2 Ciri Orang yang Rentan Terjebak Hoax

Minggu, 30 Desember 2018 | 09:45 WIB
0
543
2 Ciri Orang yang Rentan Terjebak Hoax
Ilustrasi hoax (Foto: Konsultasisyariah.com)

Saya pernah ditanya seorang sahabat: "Apakah anda pernah menyebarkan berita hoax?" Saya jawab: "Tanpa sengaja, saya pernah. Namun setelah menyadari berita itu hoax, saya segera menghapusnya."

Mungkin koreksi ini dengan mudah saya lakukan karena saya tak terlibat dalam luapan emosi dan kepentingan terhadap berita itu. Akal sehat dan etika yang tertanam pada diri saya saat itu relatif masih dapat bekerja sehat sehingga dengan mudah saya melakukan koreksi atas kekeliruan yang saya lakukan.

Di era jejaring digital yang setiap orang begitu mudah dan cepat menerima, membuat dan menyalurkan berita, seringkali menjadikan kita tak mampu secara cerdas menyaring dan mengevaluasi setiap berita yang kita baca. Kita tak sempat berpikir apakah berita yang kita baca itu benar, faktual, dan terbebas dari hoax. Seluruh berita yang berkelebat lewat smartphone, dengan leluasa menembus pikiran, emosi dan kepentingan kita.

Apa yang sejalan dengan otak, hati dan kepentingan, akan lebih mudah kita lahap (kita terima dan setujui) tanpa kita evaluasi (screening). Ini barangkali mengapa di abad jejaring dan "tsunami informasi" ini, kita dengan mudah menjadi korban dan bahkan menjadi pelaku penyebar berita hoax, sengaja atau tidak sengaja.

Siapa yang paling rentan menjadi korban atau pelaku berita hoax? Secara teoritis, ciri-ciri orang itu adalah:

1. Orang yang tengah terjebak dalam kondisi emosional.

Kalau kita tengah memasuki peran yang menjadikan kita dalam situasi emosi tinggi, maka akal sehat kita cenderung menurun. Ini tak peduli apakah kita orang terdidik atau bukan. Contohnya, seorang pendukung fanatik Pilpres yang sangat emosional dalam mendukung jagoannya, ia akan lebih rentan terlibat dalam berita hoax. Sebaliknya ia juga akan cenderung mudah menolak berita apapun yang mengandung kebenaran kalau berita itu bertentangan dengan emosinya.

2. Orang yang terjebak dalam pusaran konflik kepentingan yang tinggi.

Selain kadar emosi, tingginya kepentingan juga dapat mengaburkan pandangan mata dan akal pikiran. Semakin tinggi konflik kepentingan, semakin sulit seseorang untuk bersikap kritis dan obyektif dalam menerima berita. Coba lihat apa yang terjadi saat orang dengan mudah pindah partai atau pindah dukungan. Apa yang terjadi? Apakah ini akibat kepentingan yang berubah terkait dengan motif ingin mendapat jabatan, uang, atau lain-lain?

Karena ada motif uang atau jabatan yang begitu tinggi, seseorang seringkali tak pikir panjang dalam memilih berita. Berita yang sesuai dengan kepentingannya saja yang cenderung ia lahap atau edarkan, tak peduli apakah berita itu benar atau tidak. Berita hoax akan mudah melekat mengitari pikiran pada orang-orang yang sarat dengan kepentingan tertentu.

Saat ini, kita tengah memasuki jaman penuh emosi dan kepentingan. Ini melanda semua lapisan masyarakat. Luapan emosi bisa naik sangat tinggi karena seringkali urusan yang tengah kita hadapi menyentuh harkat diri kita yang paling dalam, seperti identitas dan agama kita. Pada saat yang sama, pada saat ini, kita berada dalam pusaran aktivitas hidup yang sarat dengan kepentingan; kepentingan perebutan uang, perebutan jabatan, dan perebutan status sosial. Karena itu, berita hoax tumbuh subur karena akal sehat kita sedang berada dalam titik yang paling rendah.

Lihatlah diri kita. Amati apa yang terjadi. Juga lihat teman-teman kita, termasuk mereka yang menyandang gelar pendidikan sangat tinggi, atau bahkan menyandang status ulama, pendeta, kyai atau status apa saja. Kita semua sebagai manusia sama saja. Kalau sudah dilingkupi emosi dan kepentingan kadar tinggi, omongan kita dengan mudah jadi "error". Tingkah polah kita jadi lucu dan konyol. Bukan begitu? 

***