Ibukota Bagaikan Rimba Raya

Banyak yang tertipu, serta terjebak di dalam kemiskinan dan kejamnya ibu kota. Tak ada aturan pembatasan yang masuk akal. Jakarta pun menjadi tempat sampah Indonesia.

Rabu, 22 Juli 2020 | 08:22 WIB
0
311
Ibukota Bagaikan Rimba Raya
Pengendara sepeda motor (Foto: kompas.com)

Di Jakarta, jalan raya seperti rimba raya. Orang saling sodok dan saling tikung.

Ketika gesekan terjadi, makian terlontar. Pukulan dan tedangan kerap kali menyusul.

Aturan diabaikan. Orang berkendara seenaknya.

Berkendara berempat di dalam satu motor. Semua tak pakai helm dan jaket. Kelengkapan surat sudah pasti tak ada.

Gas ditarik pol. Padahal, jalanan sedang ramai.

Ini tidak hanya membahayakan diri sendiri. Orang lain juga bisa jadi korban.

Sampah pun dibuang sembarangan. Tak ada kepedulian pada kelestarian lingkungan sekitar.

Lampu lalu lintar diterabas. Jika hendak ditilang, gas ditarik pol untuk melarikan diri secepatnya.

Jika ditegur, konflik akan segera tercipta. Kebodohan para pengendara Jakarta sudah menggunung.

Yang miskin berlaku tak beradab. Yang kaya lebih-lebih lagi. Kebodohan di jalan raya Jakarta tak mengenal kelas ekonomi.

Seorang teman pembalap profesional berkunjung ke Jakarta. Ia bahkan tak berani berkendara di Jakarta.

“Terlalu tak masuk akal”, begitu katanya. Mengapa ini terjadi? Ada delapan hal yang bisa jadi pertimbangan.

Krisis di Berbagai Penjuru

Pertama, pelanggaran hukum di jalan raya Jakarta hampir tak pernah ditindak. Tidak ada aparat yang menegur atau menangkap pelanggar hukum.

Tidak ada teladan juga dari para pengguna jalan yang lebih lama. Tua atau muda, semua terus melanggar aturan yang ada.

Dua, hukum dan penegak hukum telah lama kehilangan wibawa di Indonesia. Isinya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Keadilan hampir tak pernah didapat. Hukum negara hanya perwujudan dari hukum rimba yang tak beradab.

Tiga, ini terjadi, karena sistem sosial di Indonesia telah korup. Tak peduli siapa yang memimpin, korupsi dan ketidakadilan akan terus berlangsung.

Adalah sebuah keajaiban, bahwa bangsa ini masih ada, dan cukup sejahtera. Ini jelas bukan prestasi elit politik.

Empat, unsur pendidikan yang bermutu rendah jelas berperan penting. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa mutu pendidikan Indonesia adalah salah satu yang paling rendah di Indonesia.

Kepatuhan buta dan budaya menghafal terus bercokol. Mental gila hormat dari para guru dan pejabat pendidikan sudah berkarat di dalam budaya.

Di satu sisi, radikalisme agama tersebar begitu dalam dan luas di berbagai lembaga pendidikan. Di sisi lain, kegilaan akan uang tetap menjadi tujuan utama.

Setiap pejabat yang ditunjuk selalu membuat kebijakan yang merusak. Jabatan elit pendidikan pun tak jelas proses penentuannya.

Lima, ini semua berbuah kemiskinan akut di ibu kota. Seorang teman dari Solo datang berkunjung, dan terpana melihat pemukiman kumuh di berbagai sudut jakarta.

Gubernur yang bermutu tinggi difitnah dan dipenjara. Gubernur korup dipertahankan dan dipuja.

Jangan percaya dengan propaganda, bahwa kemiskinan di Jakarta menurun. Buka mata dan buka telinga, ketika berada di Jakarta.

Saya juga masih terpana, mengapa orang-orang miskin tidak berkumpul dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dan orang-orang kaya? Jumlah mereka banyak, dan kekuatan mereka juga besar.

Mungkin karena agama masih kuat di Indonesia. Janji-janji palsu surga lebih menarik daripada mewujudkan keadilan di dunia nyata.

Enam, di dalam kekacauan keadaan, orang terus melahirkan anak. Orang berkeluarga dan punya anak bukan karena pertimbangan akal sehat, tetapi karena tekanan sosial yang berpijak pada tradisi dan agama.

Alhasil, banyak anak lahir di keluarga yang berantakan. Tak ada teladan moral dan pendidikan akal sehat.

Masa depan suram, karena dikelilingi kemiskinan dan kebodohan. Dan kita heran, mengapa kaum radikal agamis terus bertumbuh di ibu kota? Buka mata.

Tujuh, dalam gempuran kekacauan, akal sehat semakin tak dikenal. Kebodohan dan korupsi menjadi raja di jalan raya, dan hidup sehari-hari.

Kejahatan menjadi banal. Ia menjadi biasa-biasa saja. Nurani dan akal sehat jakarta sudah tumpul.

Delapan, ketika akal sehat tumpul, berbagai keputusan pun menjadi tak masuk akal. Aturan dan hukum yang baru tak bisa diterima dengan akal sehat.

Pepatah lama kiranya benar, hukum yang tak adil bukanlah hukum sama sekali. Aturan yang tak masuk akal tak layak untuk ditaati.

Bagaikan Rimba Raya

Ibu kota kini bagaikan rimba raya. Ia memikat pendatang dari seluruh penjuru Indonesia.

Banyak yang tertipu, serta terjebak di dalam kemiskinan dan kejamnya ibu kota. Tak ada aturan pembatasan yang masuk akal. Jakarta pun menjadi tempat sampah Indonesia.

Baca Juga: Sudah Saatnya Ibukota Harus Pindah

Semoga tulisan ini bisa sedikit menyentil warga ibu kota. Sampai waktunya ibu kota berpindah, kita harus segera berbenah diri.

Ini kampung kita. Kita yang punya tanggung jawab dan kewajiban untuk merawatnya. Mari mulai bekerja.

***