selaku ketua Dewan Mesjid Indonesia, Jusuf Kalla menyatakan 75 persen sound system mesjid di Indonesia buruk, memekakkan telinga.

3. Saudi Gazatte, 2021, memberitakan pemerintah Saudi Arabia membatasi loud speaker ke luar hanya untuk adzan dan iqomah.

4. Egyp Today, 2018, memberitakan pemerintah Mesir membatasi loud speaker ke luar hanya untuk adzan dan iqomah.