Kolaborasi Ala Jack Ma

Cerita Jack Ma menginspirasi kita bagaimana kemampuan kolaborasi itu menghasilkan output yang dahsyat. Dengan upaya yang optimal maka Ditjen Pajak akan bisa meraih hasil serupa.

Selasa, 5 Mei 2020 | 22:27 WIB
0
448
Kolaborasi Ala Jack Ma
Jack Ma (Foto: tribunnews.com)

Kisah hidup Jack Ma bagaikan dongeng. From zero to hero, ungkapan itu paling tepat untuk menggambarkan sosoknya.

Jack Ma bukan terlahir dari rahim keluarga pengusaha, di mana lingkaran koneksi yang telah terbentuk sejak dini tak dipungkiri akan menjadi salah satu daya dongkrak untuk mempercepat ke puncak tangga. Jack Ma tak memiliki itu semua. Namun kini dia berada di tangga teratas pengusaha di Negara Tirai Bambu.

Baca Juga: Bos Alibaba Jack Ma Punya Xingpake alias Starbucks Terbesar di Dunia

Alibaba, perusahaan e-niaga yang didirikan Jack Ma pada tahun 1999 telah menjadi perusahaan internet termahal di dunia setelah Google. Ali­baba berperan penting dalam restrukturasi eko­nomi China, mengubah China yang dulu dikenal dengan frasa “Buatan China” (Made in China) menjadi “Dibeli di China” (Bought in China).

Jack Ma terlahir di Hangzhou, sebuah kota yang berjarak 160 km barat daya Shanghai pada tang­gal 10 September 1964. Orang tuanya memberi dia nama Ma Yun. Seorang turis asal Amerika Serikat, yang Ayah dan suaminya bernama Jack, memberinya nama tersebut dan Ma Yun kemu­dian dikenal di dunia dengan nama Jack Ma.

Ibu Jack bekerja sebagai buruh pabrik dan Ayahnya berprofesi sebagai fotografer di Hang­zhou Photography Agency. Maka masa kecil Jack Ma diwarnai dengan kesederhanaan, lebih tepatnya kekurangan seperti dialami kebanyakan masyarakat China masa itu akibat dari Revolusi Budaya yang dilancarkan pemerintahan Mao Zedong.

Pada akhir tahun 1978, ketika Jack berusia 14 tahun, China meluncurkan kebijakan pintu terbuka yang dirintis oleh Deng Xiaoping untuk meningkatkan investasi dan perdagangan luar negeri.

Maka turis-turis asing mulai berdatangan ke Chi­na. Hal ini ditangkap sebagai peluang oleh Jack Ma. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengasah kemampuannya berbahasa Inggris. Ia bangun sebelum subuh, lalu mengayuh seped­anya selama 40 menit menuju Hongzhou Hotel untuk menyapa para turis asing. Dia melakukan itu selama 9 tahun.

Sayangnya keterampilan Jack Ma dalam berba­hasa inggris tak diimbangi kemampuan di bidang lain yang menjadi momoknya, yaitu: matematika. Sementara untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di China harus lulus ujian ma­suk perguruan tinggi nasional berbasis prestasi, yang dikenal sebagai gaokao, atau ujian tinggi (semacam SPMB). Dan matematika menjadi salah satu mata ujian wajib.

Jack Ma mengikuti ujian gaokao ini, tetapi gagal. Bahkan setelah mengikuti ujian yang kedua kali pun dia masih gagal. Ujian ketiga kalinya dia baru berhasil dan itu pun bukan di universitas fa­vorit, tetapi di fakultas sastra Inggris Hangzhou Teachers College di kota kelahirannya.

Bagi Jack kegagalan tidak pernah memadamkan seman­gatnya. Dia bercerita bahwa sebelum diterima di perguruan tinggi, dia pernah 11 kali mengirim­kan surat lamaran pekerjaan untuk menopang kebutuhan hidupnya, namun semua lamarannya ditolak. Bahkan KFC saja menolaknya saat itu. Dari 24 orang kandidat, ia satu-satunya yang tidak diterima oleh KFC.

Beberapa kali tampil di depan publik, Jack sering menyebutkan kegagalannya mengikuti ujian gao­kao hingga 2 kali sebagai sebuah keberanian.

Tamat sebagai sarjana bahasa Inggris dari univer­sitasnya, Jack menjadi satu-satunya lulusan yang diminta mengajar bahasa Inggris di perguruan tinggi dari lima ratusan wisudawan angkatannya.

Sementara teman-temannya yang lain ditugasi mengajar di sekolah menengah. Meskipun telah menjadi seorang dosen, Jack telah mempunyai visi jauh ke depan. Dia telah memikirkan profesi lain di samping mengajar. Dia teringat kata-kata Deng Xiaoping dalam kunjungannya ke wilayah Selatan.

“Anda bisa menjadi orang kaya dan membantu orang lain untuk menjadi kaya pula.”

Maka di sela-sela waktunya mengajar dia mendirikan perusahaan. Perusahaan pertamanya bergerak di bidang penerjemah yang diberi nama “Hope”. Namun perusahaan ini tidak begitu berhasil. Jack mengenang kunjungannya ke Seattle pada tahun 1995 sebagai penerjemah pemerintah daerah Tonglu (80 km dari barat daya Hangzhou), akhirnya menjadi sebuah lom­patan besar yang mengubah hidupnya.

Baca Juga: Jack Ma dan Makan Siang yang Tak Gratis

“Itu pertama kali saya menyentuh keyboard komputer, pertama kali terhubung ke inter­net, dan pertama kali saya memutuskan untuk berhenti mengajar dan mulai mendirikan perusa­haan.”

Jack kembali dari Seattle dengan membawa komputer yang dilengkapi dengan prosesor Intel 486 dalam kopernya. Sebuah prosesor tercang­gih di China saat itu. Alat itu menjadi senjata Jack untuk mendirikan perusahaan selanjutnya yang berbasis internet. Setelah beberapa kali bermetamorfosis, Jack akhirnya mendirikan Ali­baba dan menjadi perusahaan e-niaga terbesar di China saat ini.

Alibaba didirikan sekelompok orang biasa yang dipersatukan oleh semangat Jack Ma. Dan kesuksesan Alibaba saat ini adalah karena kemam­puan Jack Ma dalam mengkolaborasikan bera­gam “kepala” menuju satu visi, yaitu nilai-nilai Alibaba.

Jack pernah mengibaratkan Alibaba seperti kebun binatang, ketika banyak manajer ternama Amerika yang bergabung menjadi wakil dirut Alibaba. Mereka memiliki pandangan yang berbeda-beda dan latar belakang pendidikan yang beragam. Ada yang banyak bicara, namun ada yang pendiam. Ada yang ahli di bidang teknologi informasi, pemasaran, keuangan, dan sebagainya. Kemampuan Jack mengkolaborasi­kan beragam latar belakang itu menjadi kekuatan Alibaba saat ini.

Jika kolaborasi ala Jack Ma tadi diterapkan di Ditjen Pajak, maka Ditjen Pajak harus piawai melakukan kolaborasi dengan instansi pemer­intah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) untuk mencapai visi yang telah ditetapkan.

Makna kolaborasi sendiri adalah bentuk kerjasa­ma, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga, dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat.

Dalam teori Hubungan Antar Lembaga, hubun­gan antar instansi tersebut seperti hubungan per­sonal manusia. Ada orang yang rajin, ada yang patuh, ada yang kurang disiplin, dan sebagainya. Instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pi­hak lain juga mempunyai karakter serupa. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan kolaborasi yang tangguh agar beragam karakter itu bisa diberdayakan secara sukarela untuk mengalirkan data ke Ditjen Pajak.

Karena sesuai dengan amanah Pasal 35A Un­dang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan, setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan infor­masi kepada Ditjen Pajak.

Sebagai konsekuensi dari penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Ditjen Pajak. Data terse­but diperlukan pertama untuk menguji apakah Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan Wajib Pajak sudah sesuai dengan keadaan se­benarnya.

Kedua masyarakat yang sudah mampu untuk membayar pajak tetapi belum ber-NPWP bisa terdeteksi dan diarahkan untuk membayar pajak. Maka diharapkan kepatuhan pajak akan meningkat.

Cerita Jack Ma menginspirasi kita bagaimana kemampuan kolaborasi itu menghasilkan output yang dahsyat. Dengan upaya yang optimal maka Ditjen Pajak akan bisa meraih hasil serupa.

Disclaimer: tulisan ini telah dimuat di majalah internal Kanwil DJP Jakarta Barat "Jawara" edisi III/Maret 2020

***