Belum banyak yang menyadari bahwa KUASA BUDAYA ini lebih mustajab dibanding kuasa-kuasa lainnya, termasuk kuasa ekonomi dan politik.
Pagi ini (17/07-2020). Ketika siang sedang akan melepas tangkai pagi. Sembari nyeruput kopi dan makan pisang goreng Taras-Malinau, saya ingin berbagi ihwal "kuasa budaya". Secara khusus, menyoroti: Bagaimana Dayak dan masa depannya nanti ketika Ibu Kota Negara Indonesia (IKNI) berpusat di tengah Indonesia. Pada tempat (bukan di mana sebab "di mana" terjemahan lurus dari kata Inggris "in where" yang kerap disalahgunakan bukan pada tempatnya) nanti, jika jadi, suku bangsa Dayak berbudaya.
Hal yang membuat sekelompok orang menjadi suatu suku atau golongan etnis adalah askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menaruh cap, tanda (labeling), pada orang, tanda apa saja.
Penyamak kulit di Jepang, yang dikenal sebagai suku Barakumin, dulu ditandai sebagai Eta, yang berarti: “penuh kotoran”, jorok, bego, kasar, dan sebagainya.
Di Sri Lanka, ada Rodiya, yang juga berarti “yang kotor”. Di Indonesia, dulu di Batavia, penggali parit dari Tegal dan Cirebon disebut “Jawa Lumpur” (Modder Javanen) dan diperlakukan sebagai satu suku.
Askripsi adalah gejala interaksi, bukan gejala isolasi. Askripsi terjadi ketika beragam orang bertemu dalam bermacam lapangan kehidupan. Namun, dalam pertemuan itu seseorang tidak diperlakukan sebagai pribadi, melainkan sebagai contoh atau wakil kelompok dengan cap tertentu.
Menurut Wee dan Lang dalam Saha (2006: 61), askripsi adalah... "identity requires “identiy work” –that is, the work of constructing an identity that is simultaneously inclusive (to insiders) and exclusive (to outsiders). Such “identity work” focuses on linking oneself to local cultural markers." (Identitas askriptif membutuhkan "kerja identiitas" -yaitu, pekerjaan dari membangun sebuah identitas yang bersamaan inklusif (orang dalam) dan eksklusif (orang luar). Seperti "kerja identitas" berfokus pada menghubungkan diri ke penanda budaya lokal.)
Parakitri dalam tulisannya di Tempo (Tempo 11 Maret 2000) mengemukakan bahwa masuknya faktor waktu atau sejarah, kemudian mengubah askripsi menjadi deskripsi, sikap dan cara bertindak, alias rules of conduct.
Para sarjana menyebutnya "cultural ethnicity." Berkat Belanda selama ratusan tahun, Jawa dianggap berperangai halus dan terkendali, sedangkan etnis tetangganya dipersepsikan kasar dan terus terang.
Begitulah etnisitas berisi mitos, ingatan kolektif, lambang, dan nilai, ibarat benda-benda berbeda di ruang tiga dimensi melemparkan bayangan seekor binatang buas di dua dimensi.
Para pecandu kekuasaan bisa dengan mudah memainkan semua itu. Waspadalah! Waspadalah!
Manakala ada bara api di sekam, ada sekelompok/ segelintir orang ingin memantik, kemudian menyulutnya menjadi kerusuhan massal, massa beringas, amuk massa; kemudian muncullah apa yang dalam kamus2 yang hanya dimengerti dan dipegang para etnolog sebagai "manual" istilah "rust en orde". Bikin rusuh dulu. Kemudian, kuasai mereka.
Itulah yang saya amati, terutama dalam tragedi kemanusiaan di Kalbar pada 1967, 1997 dan kemudian Sampit.
Bila kekuasaan menjadi motif dalam pergaulan sosial, sentimen etnis dikipasi. Cultural ethnicity berubah menjadi political ethnicity. Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang, setelah kurang lebih satu dekade dikipasi.
Pengalaman sejarah, Ibukota RI di tanah Jawa, dekat Pusat Sunda, sama sekali tidak membuat orang Jawa berubah menjadi suku lain dan Sunda menjadi suku lain pula. Mengapa?
Inilah yang perlu kita dalami dan belajar. Kekhawatiran Dayak akan punah setelah pindah IKNI, suatu yang berlebihan. Dalam bahasa Stoltz, bagaimana: turn obstabcles into opporunities. Saatnya Adversity Quotient (AQ) orang Dayak yang dimanjakan alam selama berabad-abad, diasah dan dipertinggi sesuai situasi kondisi. Kebiasaaan menghabiskan rezeki yang didapat hari ini untuk hari ini, perlu ditanamkan sikap menabung untuk hari esok.
Saya lalu teringat adagium yang ditemukan kawan-rapat dan teman diskusi saya, Yansen Tp: Bukan tempat yang mengubah kita, tapi kitalah yang mengubah tempat (dalam arti luas).
Saya menganut keyakinan: Setiap generasi punya gen dan kecerdasan untuk mengatasi persoalan zamannya. Syaratnya: jangan warisi beban sejarah dan ketakutan masa lampau kepada generasi berikutnya.
Tapi kita, orang tua, wajib memberi arah, semangat, dan mewarisi nilai-nilai luhur. Benih padi yang kita semai tidak semuanya tumbuh, akan tetapi jika kita menabur terus, kita pasti akan menuai. Jangan berhenti menabur. Perkara ada yang mati, yang kerdil, yang subur dan berbuah, itu soal usaha, berkanjang, dan memelihara. Juga harapan dan doa.
Belum banyak yang menyadari bahwa KUASA BUDAYA ini lebih mustajab dibanding kuasa-kuasa lainnya, termasuk kuasa ekonomi dan politik.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews