Indonesiaku [20] Bertanyalah tentang Penghasilan Luar Biasa

Adakah ajaran langit maupun ajaran bumi yang mengharuskan kita: bertanyalah dari mana dan bagaimana penghasilan yang berlimpah di luar batas wajar itu diterima?

Selasa, 24 Maret 2020 | 16:35 WIB
0
337
Indonesiaku [20] Bertanyalah tentang Penghasilan Luar Biasa
Ilustrasi dollar (Foto: libmagz.com)

Saya tidak ingin merekonstruksi prilaku para koruptor yang telah, sedang dan barangkali akan menggasak uang rakyat dengan aman dan nyaman. Tetapi setidak-tidaknya saya akan bercerita tentang penghasilan. Entah itu penghasilan seorang pegawai negeri, tentara, atau swasta, yang sejatinya serba terukur. Wa bil khusus, apa dan bagaimana reaksi para si penerima penghasilan itu; Anda yang kebetulan ibu rumah tangga atau seorang suami, Anda para orangtua atau kalian yang masih berstatus anak-anak.

Sewaktu ditawari mengajar di almamater saya tahun 1990 lalu selepas saya kuliah, gaji pokok seorang PNS lulusan S1 kira-kira Rp 60.000 perbulan untuk golongan IIIa. Kata orang, hidup adalah pilihan. Saya tidak memilih tawaran itu, tetapi malah melamar di perusahaan swasta yang gaji pertamanya saja setelah diangkat bisa 5-8 kali lebih besar dari gaji PNS lulusan S1.

Sampai sekarang saya masih bekerja di perusahaan swasta. Saya tidak tahu lagi berapa standar gaji PNS bergolongan IIIa sekarang. Tentu jauh lebih besar dari Rp 60.000. Konon Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sangat memperhatikan kesejahteraan para PNS, tentara dan polisi.

Saya ingin mengatakan, setiap penghasilan itu sebenarnya terukur, khususnya penghasilan PNS itu. Pun demikian gaji karyawan swasta seperti saya. Dalam batas-batas tertentu, juga mereka yang punya perusahaan sendiri. Semuanya bisa diukur, bisa diaudit. Makanya untuk menjadi pejabat negara, wajib hukumnya melaporkan harta kekayaannya. Maksudnya agar pemerintah bisa lebih mudah dideteksi penambahannya dari tahun ke tahun sebelum dan setelah dia menjabat nanti.

Karena serba terukur, mestinya si penerima penghasilan bertanya-tanya ketika orang yang memberi penghasilan itu memperoleh penghasilan yang berlimpah, yang di luar takarannya atau di luar batas kewajaran dari yang seharusnya dia terima. Seorang istri, misalnya, sebaiknya bertanya dan bahkan boleh bertanya-tanya mengapa suaminya memperoleh pendapatan berlimpah yang tidak seperti sewajarnya.

Seorang suami boleh bertanya dan bahkan silakan bertanya-tanya pada istrinya mengapa tiba-tiba ia memperoleh penghasilan yang berlimpah-ruah di luar batas kewajaran dari yang seharusnya dia terima. Seorang anak boleh saja bertanya dan bahkan bertanya-tanya pada ayah dan ibunya mengapa ayah atau ibunya itu mendapatkan perolehan yang luar biasa berlimpah di luar batas kewajaran dari yang seharusnya mereka terima sebagai PNS, tentara atau polisi.

Untuk urusan serupa, seorang kakak juga boleh bertanya pada adiknya, seorang adik boleh bertanya pada kakaknya, bahkan orangtua boleh bertanya dan bertanya-tanya pada anak-anaknya mengapa mereka tiba-tiba memperoleh penghasilan yang luar dari biasanya, penghasilan yang berlimpah di luar batas kewajiban dari yang seharusnya mereka terima.

Seorang ayah atau ibu seharusnya bertanya dan bertanya-tanya pada anak gadisnya mengapa ia memperoleh penghasilan yang di luar batas nalar, batas dari yang selazimnya ia peroleh. Apalagi kalau gadis itu hanya pegawai biasa atau malah belum bekerja, masih pelajar atau mahasiswa. Tanyalah pada anak gadis Anda, “Dari mana kau mendapat rumah mentereng, mobil mewah, perhiasan berlimpah itu, Nak? Bukankah gajimu tak bakal bisa membeli barang-barang mewah ini meski sampai pensiun pun?”

Ya, kasarnya tanyalah seperti itu, kecuali Anda memang menghendakinya untuk sama-sama menikmatinya, lalu dijadikan kebanggaan pula.

Ketika korupsi semakin merajalela di Ibu Pertiwi ini, ketika orang tua bangga dengan penghasilan anak gadisnya yang berlimpah ruah padahal di luar batas kewajaran sebagai pegawai biasa, besar kemungkinan karena mereka tidak pernah bertanya soal penghasilan yang di luar batas kelaziman yang seharusnya diterimanya. Atau mereka tahu, tetapi pura-pura tidak tahu. Lebih celaka kalau ada sementara orang tua malah menganjurkannya.

Barangkali, ini cuma “ilmu barangkali”, kita harus sudah mulai berani atau setidak-tidaknya membiasakan bertanya dan bertanya-tanya: dari mana penghasilan yang di luar batas kewajaran dari yang seharusnya diterimanya itu. Simak cerita di bawah ini dari seorang rekan yang menamakan diri Atlanta98 yang mengomentari tulisan saya sebelumnya:

Ini ada cerita di kampung yang namanya West End, penduduknya kebanyakan orang hitam, dan kriminal terjadi setiap menit. Hakim saja ditembak. Deputy sherif pengawal para kriminal ditembakin. Di lingkungan yang susah hidup untuk menjadi orang baik, ada satu ibu yang tidak bisa disebut kaya. Punya anak “teenager” yang bisa-bisa kalau sudah besar jadi berandalan. Ayahnya mati ditembak. Si ibu yang menjadi tulang punggung rumah tangga, harus bergelut antara mencari nafkah dan mendidik anak.

Suatu hari si Anak kembali dengan membawa uang beberapa ribu dollar ke rumahnya dan diberikan kepada si Ibu. Si Ibu bukannya senang malah habis-habisan menginterogasi anak itu; dari mana dapat duit, bagaimana caranya dapat duit. “Kalau uang itu bukan uang halal lebih baik kamu tidak tinggal dengan saya lagi,” ancamnya. “Saya banting tulang untuk membesarkan kamu bukan untuk jadi binatang, atau maling, tapi untuk menjadi manusia yang bermoral,” begitu marahnya si Ibu.

Kedua orang itu baik si Ibu maupun anaknya orang berkulit hitam yang tidak pernah ke gereja ataupun ke masjid (didaerah West End termasuk banyak orang-orang yang beragama Islam). Anak itu akhirnya menyerahkan diri kepada polisi bahwa uang itu memang uang komisi dari penjualan obat terlarang. Ini cerita yang sebenarnya terjadi.

Kapan ibu-ibu punya wibawa begitu lagi terhadap anak-anaknya yang suka maling yah, Cep Pepih?

Salam, Atlanta98.

Alangkah hebatnya jika setiap orang tua bisa bertanya seperti itu pada anak-anaknya; bertanya pada anak gadisnya dari mana memperoleh penghasilan yang berlimpah, bertanya pada anak lelakinya dari mana dia memperoleh uang yang banyak padahal ia pengangguran. Demikian juga seorang istri yang sudah seharusnya bertanya dari mana suaminya memperoleh pendapatan yang  berlimpah padahal ia hanya pegawai negeri golongan IIIa, misalnya.

Melihat merajalelanya korupsi di negeri ini seperti kasus Hambalang, kasus Wisma Atlet, kasus Simulator SIM, pat gulipat impor daging sapi, dan bahkan pengadaan kitab suci Al Quran, sudah sewajarnya seorang istri bertanya pada suaminya. Bukan malah bangga dengan penghasilan suaminya yang di luar batas nalar.

Tidak pada tempatnya orangtua yang bangga dengan penghasilan anak-anaknya yang berlimpah, besar kemungkinan di antara kita tidak pernah bertanya-tanya: dari mana dan bagaimana penghasilan yang berlimpah di luar batas wajar itu diterima. Atau jangan-jangan kita malah bangga dan turut menikmatinya!

Saya tidak tahu, adakah ajaran langit maupun ajaran bumi yang mengharuskan kita: bertanyalah dari mana dan bagaimana penghasilan yang berlimpah di luar batas wajar itu diterima?

***

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [19] Ketika Mencuri Tak Dianggap Aib Lagi