Jack Ma dan Makan Siang yang Tak Gratis

Sabtu, 20 Oktober 2018 | 18:37 WIB
0
443
Jack Ma dan Makan Siang yang Tak Gratis

Sejak akhir Agustus lalu, Jack Ma, orang terkaya se-Asia itu memberi jawaban ya terhadap pinangan Presiden Joko Widodo agar ia menjadi subes 'suhu besar' bagi pengembangan bisnis digital di Indonesia. Nomenklatur jabatan itu penasihat steering committee roadmap e-commerce Indonesia.

Sebab telah menerima tanggungjawab itu, kehadiran Jack Ma dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali bukan sebagai investor, bos besar Alibaba, namun sebagai penasihat ekonomi digital Indonesia. Demikian pengakuannya.

Mungkin benar bahwa selain Chinese cheap, keunggulan orang-orang Tiongkok masa kini juga Chinese fast, termasuk cepat dalam berpikir.

Sejak menerima tawaran pemerintah, Jack Ma rupanya langsung memikirkan sejumlah strategi bagi pengembangan dunia bisnis digital Indonesia.

Merangkum pemberitaan media, ada 3 strategi utama yang akan Jack Ma terapkan.

Strategi pertama, adalah Jack Ma dan Alibaba akan mendirikan Institut Pendidikan untuk melatih 10.000 generasi muda Indonesia agar menjadi pengusaha berbasis digital. Institut ini setiap tahun selama 10 tahun akan melatih 1.000 orang muda pelaku usaha kecil, menengah, hingga pengusaha besar untuk menjadi entrepreneur digital.

Menurut Jack Ma, institut ini penting sebab jumlah penduduk yang kian besar membutuhkan perubahan pola pikir dan keterampilan untuk memasuki era digital.

Strategi kedua, Jack Ma dan Alibaba akan berinvestasi di sektor e-commerce, cloud computing, logistik dan infrastruktur di Indonesia. Dengan investasi terintegrasi ini, Jack Ma berharap selain Alibaba, para pengusaha lokal Indonesia akan turut merasakan manfaatnya.

Ketiga, perusahaan Indonesia akan memanfaatkan bisnis e-commerceAlibaba untuk memasarkan produknya ke dunia luas, terutama meningkatkan ekspor ke China.

Sebagai langkah awal strategi ketiga ini, akan ada 5 produk asal Indonesia yang  diikutsertakan dalam 11.11 sales di China. Acara 11.11 sales adalah even pemasaran besar-besaran dalam 1 hari (11 November).

Ketika artikel ini saya publikasikan dalam platform media milik Alibaba--tentu dalam format artikel dan penekanan yang berbeda--seorang pengunjung yang berdasarkan jejak digitalnya tampak sebagai pendukung capres Prabowo Subianto berkomentar, "ingat tak ada makan siang gratis."

Ada apa dengan orang-orang ini? Tentu saja tak ada makan siang gratis. Jack Ma tidak mungkin membantu Indonesia begitu saja. Bahkan seorang filantropis paling berbudi luhur sekalipun mengharapkan imbal balik dari budi baiknya.

Tak ada yang salah dengan prinsip take and give, atau yang orang Manggarai bilang dodo, orang Romawi kuno katakan do ut des. Bahkan demikianlah seharusnya hidup ini berjalan.

Take and give bearti dua pihak menjadi pemenang. Keduanya untung. Yang satu mendapat makan siang, lawannya mendapat bayaran. Ucapan terima kasih dan didoakan menjelang tidur pun adalah bentuk bayaran. Tak ada pihak yang dirugikan.

Entahlah. Orang-orang yang merasa memberi imbalan atas pemberian sebagai kerugian mungkin mengidap mental free rider'penumpang gelap' yang hanya mau untungnya saja. Hanya tahu beres dan menikmati, tak perlu berkorban apapun.

Kian banyak para free rider di negeri ini akan kian terhuyung-huyung bangsa kita tertinggal. Percapakan publik hanya ramai oleh keluhan dan lengguhan protes kaum mau enaknya saja.

Tak ada yang salah jika Jack Ma membantu pengembangan bisnis digital di Indonesia dan dengan itu Alibaba turut mendapat keuntungan. Jack Ma memang percaya bahwa Alibaba hanya mungkin bertambah kokoh jika para pengusaha lokal Indonesia yang sukses dalam jalinan kerjasama dengan Alibaba bertambah banyak jumlahnya.

Bukankah ini pula keyakinan Presiden Joko Widodo ketika mengibaratkan dirinya sebagai avenger saat berpidato di World Economic Forum (WEF) 2018 di Hanoi, Vietnam, September lalu?

Baca Juga: "Analogi "Thanos Infinity War", Pidato Terkeren Pemimpin Dunia, Mungkinkah Ada Peran Erick Thohir?"

Presiden Jokowi percaya kepada ekonomi kolaboratif, ekonomi yang berdasarkan hubungan kerjasama saling menguntungkan antar-pihak. Kolaboratif itu sekedar diksi lebih moderen dari gotong royong, bahu membahu. Inilah mental dasar Avengers, para hero penyelamat dunia.

Sebaliknya Thanos adalah pihak yang keukeuh mau menang sendiri, mau menguasai segalanya sendiri, tak ingin pihak lain turut menang. Winter is coming ditandai oleh orang-orang yang mau menang sendiri, orang-orang seperti Donald Trump yang cari selamat sendiri bermunculan.

Oh, ya, saya tak habis pikir jika ada orang Indonesia yang mengidolakan Soekarno juga mengidolakan Donald Trump.

Soekarno menekankan socio-nasionalisme, yaitu nasionalisme (kebangsaan) dan internasionalisme (kemanusiaan) sebagai dua sisi sekeping mata uang. Nasionalisme Indonesia adalah kebangsaan yang tidak merendahkan bangsa lain.

Sebaliknya nasionalisme Donald Trump adalah chauvinisme, nasionalisme yang menganggap bangsa sendiri adiluhung sementara bangsa lain underdog, nasionalisme yang dilandasi sikap menang sendiri dan membenci identitas (agama dan ras) yang berbeda.

Jika ada orang yang meniru-niru gaya Soekarno namun sekaligus memuja-muji Donald Trump, orang ini tentulah menderita gangguan mental bipolar. Jiwanya terbelah ke dua kutub bertolak belakang. Mungkin orang-orang yang sering gagal memenuhi hasratnya berpotensi menderita bipolar disorder. 

Baiklah. Tak ada makan siang gratis, dan tak ada masalah dengan itu. Oh ya, satu lagi. Tak ada penderita bipolar disorder yang layak jadi pemimpin. Apalagi grasa-grusu pula.

 ***

Sumber:

  1. Merdeka.com (13/10/2018) "Ini strategi Jack Ma majukan ekonomi digital di Indonesia." 
  2. Tempo.co (13/10/2018) "Jack Ma Mau Buka Institut untuk Latih Pengusaha Digital Indonesia."
  3. Merdeka.com (13/10/2018) "5 Produk Indonesia ini ikut serta ramaikan program 11.11 Alibaba."
  4. Kompas.com (23/08/2018) "Jack Ma Resmi Jadi Penasihat E-commerce Indonesia"

Artikel ini tayang juga di Kompasiana