Dulu perselingkungan yang ketahuan sudah pasti akan berujung pada perceraian. Sekarang jika ketahuan perselingkuhan disebutnya sebagai kekhilafan.
Bukan maksud saya membandingkan prilaku orang sekarang dengan orang dulu, apalagi sampai men-judge bahwa orang dulu lebih baik dibanding orang sekarang dalam hal moral dan ahlak mereka. Saya yang terbiasa hidup di desa, merasakan betul perbedaannya. Setidak-tidaknya nuansanya. Apalagi setelah 30 atau 40 tahun kemudian saya mengambil perbandingan saat saya kembali ke desa lalu saya merasakan perbedaan itu.
Zaman saya kecil, ketika ada anak gadis tetangga pulang di atas pukul 9 malam, ia sudah menjadi gunjingan sekampung. Maklum, kami sudah terbiasa menarik selimut tinggi-tinggi selepas sholat isya. Biasanya pukul 9 malam itu sudah beranjak tidur. Malam sepertinya milik jangkerik atau burung hantu. Bangun sebelum subuh untuk sholat, kemudian membaca sebagai persiapan pergi sekolah.
Pernah ada anak gadis tetangga yang pulang malam, habis menonton film India, Haathi Mere Saathi. Besoknya, anak gadis itu menjadi gunjingan karena dia diantar pacarnya pulang malam-malam.
Pernah juga ada tetangga jauh yang anak gadisnya dikabarkan hamil di luar nikah. Lalu anak gadis tetangga itu “hilang” atau “menghilangkan” dirinya sementara waktu. Aiblah yang didapat tetatangga jauh saya itu. Juga ada anak tetangga terlibat pencurian kelapa muda. Maka anak tetangga itu sampai mendapat hukuman di pos hansip dengan cara diinterogasi, dipermalukan, yang membuat anak tetangga itu menghilang untuk sementara waktu karena aib yang dideritanya.
Dulu, orangtua saya yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar, terpaksa harus sambil bertani dan berternak agar anak-anaknya, saya dan asik-adik tentunya, bisa terus bersekolah sampai perguruan tinggi.
Dulu kolam ikan biasa utuh dan tidak ada pencuri yang merajalela karena ikan gratis masih melimpah di sungai. Bahkan ikan mas sebesar-besar paha orang dewasa pun tetap utuh tanpa harus dijaga. Sekarang…?
Perjalanan waktu 30-40 tahun lamanya barangkali sudah mengubah karakter seseorang atau bahkan karakter bangsa secara keseluruhan. Saya tidak akan jauh-jauh membandingkannya. Saya membandingkannya dengan tempat di mana saya lahir dan dibesarkan saja, sebuah desa kecil di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Saya berkesempatan jalan-jalan malam dan sampai larut malam saya baru kembali ke rumah orangtua di kampong, sekadar bernostalgia. Apa yang saya lihat, sungguh jauh berbeda dengan 30-40 tahun lalu. Pukul sebelas malam atau bahkan tengah malam pun ternyata masih banyak gadis desa yang jalan-jalan, berpasangan dengan kekasihnya. Suara jangkerik dan burung hantu pun sudah tak terdengar lagi.
Tidak sedikit orangtua yang memiliki gadis menikahkan anak gadisnya lebih awal karena telanjur hamil sebelum menikah. Bukan suatu aib lagi. Bahkan ada pasangan yang hidup seatap tanpa nikah, dan lingkungan membiarkan mereka begitu saja. Adakah zaman telah mengubah karakter suatu bangsa?
Sekarang jangan harap memelihara ikan di kolam yang tanpa penjaga. Tanpa harus menunggu ikan-ikan itu besar, besoknya ikan itu sudah ludes. Bukan dipancing, tetapi langsung dijebol maling. Bahkan, memancing ikan di kolam milik orang lain pun terang-terangan dilakukan pada siang hari. Kelapa, petai, rambutan, dan nangka yang belum diambil, jangan harap tersisa jika tidak cepat-cepat diambil. Jadi, pemilip balapan dengan maling.
Saya berpikir, mengapa karakter bangsa bisa berubah dalam kurun waktu selama 30-40 tahun itu? Apakah karena penduduk sudah sedemikian banyak sehingga mereka perlu mempertahankan diri meski dengan cara mencuri tatkala lahan semakin sempit, tatkala lapangan pekerjaan tidak tersedia? Apakah mencuri terang-terangan bukan aib lagi dan bahkan digunakan sebagai gaya-gayaan, bahwa dia seorang jantan dan pemberani? Mengapa hamil di luar nikah, perceraian, atau perselingkuhan (yang ketahuan) bukan suatu aib yang hebat untuk masa sekarang?
Dulu perselingkungan yang ketahuan sudah pasti akan berujung pada perceraian. Sekarang jika ketahuan perselingkuhan disebutnya sebagai kekhilafan.
Saya tidak tahu, soal akhlak dan moral itu urusan pendidikan agama atau pendidikan moral Pancasila? Saya kira dalam agama manapun mencuri pastilah terlarang. Pendidikan moral juga mengatakan demikian. Tetapi mengapa orang-orang sepertinya sudah tidak malu-malu lagi melakukannya. Coba lihatlah para koruptor itu. Mereka malah bangga karena bisa memberi harta kepada istri dan istri-istrinya, kepada anak keluarganya sampai tujuh turunan. Wara-wiri dengan mobil yang harganya miliaran rupiah, duduk mencangklong di teras rumah supermewah yang bisa disulap sebagai hotel bintang lima. Ikat pinggang pun seharga sepeda motor bebek terbaru.
Mereka, para koruptor yang biasanya berpredikat pejabat negara atau politisi, tidak ragu lagi mencuri uang rakyat karena toh penjara akan melepaskannya beberapa tahun kemudian di saat harta hasil korupsi tidak pernah berkurang, tidak terlacak karena sudah dicuci bersih di “laundry” dalam bentuk pembelian aset-aset berharga. Alhasil, negara tidak pernah selesai-selesai membayar utang turunannya yang kian bunga-berbunga. Korupsi, di mana uang dan kekayaan hanya milik segelintir orang, menjadi beban APBN. Ketika APBN harus bertambah, maka pajak segera ditingkatkan. Tetapi di sisi lain, pengusaha kaya malah mengindar dari pajak itu dengan membayar calo-calo pajak.
Rangkaian ini pasti mengakibatkan ongkos hidup yang mahal di Indonesia. Ongkos hidup yang mahal dan tinggi mengakibatkan kemakmuran dan kesejahteraan tidak bisa dinikmati semua warga negara secara merata. Maka, berembuslah ketidakadilan itu, ketidakadilan dan ketidakmerataan yang mudah dibelokkan menjadi makar atau teror.
Saya tidak tahu lagi bagaimana akhlak dan moral bangsa 10, 20, atau 30 tahun ke depan dari sekarang. Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap moral bangsa: pejabat pemerintah, tokoh agama, panutan masyarakat, atau sama sekali tidak harus ada yang bertanggung jawab?
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [18] Tega-teganya Melego Tanah Air Sendiri
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews