Cross Way

Saya salut dengan pemerintahan Zaman Pak Jokowi. Jalan khusus itu akhirnya terwujud. Saya begitu ingin tahu: bagaimana soal teknis ”menerobos” Hotel Sheraton itu bisa diatasi.

Rabu, 12 Februari 2020 | 06:27 WIB
0
312
Cross Way
Connecting taxiway Soetta (Foto: Disway.id)

Salut. 

Itulah kata yang selalu saya ucapkan. Terutama setiap kali menuju bandara Soekarno-Hatta.

Setelah Anda melewati gerbang tol terakhir cobalah perhatikan: ada jembatan baru di atas mobil Anda. Tepatnya setelah kolam air depan Hotel Sheraton itu.

Tanpa bertanya, saya pun tahu jembatan apakah itu. Itulah jalan khusus pesawat terbang. Lebar sekali bukan?

Tapi sampai kemarin sore saya belum pernah melihat ada pesawat yang berjalan melintas di atas jembatan di atas mobil saya.

Mungkin kebetulan saja lagi tidak ada pesawat yang melintas. Atau mungkin saja memang belum difungsikan.

Saya ikuti pemberitaan di media: jalan khusus itu sudah diresmikan Presiden Jokowi awal Februari lalu.

Itulah jalan untuk menghubungkan ujung timur landasan No. 1 dan ujung timur landasan No. 2 Bandara Cengkareng, Jakarta.

Jalan serupa sudah ada untuk menghubungkan ujung barat landasan No. 1 dengan ujung barat landasan No. 2. Pembangunan ujung barat itu dilakukan bersamaan dengan pembuatan landasan itu sendiri.

Kenapa waktu itu tidak sekalian dibangun juga yang ujung timur?

Saya tidak tahu. Kemungkinan besar untuk menghemat biaya. Toh waktu itu memang belum diperlukan. Bandara Cengkareng masih sepi.

Lama-lama bandara tersebut terlalu ramai. Lion Air saja menambah lebih 200 pesawat. Penerbangan dari luar negeri juga kian banyak. 

Sampailah pada suatu saat: antrean untuk terbang di Bandara Cengkareng lama sekali.

Pernah sampai ada 10 pesawat yang antri di taxiway untuk menuju ujung landasan. 

Saya pernah tertidur saat pesawat mulai meninggalkan garbarata. Lalu terbangun. Saya kira pesawat sudah mendarat di Surabaya. 

Ternyata pesawat belum juga terbang. Masih di antrean ketiga.

Kesimpulan waktu itu: harus dibangun landasan ke-3. Kejengkelan penumpang pesawat sudah luar biasa.

Tapi saya selalu tidak setuju itu. Biayanya terlalu besar. Sekitar Rp50 triliun.

Mengapa? 

Karena harus membeli lahan baru. Luasnya sekitar 700 hektare.

Mengapa harus membeli lahan tambahan?

Lahan yang ada tidak cukup. Kalau landasan No.3 dipaksakan, jarak antarlandasan tidak memenuhi syarat keamanan penerbangan. 

Jarak antarlandasan itu harus 1 Km. Itulah pula jarak antara landasan No. 1 dan No. 2 di Cengkareng.

Saya tidak tahu benarkah harus begitu. Saya bukan ahli ilmu jarak antarlandasan. Saya hanya mengutip dari yang berpendapat begitu.

Tapi saya sangat setuju: keterlambatan pesawat yang keterlaluan di bandara Jakarta harus diatasi.

Langkah-langkah perbaikan pun diinventarisasi. Kapasitas tower pengatur lalu-lintas ditambah. Kalau dulu hanya menghadap satu sisi, harus menjadi dua sisi. 

”Jalan masuk” dari taxiway ke landasan harus ditambah. Dengan demikian pesawat yang baru mendarat bisa segera ke luar landasan. Tidak perlu keluar di ujung landasan. Agar pesawat lain bisa segera terbang atau mendarat.

Dan banyak lagi.

Salah satunya itu tadi: membangun jalan khusus untuk menyambung ujung timur landasan No.1 dan ujung timur landasan No.2.

Itu untuk menambah fleksibilitas pergerakan pesawat di bandara.

Tujuan utamanya adalah: agar bandara Jakarta bisa meniru Bandara Heathrow, London. Atau bandara lain di kota-kota besar dunia.

Bandara Heathrow juga hanya punya dua landasan. Tidak perlu membangun landasan No. 3.

Ketika saya terbang dari Heathrow tahun lalu sekali lagi saya amati.

Apa yang terjadi di Heathrow?

Sederhana: satu landasan dikhususkan untuk pesawat yang turun. Satu landasan lagi khusus untuk pesawat yang terbang.

Tidak saling tunggu antara yang mau terbang dan akan turun. 

Baca Juga: Nilai Strategis Bandara, Jangan Lepas ke Asing!

Dengan cara begitu kapasitas turun-naik pesawat bisa naik 30 persen. Tidak perlu membangun landasan No. 3. Pun tidak perlu biaya Rp50 triliun. 

Tapi saya tidak mampu mendorong mewujudkan jalan khusus itu. Pemilu sudah dekat. Waktu saya pun habis.

Ada hambatan teknis waktu itu: jalan khusus tersebut harus menerobos tepat di Hotel Sheraton. Masa sewa tanah bandara untuk Hotel itu belum habis.

Maka saya salut dengan pemerintahan berikutnya. Zaman Pak Jokowi. Jalan khusus itu akhirnya terwujud. Saya begitu ingin tahu: bagaimana soal teknis ”menerobos” Hotel Sheraton itu bisa diatasi. 

Jalan khusus itu dibelokkan? Atau posisinya diubah? 

Saya juga ingin tahu: apakah dengan selesainya jalan khusus itu penggunaan landasan No. 1 dan No. 2 akan diatur seperti di Heathrow?

Atau ada pemikiran lain?

Yang jelas sampai terakhir saya ke Bandara Cengkareng masih belum ada perubahan.

Di negara mana pun saya mendarat, soal ini selalu saya perhatikan. Sampai sekarang ini.

Kadang sambil menunggu boarding, di negara mana pun, saya menghitung pesawat. Saya pasang stopwatch. Saya hitung pergerakan pesawat. Setelah satu pesawat take-off, berapa menit kemudian pesawat berikutnya menyusul terbang.

Yang dramatik selalu di bandara besar di Amerika Serikat. Di dekat ujung landasan selalu ada ”tiga pintu masuk” landasan.

Tiga pesawat bisa sama-sama siap masuk landasan. Tidak harus antri di belakangnya. Itu ibarat loket serong di tempat pembayaran di ujung jalan tol.

Bulan lalu saya di Ho Chi Minh City, Vietnam. Pun di negara miskin ini saya perhatikan pergerakan pesawatnya.

Saya terpana: di Vietnam pun sudah menerapkan apa yang terjadi di Heathrow: yang terbang dan yang mendarat di landasan yang berbeda.

Kini, setiap kali terbang dari Cengkareng saya memperhatikan: kapan terjadi pengaturan yang seperti itu.

Atau jangan-jangan sekarang sudah --yang saya ketinggalan tahu karena lebih sering mendarat di Halim.

Seperti apa yang Anda lihat?

Dahlan Iskan

***